Pengertian Ila’

Thursday, December 6, 2018

Perubahan dan Pengalihan Harta Wakaf

Harta benda wakaf adalah segala benda, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai atau bernilai menurut ajaran Islam. Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh waqif secara sah.

Tentang perubahan status, penggantian benda dan tujuan wakaf, sangat ketat pengaturannya dalam mazhab Syafi’i. Namun demikian, berdasarkan keadaan darurat dan prinsip maslahat, dikalangan para ahli hukum (fikih) Islam mazhab lain, perubahan itu dapat dilakukan. Ini didasarkan pada agar manfaat wakaf itu tetap berlangsung sebagai shadaqah jariyah, tidak mubazir karena rusak, tidak berfungsi lagi dan sebagainya.

Seperti diketahui bahwa hukum Islam menganjurkan agar setiap orang muslim yang memiliki harta kekayaan supaya tidak hanya menggunakan hartanya untuk keperluan diri sendiri atau keluarga saja, akan tetapi harus diperuntukkan bagi keperluan umum, dengan ancaman bahwa orang-orang yang enggan membelanjakan hartanya akan ditimpa bencana seolah-olah seluruh tubuhnya dengan api, dan mereka akan digantikan oleh orang-orang yang bersedia mempergunakan hartanya untuk keperluan umum.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S Al-Imran (3) : 92 yang Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.

Memanfaatkan benda wakaf berarti menggunakan benda wakaf tersebut. Sedang benda asalnya atau benda pokoknya tetap tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Berdasarkan hadis rasulallah SAW kepada Umar Bin Khatab r.a :

تَصَدَّقَ بِأَصْلِهِ ، وَلَا يُباُعُ وَلاَ يُوْهَبُ وَلَا يُوْرَثُ (رواه البخاري, و مسلم)

Artinya: Bersedekah pokoknya, dan tidak boleh dijual, dihibahkan dan diwariskan. (H.R Bukhari dan Muslim).

Hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim:

وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ الله عَنْهُ قَا لَ: َأَصَا بَ عُمَرُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ, فَأَتَي الَّنبِيَّ صَلَي الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَسْتَأْ مِرُهُ فِيْهَا، فَقَالَ: يَا رَ سُوْلَ الله! إِنِّيْ أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَا لًا قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِيْ مِنْهَ. قَا لَ: إِ نْ شِعْتَ حَبَسْتَ أَصِلَهَا , وَتَصَدَّقْتَ بِهَا. قَا لَ: فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ , غَيْرَ اَنَّهُ لَا يُبَا عُ أَ صْلُهَا وَ لَا ُيوْرَثُ وَلَايُوْهِبُ , فَتَصَدَّقَ بِهَا فِيْ اْلفُقَرَاءِ , وَ فَيْ الْقُرْبَي , َوفِي الرّقَابِ , وَفِي سَّبِيْلِ الله , وَابْنِ السَّبِيلِ , وَ الضَّيْفِ , لَا جُنَا حَ عَلَي مِنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْ كُلَ مِنْهَ بِلْ لمَعْرُوْفِ , وَ يُطْعِمَ صَدِيْقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ مَالًا . (متفق عليه, واللفظ لمسلم)

Artinya: Ibnu Umar berkata, Umar r.a memperoleh bagian tanah di Khaibar, lalu menghadap Nabi SAW. Untuk meminta petunjuk dalam mengurusnya. Ia berkata, “wahai Rasulallah, aku memperoleh sebidang tanah di Khaibar, yang menurutku aku belum pernah memperoleh tanah yang lebih baik dari padanya.” Beliau bersabda, “jika engkau mau, wakafkanlah pohonnya dan sedekahkanlah hasil (buah)nya.” Ibnu Umar berkata, lalu Umar mewakafkannya dengan syarat pohonnya tidak boleh dijual, diwariskan, dan diberikan. Hasilnya disedekahkan kepada kaum fakir, kaum kerabat, para hamba sahaya, orang yang berada di jalan Allah, musafir yang kehabisan bekal, dan tamu. Pengelolaannya boleh memakannya dengan sepantasnya dan memberi makan sahabat yang tidak berharta.” (Mutafaq ‘alaih dan lafazhnya menurut riwayat muslim).

Namun kalau suatu ketika benda wakaf itu sudah tidak ada manfaatnya atau kurang memberi manfaat banyak atau demi kepentingan umum kecuali harus melakukan perubahan pada benda wakaf tersebut, seperti menjual, merubah bentuk atau sifat, memindahkan ketempat lain atau menukar dengan benda lain. Dalam pandangan fiqih tentang ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian membolehkan dan sebagian yang lain melarangnya. Sebagian ulama Syafi’iyah (ulama bermazhab Syafi’i) dan Malikiyah (ulama bermazhab Maliki) berpendapat, bahwa benda wakaf yang sudah tidak berfungsi tetap tidak boleh dijual, ditukar, atau diganti dan dipindahkan. Karena dasar wakaf itu sendiri bersifat abadi, sehingga kondisi apapun benda wakaf tersebut harus dibiarkan sedemikian rupa. Dasar yang digunakan oleh mereka adalah hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, dimana dikatakan bahwa benda wakaf tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan.

Namun dilain pihak, benda wakaf yang sudah tidak berfungsi atau kurang berfungsi lagi dimana sudah tidak sesuai lagi dengan peruntukkan yang dimaksud siwakif, maka Imam Ahmad Ibnu Hanbal, Abu Tsaur, dan Ibnu Thaimiyah berpendapat tentang bolehnya menjual, mengubah, mengganti, atau memindahkan benda wakaf tersebut. Kebolehan itu baik dengan alasan supaya benda wakaf tersebut bisa berfungsi atau mendatangkan maslahat sesuai dengan tujuan wakaf, atau untuk mendapatkan maslahat yang lebih besar bagi kepentingan umum, khususnya kaum muslimin.

Dalil atau argumentasi yang digunakan Imam Ahmad adalah ketika ‘Umar Bin Khata r.a memindahkan masjid kufah yang lama dijadikan pasar bagi penjual-penjual kurma. Ini adalah penggantian tanah masjid. Adapun penggantian bangunannya dengan bangunan lain, maka ‘Umar dan ‘Utsman pernah membangun masjid nabawi tanpa mengikuti konstruksi pertama dan melakukan tambahan dan perluasan. Demikian yang terjadi pada masjidil haram sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, bahwa Rasulallah SAW bersabda kepada Aisyah r.a: “seandainya kaummu itu bukan masih dekat dengan jahiliyah, tentulah ka’bah itu akan aku runtuhkan dan aku jadikan dalam bentuk rendah serta aku jadikan baginya dua pintu, satu untuk masuk dan satu untuk keluar.”

Seandainya ada alasan yang kuat tentulah Rasulallah SAW akan mengubah bangunan ka’bah. Oleh karena itu diperbolehkan mengubah bangunan wakaf dari satu bentuk ke bentuk lainnya demi kemaslahatan yang mendesak. Adapun mengganti tanah wakaf dengan tanah lain, Imam Ahmad telah menggariskan atas kebolehannya karena mengikuti sahabat-sahabat Rasul. Langkah yang dilakukan Umar r.a dalam hadis yang disebut diatas sangat masyhur dan tidak seorangpun yang mengingkarinya.

Ibnu Taimiyah membolehkan untuk mengubah atau mengalihkan wakaf dengan dua syarat: pertama, penggantian karena kebutuhan mendesak. Bila tidak mungkin lagi dimanfaatkan bisa dijual dan harganya dipergunakan untuk membeli apa-apa yang dapat menggantikannya. Bila masjid rusak dan tidak mungkin lagi digunakan atau diramaikan, maka tanahnya dapat dijual dan harganya dapat dipergunakan untuk membeli apa-apa yang dapat menggantikannya. Semua ini diperbolehkan, karena bila yang pokok tidak mencapai maksud, maka digantikan oleh yang lainnya. Kedua, penggantian karena kepentingan dan maslahat yang lebih kuat. Misalnya ada masjid yang sudah tidak layak guna bagi kaum muslimin setempat, maka boleh dijual dan digunakan untuk membangun masjid yang baru sehingga kaum muslimin dapat menggunakan dan memakmurkannya dengan maksimal.

Akan tetapi diantara sahabat-sahabatnya ada yang melarang menggantikan masjid, hadiah, dan tanah yang diwakafkan. Inilah pendapat Asy’Syafi’i dan lain-lain. Tetapi nash-nash, atsar-atsar dan qiyas menghendaki kebolehan menggantikannya karena suatu maslahat.

Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf juga mengatur tentang perubahan dan pengalihan harta wakaf yang sudah dianggap tidak atau kurang berfungsi sebagaimana maksud wakaf itu sendiri, secara prinsip harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang:
  1. Dijadikan jaminan
  2. Disita
  3. Dihibahkan
  4. Dijual
  5. Diwariskan
  6. Ditukar
  7. Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Namun ketentuan tersebut dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syari’ah.

Dengan demikian, perubahan dan atau pengalihan benda wakaf pada prinsipnya bisa dilakukan selama memenuhi syarat syarat tertentu dan dengan mengajukan alasan-alasan sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-Undang yang berlaku. Ketatnya prosedur pengalihan dan atau perubahan benda wakaf itu bertujuan untuk meminimalisir penyimpangan peruntukan dan menjaga keutuhan harta wakaf agar tidak terjadi tindakan-tindakan yang dapat merugikan eksistensi wakaf itu sendiri. Sehingga wakaf tetap menjadi alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak. Wakaf dapat dikatakan sah dan terlaksana dengan dua hal berikut ini:
  1. Perbuatan yang menunjukkannya. Misalnya, seseorang mendirikan sebuah masjid dan mengumandangkan adzan didalamnya. Dalam hal ini tidak dibutuhkan ketetapan hakim.
  2. Perkataan yang terdiri dari dua macam: perkataan jelas (sharih) dan perkataan dalam hati (kinayah). Perkataan yang jelas misalnya, “aku mewakafkan” atau “aku mendermakannya dijalan Allah” sedangkan perkataan dalam hati, misalnya, “aku menyedekahkan” diiringi niat untuk berwakaf”
Hukum memanfaatkan sebagian harta wakaf: orang yang mengurusi harta wakaf dibolehkan untuk memanfaatkan sebagian darinya. Berdasarkan hadis Ibnu Umar didalamnya disebutkan, “tidak ada dosa bagi orang yang mengurusinya untuk memanfaatkan sebagian darinya dengan cara yang patut”.

Para ulama mengatakan menegakkan wakaf itu sangat dianjurkan (mustahab) tetapi tidak wajib. Penegakan wakaf dalam kata lain menghilangkan hak wakif (orang yang mewakafkan) dan memindahkan kepemilikannya kepada Allah. Ketika wakaf itu dibuat, orang saleh atau sekelompok orang yang ditetapkan sebagai menejer wakaf. Dibeberapa tempat mereka disebut mutawalli, namun harta wakaf tidak diberikan kepada menejer itu. Pada suatu ketika wakaf dibuat akan selalu tetap menyisakan harta kekayaan wakaf dan tidak dapat berubah karateristiknya. Karena wakaf itu dilakukan untuk tujuan kesucian, maka harta kekayaan wakaf tidak diberikan kepada seseorang sebagai harta pusaka atau hibah. Wakaf itu dilakukan untuk kesejahteraan umum ada dua jenis, yaitu:
  1. Waqf al-ahli (wakaf keluarga), dibuat demi keselamatan dan kesejahteraan sanak kerabat dekat dari wakif (orang yang memberi wakaf) dan keluarganya terjamin pemenuhan kebutuhannya dalam semua keperluan hidupnya, dan lalu kembali kepada kemaslahatan kaum miskin setelah kematian mereka. Wakaf jenis ini dapat dibuat dalam harta yang bisa bergerak dan tidak bergerak.
  2. Waqf al-khayri (wakaf kebaikan), dibuat untuk memenuhi kebutuhan orang orang yatim, orang terlantar, orang buta, dan orang malang. Begitu pula wakaf dapat diciptakan untuk pemeliharaan mesjid, sekolah-sekolah, rumah sakit, tanah kuburan, dan tempat-tempat lain dalam skup kemaslahatan masyarakat.
SUMBER :
  1. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Cet Ke- 1, (Jakarta: Kencana, 2012)
  2. Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat Dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1988)
  3. Abdul Halim, Hukum Perwakafan Di Indonesia, (Pisangan: Ciputat press, 2005)
  4. Ibnu Hajar Al Asqalani, Bulughul Mahram dan Dalil-Dalil Hukum, (Jakarta: Gema Insani, 2013)
  5. Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 4, (Depok: Fathan Media Prima)
  6. A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002)

Peralihan Hak Milik

Menurut hukum Islam yang dimaksud dengan hak atau milik secara etimologis adalah memiliki sesuatu dan sanggup bertindak secara bebas terhadapnya. Adapun dari segi istilah, yang dimaksud dengan hak atau milik adalah suatu kekhususan terhadap sesuatu yang memberi kemungkinan kepada pemangkunya menurut hukum syara’ untuk secara bebas bertindak hukum terhadap sesuatu dimaksud serta mengambil manfaatnya sepanjang tidak terdapat penghalang dari syar’i.

Ekonomi kapitalis berdiri pada landasan hak milik secara individu atau khusus, yang memberikan setiap individu hak memiliki apa saja sesukanya dari barang barang yang produktif maupun komsumtif, tanpa ikatan apapun atas kemerdekaannya dalam memiliki, membelanjakan, maupun mengeksploitasi kekayaan. Sedangkan dalam ekonomi Islam, hak milik dalam Islam baik hak milik individu maupun hak milik umum tidaklah mutlak tetapi terikat oleh ikatan untuk merealisasikan kepentingan orang banyak dan mencegah bahannya, yakni hal-hal yang membuat hak milik menjadi tugas masyarakat. Semua ikatan ini pada dasarnya kembali pada pandangan Islam tentang hak milik, bagi orang-orang yang mengamati nash-nash didalam Al-qur’an akan menemukan dasar-dasar tentang harta dengan segala bentuk dan macamnya bahwa semua itu adalah milik Allah SWT.

Dengan demikian seseorang yang telah mendapat sesuatu secara khusus maka kepadanya diberikan suatu kebebasan untuk bertindak hukum mengasingkan sesuatu yang khusus tersebut.

Akad yang sah, yakni akad yang secara mendasar dan aplikatif memang disyari’atkan. Akad yang memenuhi rukun-rukunnya dan aplikasinya secara bersamaan. Dalam hukum Islam dikenal beberapa titel transaksi untuk memperoleh atau peralihan hak milik, yaitu dari yang klasik sampai dengan cara-cara yang lazim dipraktikkan dewasa ini. Peralihan hak milik tersebut dapat melalui cara-cara berikut, antara lain:
  1. Jual beli
  2. Tukar menukar
  3. Infaq
  4. Sadaqah
  5. Hadiah
  6. Wasiat
  7. Wakaf
  8. Pewarisan
  9. Hibah
  10. Zakat
  11. Ihyaul mawat
Dengan demikian ijab qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridaan dalam berakad diantara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena itu, dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridaan dan syari’at Islam.

Hukum Islam tidak secara khusus membedakan mana titel memperoleh hak yang hanya untuk tanah saja dan mana yang untuk benda lain non tanah. Namun dari bentuk-bentuk diatas ihyaul mawat satu-satunya cara yang langsung dihubungkan dengan tanah. Adapun zakat, kalau dikaitkan dengan tanah, lazimnya yang dizakatkan atau dipindahkan haknya bukanlah tanahnya sendiri. Tetapi hanya hasil tanah sepeti pertanian atau perkebunan.

Para ulama menafsirkan bahwa sedekah jariyah adalah wakaf. Seiring dengan sistem perkembangan ekonomi dan sosial, wakafpun mengalami perkembangan. Wakaf yang ada kini tidak hanya berupa tanah dan aset tak bergerak lainnya. Sekarang ini juga sudah diperkenalkan wakaf tunai.

Dengan adanya akad (perjajian), seseorang dapat memperoleh hak, misalnya dengan melakukan akad jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, dan sebagainya. Adapun objek akad yang menyebabkan berpindahnya hak milik itu ialah harta-harta mutaqawwin, yaitu harta milik yang dibolehkan mengambil manfaatnya, sehingga dengan akad itu berpindah pemilikan terhadap harta itu dari tangan seseorang ke tangan orang lain berdasarkan kerelaan keduanya. Semua perikatan (transaksi) yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, tidak boleh menyimpang dan harus sejalan dengan kehendak syari’at. Tidak boleh ada kesepakatan untuk menipu orang lain, transaksi barang-barang yang diharamkan, dan kesepakatan untuk membunuh seseorang. Prinsip kepemilikan dalam Islam sebagai berikut:
  1. Allah SWT adalah penguasa tertinggi, sekaligus pemilik absolut seluruh alam semesta.
  2. Manusia hanyalah khalifah Allah SWT di muka bumi bukan pemilik sebenarnya.
  3. Semua yang dimiliki didapatkan manusia atas rahmat Allah, oleh karena itu manusia yang kuang beruntung mempunyai hak atas sebagian kekayaan yang dimiliki saudaranya.
  4. Kekayaan harus dipiutar dan tidak boleh ditimbun.
  5. Esploitasi ekonomi dalam segala bentuknya, termasuk riba harus dihilangkan.
  6. Menerapkan sistem warisan sebagai media redistribusi kekayaan yang dapat mengiliminasi konflik individu.
Menetapkan berbagai bentuk sedekah, baik yang bersifat wajib maupun yang sukarela, terhadap indivudu yang memiliki harta kekayaan yang banyak, untuk membantu para anggota masyarakat yang tidak mampu.

SUMBER :
  • Ismail Nawawi, Ekonomi Islam., (Surabaya: CV Media Putra Nusantara)
  • Abdullah Al-Mushlih dan Shalah Ash-Shawi, Fikih Ekonomi Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2015)
  • Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001)
  • AN Ubaedy, Hikmah Bersedekah, (Jakarta: Bee Media, 2009)
  • M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003)

Saturday, December 1, 2018

Faktor yang mempengaruhi keaktifan

Pengertian keaktifan Siswa

Keaktifan siswa dalam belajar merupakan persoolan yang pentiing dan mendasar yang harus dipahami, didasari dan dikembangkan oleh guru dalam proses pembelajaran. Pembelajaran yang berhasil harus menjalankan berbagai aktifitas, baik aktifitas fisik maupun pesikis. Aktifitas fisik adalah siswa giat aktif dengan anggota badan, membuat sesuatu, bermain maupun bekerja. Dia tidak hanya duduk dan mendegarkan, melihat atau hanya pasif. Siswa yang memiliki pesikis atau kejiwaan adalah jika daya jiwanya bekerja sebanyak-banyaknya dalam rangka pembelajaran.

Keaktifan siswa dalam belajar tidak lain adalah untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri. Mereka aktif membangun pemahaman atas perseolan atau segala sesuatu yang mereka hadapi dalam proses pembelajaran. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia aktif berarti giat. Keaktiifan diartikan sebagai hal atau keadaan dimana siswa dapat aktif.

Dapat disimpulkan bahwa keaktifan siswa dalam belajar merupakan segala kegiatan yang bersifat fisik maupun non fisik siswa, dalam kegiatan belajar mengajar yang optimal dapat menciptakan suasana kelas menjadi kondusif.

Jenis keaktifan siswa

Jenis-jenis keaktifan siswa dalam belajar cukup banyak. Muhammad Ali membagi jenis-jenis keaktifan siswa menjadi delapan aktifitas, yaitu :
  1. Mendengar, dalam proses belajar yang sangat menonjil mendengar dan melihat. Apa yang kita dengar menimbulkan tanggapan dalam ingatan-ingatan yang turut dalam membentuk jiwa seseorang.
  2. Melihat, siswa dapat menyerap dan belajar 8% dari penglihatannya.
  3. Mencium, seseorang dapat memehami perbedaan objek melalui bau yang dapat dicium.
  4. Merasa, yang dapat member kesan sebagai dasar terjadinya berbagai bentuk perubahan bentuk tingkah laku .
  5. Meraba, bisa membedakan suatu benda dengan benda yang lainnya.
  6. Mengolah ide, dalam mengelola ide siswa melakukan proses berpikir.
  7. Menyatakan ide.
  8. Melakukan latihan, kegiatan proses belajar yang tujuannnya untuk membentuk tingkah laku pisikomotorik dapat dilakukan dengan latihan-latihan.
Faktor yang mempengaruhi keaktifan

Gegne dan Bringges dalam Martinis (2007:84) menyebutkan faktor-faktor yang dapat menumbuhkan keaktifan siswa dalam pembelajaran, yaitu:
  1. Memberi motivasi atau menarik perhatian peserta didik, sehingga mereka berperan aktif dalam pembelajaran.
  2. Menjelaskan tujuan instruksional ( kemampuan dasar peserta didik).
  3. Meningkatkan kompetensi dasar kepada peserta didik.
  4. Memberikan stimulasi.
  5. Memunculkan aktifitas dalam kegiatan pembelajaran.
  6. Member umpan balik kepada siswa.
  7. Melakukan tagihan-tagihan kepada peserta didik berupa tes sehingga kemampuan peserta didik selalu terpantau.
  8. Menyimpulkan setiap materi yang disampaikan diakhir pembelajaran. Berbagai urian diatas dapat disimpulkan bahwa keaktifan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah pemberian motivasi atau menarik perhatian siswa, memberikan umpan balik, memberikan stimulus dll. Kemudian keaktifan siswa yang rendah juga bisa ditingkatkan, salah satu caranya dengan memanfaatkan waktu dengan lebih baik dalam proses pembelajaran.
SUMBER :
  • Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, (Jakarta : PT Rineka Cipta,2003)

Jenis keaktifan siswa

Pengertian keaktifan Siswa

Keaktifan siswa dalam belajar merupakan persoolan yang pentiing dan mendasar yang harus dipahami, didasari dan dikembangkan oleh guru dalam proses pembelajaran. Pembelajaran yang berhasil harus menjalankan berbagai aktifitas, baik aktifitas fisik maupun pesikis. Aktifitas fisik adalah siswa giat aktif dengan anggota badan, membuat sesuatu, bermain maupun bekerja. Dia tidak hanya duduk dan mendegarkan, melihat atau hanya pasif. Siswa yang memiliki pesikis atau kejiwaan adalah jika daya jiwanya bekerja sebanyak-banyaknya dalam rangka pembelajaran.

Keaktifan siswa dalam belajar tidak lain adalah untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri. Mereka aktif membangun pemahaman atas perseolan atau segala sesuatu yang mereka hadapi dalam proses pembelajaran. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia aktif berarti giat. Keaktiifan diartikan sebagai hal atau keadaan dimana siswa dapat aktif.

Dapat disimpulkan bahwa keaktifan siswa dalam belajar merupakan segala kegiatan yang bersifat fisik maupun non fisik siswa, dalam kegiatan belajar mengajar yang optimal dapat menciptakan suasana kelas menjadi kondusif.

Jenis keaktifan siswa

Jenis-jenis keaktifan siswa dalam belajar cukup banyak. Muhammad Ali membagi jenis-jenis keaktifan siswa menjadi delapan aktifitas, yaitu :
  1. Mendengar, dalam proses belajar yang sangat menonjil mendengar dan melihat. Apa yang kita dengar menimbulkan tanggapan dalam ingatan-ingatan yang turut dalam membentuk jiwa seseorang.
  2. Melihat, siswa dapat menyerap dan belajar 8% dari penglihatannya.
  3. Mencium, seseorang dapat memehami perbedaan objek melalui bau yang dapat dicium.
  4. Merasa, yang dapat member kesan sebagai dasar terjadinya berbagai bentuk perubahan bentuk tingkah laku .
  5. Meraba, bisa membedakan suatu benda dengan benda yang lainnya.
  6. Mengolah ide, dalam mengelola ide siswa melakukan proses berpikir.
  7. Menyatakan ide.
  8. Melakukan latihan, kegiatan proses belajar yang tujuannnya untuk membentuk tingkah laku pisikomotorik dapat dilakukan dengan latihan-latihan.
Faktor yang mempengaruhi keaktifan

Gegne dan Bringges dalam Martinis (2007:84) menyebutkan faktor-faktor yang dapat menumbuhkan keaktifan siswa dalam pembelajaran, yaitu:
  1. Memberi motivasi atau menarik perhatian peserta didik, sehingga mereka berperan aktif dalam pembelajaran.
  2. Menjelaskan tujuan instruksional ( kemampuan dasar peserta didik).
  3. Meningkatkan kompetensi dasar kepada peserta didik.
  4. Memberikan stimulasi.
  5. Memunculkan aktifitas dalam kegiatan pembelajaran.
  6. Member umpan balik kepada siswa.
  7. Melakukan tagihan-tagihan kepada peserta didik berupa tes sehingga kemampuan peserta didik selalu terpantau.
  8. Menyimpulkan setiap materi yang disampaikan diakhir pembelajaran. Berbagai urian diatas dapat disimpulkan bahwa keaktifan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah pemberian motivasi atau menarik perhatian siswa, memberikan umpan balik, memberikan stimulus dll. Kemudian keaktifan siswa yang rendah juga bisa ditingkatkan, salah satu caranya dengan memanfaatkan waktu dengan lebih baik dalam proses pembelajaran.
SUMBER :
  • Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, (Jakarta : PT Rineka Cipta,2003)

Pengertian keaktifan Siswa

Pengertian keaktifan Siswa

Keaktifan siswa dalam belajar merupakan persoolan yang pentiing dan mendasar yang harus dipahami, didasari dan dikembangkan oleh guru dalam proses pembelajaran. Pembelajaran yang berhasil harus menjalankan berbagai aktifitas, baik aktifitas fisik maupun pesikis. Aktifitas fisik adalah siswa giat aktif dengan anggota badan, membuat sesuatu, bermain maupun bekerja. Dia tidak hanya duduk dan mendegarkan, melihat atau hanya pasif. Siswa yang memiliki pesikis atau kejiwaan adalah jika daya jiwanya bekerja sebanyak-banyaknya dalam rangka pembelajaran.

Keaktifan siswa dalam belajar tidak lain adalah untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri. Mereka aktif membangun pemahaman atas perseolan atau segala sesuatu yang mereka hadapi dalam proses pembelajaran. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia aktif berarti giat. Keaktiifan diartikan sebagai hal atau keadaan dimana siswa dapat aktif.

Dapat disimpulkan bahwa keaktifan siswa dalam belajar merupakan segala kegiatan yang bersifat fisik maupun non fisik siswa, dalam kegiatan belajar mengajar yang optimal dapat menciptakan suasana kelas menjadi kondusif.

Jenis keaktifan siswa

Jenis-jenis keaktifan siswa dalam belajar cukup banyak. Muhammad Ali membagi jenis-jenis keaktifan siswa menjadi delapan aktifitas, yaitu :
  1. Mendengar, dalam proses belajar yang sangat menonjil mendengar dan melihat. Apa yang kita dengar menimbulkan tanggapan dalam ingatan-ingatan yang turut dalam membentuk jiwa seseorang.
  2. Melihat, siswa dapat menyerap dan belajar 8% dari penglihatannya.
  3. Mencium, seseorang dapat memehami perbedaan objek melalui bau yang dapat dicium.
  4. Merasa, yang dapat member kesan sebagai dasar terjadinya berbagai bentuk perubahan bentuk tingkah laku .
  5. Meraba, bisa membedakan suatu benda dengan benda yang lainnya.
  6. Mengolah ide, dalam mengelola ide siswa melakukan proses berpikir.
  7. Menyatakan ide.
  8. Melakukan latihan, kegiatan proses belajar yang tujuannnya untuk membentuk tingkah laku pisikomotorik dapat dilakukan dengan latihan-latihan.
Faktor yang mempengaruhi keaktifan

Gegne dan Bringges dalam Martinis (2007:84) menyebutkan faktor-faktor yang dapat menumbuhkan keaktifan siswa dalam pembelajaran, yaitu:
  1. Memberi motivasi atau menarik perhatian peserta didik, sehingga mereka berperan aktif dalam pembelajaran.
  2. Menjelaskan tujuan instruksional ( kemampuan dasar peserta didik).
  3. Meningkatkan kompetensi dasar kepada peserta didik.
  4. Memberikan stimulasi.
  5. Memunculkan aktifitas dalam kegiatan pembelajaran.
  6. Member umpan balik kepada siswa.
  7. Melakukan tagihan-tagihan kepada peserta didik berupa tes sehingga kemampuan peserta didik selalu terpantau.
  8. Menyimpulkan setiap materi yang disampaikan diakhir pembelajaran. Berbagai urian diatas dapat disimpulkan bahwa keaktifan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah pemberian motivasi atau menarik perhatian siswa, memberikan umpan balik, memberikan stimulus dll. Kemudian keaktifan siswa yang rendah juga bisa ditingkatkan, salah satu caranya dengan memanfaatkan waktu dengan lebih baik dalam proses pembelajaran.
SUMBER :
  • Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, (Jakarta : PT Rineka Cipta,2003)