Pengertian Ila’

Saturday, April 6, 2019

Hakikat Sastra

Hakikat Sastra

Pengertian Sastra

Berbicara tentang sejarah sastra Indonesia tentu saja harus dimulai dari pengertian sastra itu sendiri. Penjelasan makna suatu istilah merupakan hal yang penting dalam kajian ilmiah agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.

Djoko Damono (dalam Priyatni 2015:12) memaparkan bahwa sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium, bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Pada pengertian tersebut, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antarmasyarakat dengan orang lain, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat.

Menurut Priyatni (2015:12) “Sastra adalah pengungkapan realitas kehidupan masyarakat secara imajiner atau secara fiksi”. Senada dengan apa yang diungkapkan oleh George Lukas (dalam Priyatni, 2015:12) “Sastra merupakan sebuah cermin yang memberikan kepada kita sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup dan lebih dinamik”. Meskipun karya sastra itu bersifat imajiner, namun karya sastra tetap masuk akal dan tidak menutup kemungkinan ia mengandung kebenaran didalamnya (Alterbernd dan Lewis dalam Priyatni, 2015:12).

Karya sastra merupakan karya seni yang mengungkapkan eksistensi kemanusiaan dengan segala variasi dan liku-likunya secara imajinatif dan kreatif dengan menggunakan bahasa estetik sebagai mediumnya. Baik puisi, fiksi maupun drama, karya sastra merupakan hasil refleksi sastrawan terhadap lingkungan sosialnya yang kemudian diekspresikan melalui bahasa yang indah dengan daya kreasi dan imajinatifnya. Kemudian dengan segenap daya cipta, rasa dan karsanya, sastrawan mengungkapkan gagasan mengenai hakikat kehidupan yang dirasakan, dihayati, dialami, dan dipikirkan melalui karya sastra sebagai media ekspresinya yang imajinatif (Al-Ma’ruf dan Nugrahani, 2017:5).

Tarigan (dalam Alma’ruf dan Nugrahani, 2017:2) menyatakan bahwa karya sastra merupakan media bagi pengarang untuk menuangkan dan mengngkapkan ide-ide hasil perenungan tentang makna dan hakikat hidup yang dialami, dirasakan dan disaksikan. Seorang pengarang sebagai salah satu anggota masayarakat yang kreatif dan selektif ingin mengungkapkan pengalamannya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari kepada para penikmatnya.

Menurut Alma’ruf dan Nugrahani (2017:03) “sebagai karya seni bermediumkan, sastra berisi ekspresi pikiran spontan dari perasaan mendalam penciptanya. Ekspresi tersebut berisi ide, pandangan, perasaan, dan semua kegiatan mental manusia, yang diungkapkan dalam bentuk keindahan”. Sementara itu, bila ditinjau dari potensinya, sastra disusun melalui refleksi pengalaman, yang memiliki berbagai macam bentuk representasi kehidupan. Sebab itu, sastra merupakan sumber pemahaman tentang manusia, peristiwa, dan kehidupan manusia yang beragam.

Keberadaan karya sastra tidak terlepas dari dunia nyata. Karya sastra merupakan sebuah fenomena sosial budaya, dalam sebuah karya sastra dunia nyata dan dunia rekaan saling berkaitan, yang satu tidak bermakna tanpa yang lain. Keberadaan karya sastra berdampingan dengan dunia realita (Wiyatmi, 2013:9). Sastra sebagai refleksi kehidupan berarti pantulan kembali problem dasar kehidupan manusia, yang meliputi: maut, cinta, tragedi, harapan, kekuasaan, pengabdian, makna dan tujuan hidup, serta hal-hal yang transedental dalam kehidupan manusia. Problem kehidupan itu oleh sastrawan dikonkretisasikan kedalam gubahan bahasa baik dalam bentuk prosa, puisi, maupun lakon (drama). Jadi membaca karya sastra berarti membaca pantulan problema kehidupan dalam bentuk wujud gubahan seni berbahasa (Santosa dalam Al-Ma’ruf dan Nugrahani, 2017:04).

Karya sastra adalah suatu hasil karya seni baik lisan maupun tertulis yang lazimnya menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Karya sastra memberikan gambaran tentang kehidupan dengan segala kompleksitas, problema, dan keunikannya baik tentang cita-cita, keinginan dan harapan, kekuasaan, pengabdian, makna dan tujuan hidup, perjuangan, eksistensi dan ambisi manusia, juga cinta, benci dan iri hati, tragedi dan kematian. Jadi, karya sastra mengungkapkan gagasan pengarang yang berkaitan dengan hakikat dan nilai-nilai kehidupan, serta eksistensi manusia yang meliputi dimensi kemanusiaan, sosial, kultural, moral, politik, gender, pendidikan maupun ketuhanan atau religiusitas (Al-Ma’ruf dan Nugrahani, 2017:04).

Jika dilihat dari berbagai pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa sastra dapat dipandang sebagai sarana atau media pengungkapan dunia pengarang beserta ideologinya yang kompleks dan menyeluruh melalui medium bahasa. Sastra merupakan ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, keyakinan, ide, dan semangat dalam bentuk karya seni yang dapat membangkitkan rasa keindahan melalui bahasa. Kemudian Sastra juga merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai medianya.

Berdasarkan batasan-batasan yang telah disampaikan dalam uraian sebelumnya, dapat disumpulkan bahwa setidaknya dalam sastra terdapat dua unsur yang utama, yaitu:
  1. isi, yaitu seseuatu yang merupakan gagasan atau pikiran, perasaan, pengalaman, ide, semangat, dan tanggapan pengarang terhadap lingkungan kehidupan sosial yang ingin disampaikan pengarang terhadap pembaca,
  2. bentuk, yaitu media ekspresi yang berbentuk seni sastra, yang pada umumnya bermediumkan bahasa serta unsur-unsur yang mendukung totalitas makna yang terkandung di dalamnya.
Fungsi dan Manfaat Sastra

Fungsi Sastra

Secara garis besar, sastra berfungsi untuk memberikan kesenangan atau kenikmatan kepada pembacanya. Sastra di samping memberikan kesenangan kepada para pembacanya juga berdaya guna atau bermanfaat bagi kehidupan batiniah. Sastra berguna untuk memberikan hiburan sekaligus berguna bagi pengayaan spiritual atau menambah khasanah batin pembaca.

Sastra bersifat menghibur bukan berarti membuat pembaca terpingkal-pingkal karena tidak dapat menahan tawanya. Namun, lebih pada kepuasan batin ketika mengikuti alur cerita atau menikmati keindahan penggunaan bahasa dalam memaparkan aspek-aspek kehidupan (Priyatni, 2015:21).
  1. Manfaat sastra. Ada berbagai manfaat yang dapat diberikan oleh sastra, menurut Karno (Priyatni, 2015:7) berbagai manfaat yang diperoleh dari karya sastra ini adalah sebagai berikut.
    • Sastra sebagai ilmu, artinya sastra sebagai salah satu disiplin ilmu yang bersifat konventif yang diajarkan di bangku Sekolah secara formal, dalam sub bidang bahasa Indonesia.
    • Sastra sebagai seni, artinya sastra memiliki semboyan dulce et utile (menghibur dan berguna). Jadi, sastra di samping memberikan kesenangan kepada para pembacanya juga berdaya guna ataubermanfaat bagi kehidupan manusia. Artinya, sastra bermanfaat untuk pengayaan spiritual atau khasanah batin.
    • Sastra sebagai kebudayaan, dalam hal ini sastra mencakup segala kehidupan manusia baik secara lahir maupun batin. Secara lahir sastra sejajar dengan bahasa yang berfungsi sebagai pemersatu bangsa, sarana pergaulan, alat komunikasi antara manusia dan antarbangsa. Hal ini dapat dilihat dan saling dikenalnya para pengarang di seluruh penjuru dunia melalui hasil karyanya.
Hakikat Prosa

Prosa Fiksi (Cerita Rekaan)

Fiksi sering disebut juga dengan Cerita Rekaan (Cerkan) bukan sebagai lawan dari kenyataan melainkan lebih sebagai hasil refleksi sastrawan terhadap realitas kehidupan dalam lingkungan sosial budayanya. Setelah melalui kreasi dengan daya imajinasinya, dengan daya kreasi dan imajinasi tersebut, sastrawan kemudian merefleksikan realitas kehidupan yang dihadapinya ke dalam karya fiksi. Oleh karena itu, kebenaran yang ada dalam dunia sastra tidak dapat disejajarkan dengan kebenaran pada dunia nyata.

Menurut Wellek dan Warren (dalam Al-ma’ruf dan Nugrahani, 2017:73), betapa pun syaratnya pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah fiksi haruslah tetap merupakan cerita yang menarik, bangunan strukturnya koheren, dan mempunyai tujuan estetik. Melalui cerita, secara tidak langsung pembaca dapat belajar, merasakan, dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang ditawarkan pengarang.

Menurut Anwar (2009:49) “Fiksi merupakan salah satu wilayah utama bagi wanita dalam membuat ruangnya sendiri, untuk menampakkan apa yang sesungguhnya dialaminya, dan untuk membicarakan apa yang dirasakannya”. Prosa fiksi ialah prosa yang berupa cerita rekaan atau khayalan pengarangnya. Isi ceirta pada prosa fiksi tidak sepenuhnya berdasarkan pada fakta. Prosa fiksi disebut juga dengan karangan narasi sugestif atau imajinatif seorang pengarang. Prosa fiksi berbentuk Cerita Pendek (Cerpen), Novel, dan juga Dongeng.
  1. Cerita Pendek (Cerpen). Cerita Pendek (Cerpen) adalah cerita rekaan yang bersifat pendek dalam artian hanya berisi pengisahan dengan fokus pada satu konflik saja dengan tokoh-tokoh yang terbatas. Edgar Allan Poe (dalam Nurgiyantoro, 2010:10) menyatakan bahwa ” Cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam yang suatu hal yang tidak mungkin dilakukan untuk sebuah Novel”.
  2. Novel. Novel merupakan salah satu bentuk sastra di samping cerita pendek, puisi dan drama. Novel adalah cerita rekaan yang menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan sesama dan lingkungannya, juga interaksinya dengan diri sendiri, dan Tuhan. Novel merupakan hasil dialog dan reaksi pengarang terhadap kehidupan dan lingkungannya, setelah melalui pengkhayatan dan perenungan secara intens. Novel merupakan hasil karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab kreatif sebagai karya seni yang berunsur estetik dengan menawarkan model-model kehidupan yang diidealkan oleh pengarang. Pengarang dengan secara bebas bisa menuangkan hasil pemikirannya kedalam bentuk tulisan seperti apa yang diinginkannya. Menurut pandangan Luckas (dalam Anwar, 2009:49) “Novel adalah kreasi realitas yang bertumpu pada konvensionalitas dunia objektif dan interioritas dunia subjektif pada sisi lainnya”. Alma’ruf dan Nugrahani (2017:76) mengatakan bahwa “Novel merupakan hasil pengalaman pengarang dalam menghadapi lingkungan sosialnya yang didapat dari imajinasi pengarang. Novel merupakan ungkapan kesadaran pengarang yang berhubungan dengan kepekaan, pikiran, perasaan, dan hasratnya dengan realitas yang dihadapi pengarang dipadu dengan pengalaman hidupnya. Oleh karena itu, novel sering mengungkapkan berbagai realitas hidup yang terkadang tidak terduga oleh pembaca.
  3. Dongeng. Dongeng adalah cerita rekaan yang sama dengan Cerpen dan Novel. Namun di dalam dongeng, cerita yang dikisahkan adalah tentang hal-hal yang tidak masuk akal atau tidak mungkin terjadi. Contohnya saja, seorang manusia dapat menjelma sebagai seekor binatang, kemudian seekor binatang tersebut dapat berbicara layaknya seorang manusia. Hanya saja, dongeng dapat dijadikan sarana penyampaian nasihat tentang moral atau bersifat kiasan atau perlambangan (alegoris).
Unsur-Unsur Fiksi
  1. Unsur Intrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang secara langsung turut membangun karya sastra itu yang secara faktual terdapat di dalam karya sastra. Unsur inilah yang membuat karya hadir sebagai karya sastra atau dari sudut pandang pembaca, unsur-unsur cerita itulah yang akan dijumpai ketika membaca sebuah novel. Unsur intrinsik itu yakni: tema, alur, latar, tokoh, sudut pandang, dan gaya bahasa.
  2. Unsur Ekstrinsik. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi juga secara tidak langsung turut mempengaruhi bangunan karya sastra itu sendiri. Unsur ekstrinsik terdiri atas beberapa unsur yang merupakan keadaan subjetivitas pribadi pengarang yang berupa keyakinan, sikap ideologi, dan pandangan hidup. Unsur ekstrinsik lainnya adalah psikologi pengarang (mencakup proses kreatifnya), lingkungan sosial budaya, politik, pendidikan, dan profesi. Latar belakang kehidupan pengarang akan turut menentukan corak karya sastra yang dihasilkannya (Alma’ruf dan Nugrahani, 2017:84).
Robert Stanton (dalam Alma’ruf dan Nugrahani, 2017:85) membagi unsur-unsur yang membangun fiksi (novel) menjadi tiga yaitu sebagai berikut.
  1. Tema (Theme). Tema adalah gagasan yang melandasi cerita, yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan, seperti masalah sosial, politik, budaya religi, juga cinta kasih, maut dan sebagainya. Sastrawan dalam karya sastranya ingin mengemukakan suatu gagasan sesuai dengan latar belakang kehidupannya, pandangan, wawasan, dan ideologinya. Tema cerita lazimnya merupakan sesuatu yang bersifat universal dan berlaku sepanjang masa yang dapat dihayati orang selama karya itu masih ada.
  2. Fakta Cerita (Facts). Fakta cerita meliputi tokoh, alur dan latar, ketiganya merupakan unsur fiksi yang secara faktual dapat dibayangkan eksistensinya dalam sebuah cerita, karena itu ketiganya sering disebut struktur faktual (factual stucture).
    • Alur (Plot). Alur merupakan rangkaian peristiwa yang sambung-sinambung terjalin dalam hubungan kausalitas (sebab-akibat) guna membangun jalannya cerita secara terpadu dan utuh. Peristiwa yang dialami tokoh dalam cerita dapat tersusun menurut urutan waktu terjadinya. Akan tetapi tidak semua kejadian dalam hidup tokoh ditampilkan secara berurutan, lengkap sejak kelahiran tokohnya. Peristiwa yang ditampilkan dipilih dengan memperthatikan kepentingan dalam membangun cerita.
    • Penokohan/Perwatakan (Characters). Penamaan tokoh disesuaikan dengan kepribadiannya yang berkaitan dengan psikososial dan sikapnya yang mengacu pada perbuatan atau tingkah lakunya dalam cerita. Penamaan tokoh dapat juga berupa simbol, profesi dan pekerjaannya. Nama tokoh dapat membayangkan tentang wajah dan perangainya, dengan demikian dalam penafsiran tokoh, nama mempunyai fungsi penting. Oleh karena itu, nama tokoh akan dibicarakan bersama-sama dalam analisis penokohan.
    • Latar (Setting). Abrams (dalam Alma’ruf dan Nugrahani, 2017:94) memberikan deskripsi latar dalam karya sastra menjadi tiga yakni latar tempat, waktu dan sosial. Latar tempat berkaitan dengan masalah geografis yaitu latar waktu berhubungan dengan zaman dan latar sosial erat berkaitan dengan kehidupan kemasayarakatan atau sosial budaya. Jika demikian, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa latar cerita dapat berupa latar tempat, latar waktu dan latar lingkungan. Latar lingkungan terutama sekali adalah latar sosial budaya yang melingkupi kehidupan para tokoh. Adapun fungsi dari latar itu sendiri yaitu untuk memberikan suasana dalam cerita.
  3. Sarana Sastra (Literary Device). Sarana sastra adalah teknik yang digunakan pengarang untuk menyusun detil-detil cerita berupa peristiwa dan kejadian-kejadian menjadi pola yang bermakna. Sarana sastra dipakai untuk memungkinkan pembaca melihat dan merasakan fakta seperti yang dilihat dan dirasakan pengarang, serta menafsirkan makna seperti yang ditafsirkan oleh pengarang. Sarana sastra dalam fiksi antara lain:
    • gaya bahasa. Style, ‘Gaya Bahasa’ dalam karya sastra merupakan sarana sastra yang turut memberikan kontribusi sangat berarti dalam memperoleh efek estetik dan penciptaan makna. Setiap diksi yang dipakai dalam karya sastra memiliki tautan emotif, moral, dan ideologis disamping maknanya yang netral. Ratna (Al-ma’ruf dan Nugrahani, 2017:97) menyatakan bahwa “aspek-aspek keindahan sastra justru terkandung dalam pemanfaatan gaya bahasanya. Oleh karena itu, gaya bahasa berperan penting dalam menentukan nilai estetik karya sastra”.
    • sudut pandang (point of view). Aminuddin (dalam Al-ma’ruf dkk, 2017:98) mengatakan bahwa “sudut pandang atau biasa diistilahkan dengan Poin Of View adalah cara pengarang menampilkan pelaku dalam cerita yang dipaparkannya”. Sebelum menulis, sastrawan tentunya terlebih dahulu menentukan siapa yang akan menjadi subjeknya. Menentukan pusat cerita atau pusat pengisahan berarti menentukan pertalian atau relasi antara pengarang dengan ceritanya (Aminuddin dalam Al-ma’ruf dan Nugrahani. 2017:99).
Sedangkan menurut Priyatni (2015:109) Struktur prosa fiksi yaitu sebagai berikut.
  1. Unsur Intrinsik Prosa Fiksi. Unsur intrinsik merupakan unsur pembangun karya sastra dari dalam karya sastra itu sendiri. Menurut Soedjijono (dalam Priyatni, 2015:109) menyatakan bahwa “unsur intrinsik adalah unsur yang berkaitan dengan eksistensi sastra sebagai struktur verbal yang otonom”. Menurut Priyatni (2015:110) unsur intrinsik prosa fiksi ada tujuh, yaitu sebagai berikut.
    • Tema. Tema dalam prosa fiksi memiliki kedudukan yang sangat penting karena semua elemen dalam prosa fiksi dalam sistem operasionalnya akan memacu dan menunjang tema. Tema disebut juga sebagai ide sentral atau makna sentral suatu cerita. Tema merupakan jiwa cerita dalam karya fiksi. Aminuddin (dalam Priyatni, 2015:119) menyatakan bahwa “tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tolak dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya”.
    • Tokoh, Watak, dan Perwatakan
      • Tokoh. Tokoh yaitu para pelaku atau subjek lirik dalam karya fiksi. Tokoh, berdsarkan bentuknya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: tokoh fisik dan tokoh imajiner. Tokoh fisik adalah tokoh yang ditampilkan pengarang sebagai manusia yang hidup di alam nyata. sedangkan tokoh imajiner adalah tokoh yang ditampilkam sebagai manusia yang hidup dalam fantasi.
      • Watak. Watak adalah sifat dasar, akhlak, atau budi pekerti yang dimiliki oleh tokoh. Setiap tokoh dalam karya fiksi memiliki sifat, sikap dan tingkah laku atau watak-watak tertentu. Orang yang memperkenalkan watak-watak tertentu adalah pengarang dengan tujuan untuk memperjelas tema yang ingin disampaikan.
      • Perwatakan. Cara pengarang menampilkan watak para tokoh dalam cerita ada bermacam-macam, diantaranya:
        • secara langsung atau analitik,
        • secara dramatik (tidak langsung). Sedangkan menurut Sukada (dalam Priyatni 2015:111) menyatakan bahwa pelukisan watak tokoh dengan cara sebagai berikut:
          • melukiskan bentuk lahir dari pelaku,
          • melukiskan jalan pikiran pelaku,
          • reaksi pelaku terhadap pristiwa,
          • analisis watak pelaku secara langsung oleh pengarang,
          • melukiskan keadaan sekitar pelaku,
          • reaksi pelaku lain terhadap pelaku utama, dan
          • komentar pelaku lain terhadap pelaku utama.
    • Setting atau Latar. Peristiwa dalam prosa fiksi didasari oleh tempat, waktu, dan situasi tertentu. Sebenarnya setting tidak hanya berupa tempat, waktu yan bersifat fisikal semata, tetapi juga setting yang bersifat psikologis. Setting fisik berkaitan dengan tempat, waktu, situasi dan benda-benda atau lingkungan hidup yang fungsinya membuat cerita menjadi logis. Sedangkan pada setting psikologis, di samping benda, waktu, tempat dan situasi tersebut mampu membuat cerita menjadi logis juga mampu menggerakkan emosi atau jiwa pembaca.
    • Alur/Plot. Alur adalah rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab-akibat, dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa peristiwa adalah unsur utama alur. Keterampilan pengarang dalam menggarap peristiwa menjadi jalinan cerita yang menarik ikut menentukan kualitas cerita yang ditampilkan pengarang.
    • Gaya. Istilah gaya diambil dari bahasa Inggris style dan dalam bahasa Latin stillus, mengandung arti leksikal ‘alat untuk menulis’, dalam istilah sastra gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.
    • Sudut Pandang Pengarang/Point Of View. Seorang pengarang dalam memaparkan ceritanya dapat memilih sudut pandang tertentu. Pengarang dapat memilih satu atau lebih narator/pencerita yang bertugas memaparkan ide, peristiwa-peristiwa dalam prosa fiksi. Secara garis besar, pengarang dapat memilih pencerita AKU-AN (kata ganti orang I) atau DIA-AN (kata ganti orang III).
    • Suasana Cerita. Dalam cerita fiksi terdapat suasana batin dari individu pengarang. Kemudian di samping itu juga terdapat suasana cerita yang ditimbulkan oleh penataan setting. Suasana cerita yang ditimbulkan oleh suasana batin individual pengarang disebut mood. Sedangkan suasana cerita yang timbul karena penataan setting disebut atmosphere.
  2. Unsur Ekstrinsik Prosa Fiksi. Unsur ekstrinsik dalam karya sastra yaitu unsur pembagun dari luar karya satra. Priyatni (2015:119) berpendapat bahwa seperti halnya puisi, pengkajian unsur ekstrinsik prosa fiksi mencakup: aspek historis, sosiologis, psikologis, filsafat, dan religius.
Prosa Nonfiksi

Prosa nonfiksi yaitu karangan yang tidak berdasarkan rekaan atau khayalan dari seorang pengarang, tetapi berisi hal-hal berupa informasi yang bersifat faktual atau kenyataan. Prosa nonfisi dapat berupa Buku, Jurnal, Laporan Penelitian, Skripsi, dan Tesis.

Citra Perempuan Perspektif Feminisme

Penelitian citra perempuan atau images of women ini merupakan suatu jenis anggapan yang menganggap teks-teks sastra dapat digunakan sebagai bukti adanya berbagai jenis peranan perempuan. Penelitian Citra Perempuan atau images of women dilakukan untuk dua kegunaan yang berbeda. Penelitian images of women digunakan untuk mengungkap hakikat representasi stereotipe yang menindas yang diubah ke dalam model-model peran serta menawarkan pandangan yang sangat terbatas dari hal-hal yang diharapkan oleh seorang perempuan (Sugihastuti dalam Lein, 2016).

Jika dilihat dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian secara kritik feminis merupakan Kritik Sastra Feminis yang berfokus pada Citra Perempuan. Sehingga penelitian Kritik Sastra Feminis juga merupakan penelitian tentang Citra Perempuan. Umumnya, Kritik Sastra Feminis meneliti tentang kekuatan perempuan (mengungkapkan harga diri seorang perempuan). Setelah menjelaskan bagaimana kaitan citra perempuan dengan Feminisme, maka di bawah ini peneliti akan menjelaskan secara lebih terperinci tentang Citra Perempuan dan Feminisme.

Pengertian Citra Perempuan

Sebelum peneliti menjelaskan mengenai citra perempuan, peneliti akan menjelaskan terlebih dahulu arti citra. Citra artinya rupa, gambaran, dapat berupa gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, atau kesan mental. Nurgiyantoro (2010:304) menyatakan bahwa “citra merupakan sebuah gambaran pengalaman indera yang diungkapkan lewat kata-kata, gambaran berbagai pengalaman yang dibangkitkan oleh kata-kata pencitraan”.

Pencitraan adalah proses atau cara membentuk citra mental pribadi atau gambaran sesuatu. Abrams dan Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2010:304) menyatakan bahwa “pencitraan merupakan kumpulan citra, the collection of images, yang dipergunakan untuk melukiskan objek dan kualitas tanggapan indera yang dipergunakan dalam karya sastra, baik dengan deskripsi secara harfiah maupun secara kias”. Macam-macam pencitraan itu sendiri meliputi kelima jenis indera manusia yaitu citraan penglihatan (visual), pendengaran (auditoris), gerakan (kinestetik), rabaan (taktil termal), dan penciuman (olfaktori), namun pemanfaatannya dalam sebuah karya sastra tidak sama intensitasnya (Nurgiyantoro, 2010:304).

Citra perempuan diartikan sebagai semua wujud gambaran mental spiritual dan tingkah laku keseharian perempuan yang menunjukkan wajah dan ciri khas perempuan. Sampai saat ini paham yang sulit dihilangkan adalah terjadinya hegemoni pria terhadap wanita. Paham tentang wanita sebagai orang yang lemah lembut, permata, bunga, dan sebaliknya pria sebagai orang yang cerdas, aktif dan sejenisnya selalu mewarnai karya sastra. Citra wanita dan pria tersebut sekakan-akan telah mengakar dibenak penulis sastra (Endraswara, 2008:143). Humm (dalam Anwar, 2009:9) mengansumsikan bahwa “wanita sesungguhnya hanya tahu tentang dirinya melalui definisi kultural tentang feminitas yang didikte oleh kebudayaan partriarkhi”. Sedangkan feminisme memandang perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam gerakan terlepas dibawah naungan seorang laki-laki (Wiyatmi, 2013:95).

Hampir seluruh karya sastra, baik yang dihasilkan oleh penulis pria maupun wanita, dominasi pria selalu lebih kuat. Figur pria terus menjadi the athority, sehingga mengasumsikan bahwa wanita adalah impian semata (Endraswara, 2008:143). Atas dasar itu lah, peneliti tertarik untuk menganalisis atau menggali lebih jauh konstruksi gender dalam novel Cinta Suci Zahrana sebagai objek penelitian, karena peneliti perlu tahu dan menjelaskan bagaimana perjuangan seorang wanita agar lepas dari keterjajahan kaum laki-laki dan menjelaskan bahwa wanita tidak selalu berada dibawah kerja keras seorang laik-laki dan wanita mampu meraih cita-citanya sesuai dengan apa yang diinginkannya sejak awal dan wanita juga mampu untuk berperan ganda yaitu sebagai istri dan sebagai wanita karier atau wanita yang berpendidikan.

Menurut Sugihastuti (dalam Wiyatmi, 2013:22) “citra wanita dibedakan menjadi dua yaitu citra diri wanita dan citra sosial wanita.
  1. Citra Diri Wanita. Menurut Sugihastuti (dalam Wiyatmi, 2013:22) “Citra diri wanita merupakan dunia yang typis, yang khas dengan segala macam tingkah lakunya. Citra diri wanita merupakan keadaan dan pandangan wanita yang berasal dari dalam dirinya sendiri, yang meliputi aspek fisik dan aspek psikis". Citra diri wanita terwujud sebagai sosok individu yang mempunyai pendirian dan pilihan tersendiri atas berbagai aktivitasnya berdasarkan kebutuhan-kebutuhan pribadi maupun sosialnya.
    • Citra Fisik Wanita. Secara fisik,wanita dewasa merupakan sosok individu hasil bentukan proses biologis dan bayi perempuan, yang dalam perjalanan usianya mencapai taraf dewasa. Secara fisik, wanita berbeda dengan pria, antara lain ditunjukkan oleh fisik yang lembut, lincah, lemah, berkerudung dan lain sebagainya.
    • Citra Psikis Wanita. Jika ditinjau dari aspek psikisnya, wanita juga makhluk psikologis, makhluk yang berfikir, berperasaan, dan beraspirasi (Sugihastuti dalam Wiyatmi, 2013:22). Aspek psikis wanita tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebut feminitas. Dari aspek psikis terlihat bahwa wanita dilahirkan secara biopsikologis berbeda dengan laki-laki, hal ini juga mempengaruhi pengembangan dirinya. Pengembangan dirinya tersebut bermula dari lingkungan keluarga, keluarga hasil perkawinannya. Aspek psikis wanita saling berpengaruh dengan aspek fisik dan keduanya merupakan aspek yang mempengaruhi citra diri wanita. Kejiwaan wanita dewasa dalam aspek psikis mempengaruhi citra diri wanita, semakin bertumbuh baik wanita akan semakin berkembang pula psikis mereka untuk menjadi dewasa. Citra diri wanita tidak bisa lepas dari aspek psikis dan fisik. Adanya perbedaan bentuk fisik antara wanita dan laki-laki mempengaruhi pola berfikir dan pola kehidupan wanita. Aspek psikis menunjukkan bahwa wanita memiliki pemikiran-pemikiran untuk berkembang, berinspirasi, dan memiliki perasaan untuk merasakan keadaan dalam dirinya ataupun di luar dirinya.
  2. Citra Sosial Wanita. Sugihastuti (dalam Wiyatmi, 2013:22) “Citra sosial wanita merupakan citra wanita yang erat hubungannya dengan norma dan sitem nilai yang berlaku dalam satu kelompok masyarakat, tempat wanita menjadi anggota dan berhasrat mengadakan hubungan antarmanusia”. Kelompok masyarakat itu adalah kelompok keluarga dan kelompok masyarakat luas. Jika dilihat dari dalam keluarga, misalnya wanita berperan sebagai istri, ibu dan sebagai anggota keluarga yang masing-masing peran mendatangkan konsekuensi sikap sosial, yaitu satu dengan lainnya saling berkaitan. Citra sosial wanita juga merupakan masalah pengalaman diri, seperti dicitrakan dalam citra diri wanita dan citra sosialnya, pengalaman-pengalaman inilah yang menentukan interaksi sosial wanita dalam masyarakat atas pengalaman diri itulah maka wanita bersikap termasuk kedalam sikapnya terhadap laki-laki. Hal penting yang mengawali citra sosial wanita adalah citra dirinya. Sugihastuti (dalam Wiyatmi, 2013:22) “Citra wanita dalam aspek sosial dibedakan menjadi dua, yaitu citra wanita dalam keluarga dan citra wanita dalam masyarakat”.
    • Citra Wanita dalam Keluarga. Sebagai wanita dewasa, seperti tercitrakan dalam aspek fisik dan psikisnya, salah satu peran yang menonjol daripadanya adalah peran wanita dalam keluarga. Citra wanita dalam aspek keluarga digambarkan sebagai wanita dewasa, seorang istri dan seorang ibu rumah tangga.
    • Citra Wanita dalam Masyarakat. Sugihastuti (dalam Wiyatmi, 2013:22) “Selain peran dalam keluarga, citra sosial wanita juga berperan dalam masyarakat. Manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya memerlukan manusia lain. Demikian juga bagi wanita, hubungannya dengan manusia lain itu dapat bersifat khusus maupun umum, tergantung pada bentuk sifat hubungan itu sendiri. Hubungan manusia dalam masyarakat dimulai dari hubungannya antar orang termasuk hubungan antar wanita dengan seorang pria”. Citra sosial wanita menunjukkan bagaimana wanita berperan dalam kehidupannya, yaitu berperan dalam keluarga dan masyarakat. Wanita mengambil bagian dalam keluarga sebagai ibu, kakak, adik, dan istri, sedangkan dalam masyarakat wanita tidak dapat hidup sendiri dan memerlukan orang lain. Jika dilihat dari penjelasan diatas bahwa citra wanita terbangun dari berbagai aspek yaitu aspek fisik, aspek psikis, keluarga dan masyarakat.
Pendekatan Feminisme

Dasar pemikiran dalam penelitian sastra berperspektif feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan seperti tercermin dalam karya sastra. Peran dan kedudukan perempuan tersebut akan menjadi sentral pembahasan dalam penelitian ini. Peneliti akan memperhatikan dominasi laki-laki atau gerakan perempuan. Feminisme adalah pendekatan yang umumnya membahas tentang wanita. Feminisme mempunyai banyak pengertian.

Menurut feminisme marxis (dalam Anwar, 2009:13), wanita justru membutuhkan pengetahuan yang lebih luas mengenai berbagai aturan permainan dalam seni yang terdapat dalam kesadaran sosial mereka. Wanita membutuhkan kritik feminis untuk menentang berbagai bentuk institusi sastra dan relasi-relasi kesasteraan yang ada antara pengarang dan pembaca, artinya melalui feminisme wanita dapat menginterogasi dan mengasosiasikan kembali berbagai masalah penciptaan nilai dalam sastra.

Menurut Humm (dalam Wiyatmi, 2012:12) “Feminisme menggabungkan doktrin persamaan hak bagi perempuan yang menjadi gerakan yang terorganisasi untuk mencapai hak asasi perempuan, dengan sebuah ideologi transformasi sosial yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi perempuan”. Pemikiran dan gerakan feminisme lahir untuk mengakhiri dominasi laki-laki terhadap perempuan yang terjadi di dalam masyarakat (Ruthven dalam Wiyatmi, 2012:12-13). Kemudian adapun feminisme menurut Goefe (dalam Sugihastuti dan Septiawan, 2010:93) feminisme ialah “teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial: atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan”. Jika dilihat dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa Feminisme merupakan ideologi pembebasan perempuan dengan keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan yang disebabkan oleh perbedaan jenis kelaminnya. Salah satu alasan yang mendukung dalam hal ini adalah kenyataan bahwa feminisme tidak hanya memperjuangkan masalah gender, tetapi juga masalah kemanusiaan.

Pendekatan Strukturalisme

Menurut Endraswara (2008:49) “strukturalis pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Dalam pandangan ini karya sastra diasumsikan sebagai fenomena yang memiliki struktur yang yang saling terkait satu sama lain”. Kodrat struktur itu akan bermakna apabila dihubungkan dengan struktur lain. Struktur tersebut memiliki bagan yang kompleks, sehingga pemaknaan harus diarahkan ke dalam hubungan antar unsur secara keseluruhan. Keseluruhan akan lebih berarti dibanding bagian atau fragmen struktur.

Sedangkan menurut Junus (dalam Endraswara, 2018:49) “strukturalisme memang sering dipahami sebagai bentuk. Karya sastra adalah bentuk. Karena itu, strukturalisme sering dianggap sekadar formalisme modern”. Jadi, dapat disimpulkan bahwa strukturalisme merupakan cabang penelitian sastra yang tidak bisa lepas dari aspek-aspek linguistik, strukturalisme hadir sebagai upaya melengkapi penelitian sastra.

Kritik Sastra Feminis

Kritik sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra yang memanfaatkan kerangka teori feminisme dalam menginterpretasi dan memberikan evaluasi terhadap karya sastra. Sebelum memahami lebih lanjut bagaimana karakteristik kritik sastra feminis, sebelumnya perlu diuraikan pengertian kritik sastra terlebih dahulu, khususnya dalam kerangka keilmuan sastra. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam pengertian sehari-hari kata kritik dapat diartikan sebagai penilaian terhadap suatu fenomena yang terjadi di dalam masyarakat.

Sastra (karya sastra) merupakan karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahan sastra adalah bahasa yang sudah berarti. Dalam karya sastra, arti bahasa ditentukan oleh konvensi sastra atau disesuaikan dengan konvensi sastra. Jadi, dalam sastra arti bahasa ditingkatkan menjadi arti sastra atau makna meskipun tidak lepas sama sekali dari arti bahasanya (Pradopo, 2003:121).

Menurut Wellek (dalam Wiyatmi 2012:02) “Kritik sastra adalah studi karya sastra yang konkret dengan penekanan pada penilaiannya”. Penadapat tersebut senada dengan pendapat Abrams (dalam Wiyatmi, 2012:03) yang menyatakan bahwa “kritik sastra adalah studi yang berkenaan dengan pembatasan, pengkelasan, penganalisisan, dan penilaian karya sastra”. Kritik sastra adalah ilmu sastra untuk “menghakimi” karya sastra guna untuk memberikan penilaian, dan memberikan keputusan bermutu atau tidak suatu karya sastra yang sedang dihadapi oleh kritikus (Pradopo dalam Wiyatmi, 2012:03). Beberapa batasan pengertian kritik sastra tersebut menunjukkan kepada kita bahwa kritik sastra merupakan suatu cabang studi sastra yang langsung berhubungan dengan karya sastra dengan melalui interpretasi (penafsiran), analisis (penguraian), dan penilaian (evaluasi).

Jehlen (dalam Anwar, 2009:48) menjelaskan bahwa “kritik sastra feminis terus memahami tulisan-tulisan wanita dalam perubahannya secara historis dan kultural yang dihubungkan dengan struktur teks yang diidentifikasi sebagai suatu upaya wanita untuk mengemukakan aspirasi feminisnya dalam sastra“. Kolodny (dalam Anwar, 2009:43) menegaskan bahwa “tugas utama kritik feminis adalah mencari perbedaan-perbedaan pengalaman yang mendasari penggunaan-penggunaan imaji dalam merepresentasikan wanita”. Metode kritik feminis harus mencari kenyataan yang ada dibalik fiksi (cerita rekaan). Maksudnya sebelum menganalisis cerita fiksi, penulis harus terlebih dahulu mencari atau mengamati fakta atau kenyataan disekitar lingkungan yang ada dan berhubungan dengan apa yang akan di teliti atau di analisis, sehingga penelitian tersebut dapat berwujud nyata, untuk itu kritik feminis harus berpijak secara hati-hati sebelum menyatakan bahwa pengarang wanita yang mempersepsi kenyataan atau karakter wanita adalah suatu penyimpangan (Anwar, 2009:43). Jadi kesimpulan dari kritik sastra feminisme secara sederhana adalah sebuah kritik sastra yang memandang sastra dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan manusia. Kritik sastra feminis juga mempermasalahkan asumsi tentang perempuan yang berdasarkan pemahaman tertentu yang selalu dikaitkan dengan kodrat perempuan yang kemudian menimbulkan isu tertentu tentang perempuan.

Hakikat Sastra

Hakikat Sastra

Pengertian Sastra

Berbicara tentang sejarah sastra Indonesia tentu saja harus dimulai dari pengertian sastra itu sendiri. Penjelasan makna suatu istilah merupakan hal yang penting dalam kajian ilmiah agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.

Djoko Damono (dalam Priyatni 2015:12) memaparkan bahwa sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium, bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Pada pengertian tersebut, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antarmasyarakat dengan orang lain, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat.

Menurut Priyatni (2015:12) “Sastra adalah pengungkapan realitas kehidupan masyarakat secara imajiner atau secara fiksi”. Senada dengan apa yang diungkapkan oleh George Lukas (dalam Priyatni, 2015:12) “Sastra merupakan sebuah cermin yang memberikan kepada kita sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup dan lebih dinamik”. Meskipun karya sastra itu bersifat imajiner, namun karya sastra tetap masuk akal dan tidak menutup kemungkinan ia mengandung kebenaran didalamnya (Alterbernd dan Lewis dalam Priyatni, 2015:12).

Karya sastra merupakan karya seni yang mengungkapkan eksistensi kemanusiaan dengan segala variasi dan liku-likunya secara imajinatif dan kreatif dengan menggunakan bahasa estetik sebagai mediumnya. Baik puisi, fiksi maupun drama, karya sastra merupakan hasil refleksi sastrawan terhadap lingkungan sosialnya yang kemudian diekspresikan melalui bahasa yang indah dengan daya kreasi dan imajinatifnya. Kemudian dengan segenap daya cipta, rasa dan karsanya, sastrawan mengungkapkan gagasan mengenai hakikat kehidupan yang dirasakan, dihayati, dialami, dan dipikirkan melalui karya sastra sebagai media ekspresinya yang imajinatif (Al-Ma’ruf dan Nugrahani, 2017:5).

Tarigan (dalam Alma’ruf dan Nugrahani, 2017:2) menyatakan bahwa karya sastra merupakan media bagi pengarang untuk menuangkan dan mengngkapkan ide-ide hasil perenungan tentang makna dan hakikat hidup yang dialami, dirasakan dan disaksikan. Seorang pengarang sebagai salah satu anggota masayarakat yang kreatif dan selektif ingin mengungkapkan pengalamannya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari kepada para penikmatnya.

Menurut Alma’ruf dan Nugrahani (2017:03) “sebagai karya seni bermediumkan, sastra berisi ekspresi pikiran spontan dari perasaan mendalam penciptanya. Ekspresi tersebut berisi ide, pandangan, perasaan, dan semua kegiatan mental manusia, yang diungkapkan dalam bentuk keindahan”. Sementara itu, bila ditinjau dari potensinya, sastra disusun melalui refleksi pengalaman, yang memiliki berbagai macam bentuk representasi kehidupan. Sebab itu, sastra merupakan sumber pemahaman tentang manusia, peristiwa, dan kehidupan manusia yang beragam.

Keberadaan karya sastra tidak terlepas dari dunia nyata. Karya sastra merupakan sebuah fenomena sosial budaya, dalam sebuah karya sastra dunia nyata dan dunia rekaan saling berkaitan, yang satu tidak bermakna tanpa yang lain. Keberadaan karya sastra berdampingan dengan dunia realita (Wiyatmi, 2013:9). Sastra sebagai refleksi kehidupan berarti pantulan kembali problem dasar kehidupan manusia, yang meliputi: maut, cinta, tragedi, harapan, kekuasaan, pengabdian, makna dan tujuan hidup, serta hal-hal yang transedental dalam kehidupan manusia. Problem kehidupan itu oleh sastrawan dikonkretisasikan kedalam gubahan bahasa baik dalam bentuk prosa, puisi, maupun lakon (drama). Jadi membaca karya sastra berarti membaca pantulan problema kehidupan dalam bentuk wujud gubahan seni berbahasa (Santosa dalam Al-Ma’ruf dan Nugrahani, 2017:04).

Karya sastra adalah suatu hasil karya seni baik lisan maupun tertulis yang lazimnya menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Karya sastra memberikan gambaran tentang kehidupan dengan segala kompleksitas, problema, dan keunikannya baik tentang cita-cita, keinginan dan harapan, kekuasaan, pengabdian, makna dan tujuan hidup, perjuangan, eksistensi dan ambisi manusia, juga cinta, benci dan iri hati, tragedi dan kematian. Jadi, karya sastra mengungkapkan gagasan pengarang yang berkaitan dengan hakikat dan nilai-nilai kehidupan, serta eksistensi manusia yang meliputi dimensi kemanusiaan, sosial, kultural, moral, politik, gender, pendidikan maupun ketuhanan atau religiusitas (Al-Ma’ruf dan Nugrahani, 2017:04).

Jika dilihat dari berbagai pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa sastra dapat dipandang sebagai sarana atau media pengungkapan dunia pengarang beserta ideologinya yang kompleks dan menyeluruh melalui medium bahasa. Sastra merupakan ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, keyakinan, ide, dan semangat dalam bentuk karya seni yang dapat membangkitkan rasa keindahan melalui bahasa. Kemudian Sastra juga merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai medianya.

Berdasarkan batasan-batasan yang telah disampaikan dalam uraian sebelumnya, dapat disumpulkan bahwa setidaknya dalam sastra terdapat dua unsur yang utama, yaitu:
  1. isi, yaitu seseuatu yang merupakan gagasan atau pikiran, perasaan, pengalaman, ide, semangat, dan tanggapan pengarang terhadap lingkungan kehidupan sosial yang ingin disampaikan pengarang terhadap pembaca,
  2. bentuk, yaitu media ekspresi yang berbentuk seni sastra, yang pada umumnya bermediumkan bahasa serta unsur-unsur yang mendukung totalitas makna yang terkandung di dalamnya.
Fungsi dan Manfaat Sastra

Fungsi Sastra

Secara garis besar, sastra berfungsi untuk memberikan kesenangan atau kenikmatan kepada pembacanya. Sastra di samping memberikan kesenangan kepada para pembacanya juga berdaya guna atau bermanfaat bagi kehidupan batiniah. Sastra berguna untuk memberikan hiburan sekaligus berguna bagi pengayaan spiritual atau menambah khasanah batin pembaca.

Sastra bersifat menghibur bukan berarti membuat pembaca terpingkal-pingkal karena tidak dapat menahan tawanya. Namun, lebih pada kepuasan batin ketika mengikuti alur cerita atau menikmati keindahan penggunaan bahasa dalam memaparkan aspek-aspek kehidupan (Priyatni, 2015:21).
  1. Manfaat sastra. Ada berbagai manfaat yang dapat diberikan oleh sastra, menurut Karno (Priyatni, 2015:7) berbagai manfaat yang diperoleh dari karya sastra ini adalah sebagai berikut.
    • Sastra sebagai ilmu, artinya sastra sebagai salah satu disiplin ilmu yang bersifat konventif yang diajarkan di bangku Sekolah secara formal, dalam sub bidang bahasa Indonesia.
    • Sastra sebagai seni, artinya sastra memiliki semboyan dulce et utile (menghibur dan berguna). Jadi, sastra di samping memberikan kesenangan kepada para pembacanya juga berdaya guna ataubermanfaat bagi kehidupan manusia. Artinya, sastra bermanfaat untuk pengayaan spiritual atau khasanah batin.
    • Sastra sebagai kebudayaan, dalam hal ini sastra mencakup segala kehidupan manusia baik secara lahir maupun batin. Secara lahir sastra sejajar dengan bahasa yang berfungsi sebagai pemersatu bangsa, sarana pergaulan, alat komunikasi antara manusia dan antarbangsa. Hal ini dapat dilihat dan saling dikenalnya para pengarang di seluruh penjuru dunia melalui hasil karyanya.
Hakikat Prosa

Prosa Fiksi (Cerita Rekaan)

Fiksi sering disebut juga dengan Cerita Rekaan (Cerkan) bukan sebagai lawan dari kenyataan melainkan lebih sebagai hasil refleksi sastrawan terhadap realitas kehidupan dalam lingkungan sosial budayanya. Setelah melalui kreasi dengan daya imajinasinya, dengan daya kreasi dan imajinasi tersebut, sastrawan kemudian merefleksikan realitas kehidupan yang dihadapinya ke dalam karya fiksi. Oleh karena itu, kebenaran yang ada dalam dunia sastra tidak dapat disejajarkan dengan kebenaran pada dunia nyata.

Menurut Wellek dan Warren (dalam Al-ma’ruf dan Nugrahani, 2017:73), betapa pun syaratnya pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah fiksi haruslah tetap merupakan cerita yang menarik, bangunan strukturnya koheren, dan mempunyai tujuan estetik. Melalui cerita, secara tidak langsung pembaca dapat belajar, merasakan, dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang ditawarkan pengarang.

Menurut Anwar (2009:49) “Fiksi merupakan salah satu wilayah utama bagi wanita dalam membuat ruangnya sendiri, untuk menampakkan apa yang sesungguhnya dialaminya, dan untuk membicarakan apa yang dirasakannya”. Prosa fiksi ialah prosa yang berupa cerita rekaan atau khayalan pengarangnya. Isi ceirta pada prosa fiksi tidak sepenuhnya berdasarkan pada fakta. Prosa fiksi disebut juga dengan karangan narasi sugestif atau imajinatif seorang pengarang. Prosa fiksi berbentuk Cerita Pendek (Cerpen), Novel, dan juga Dongeng.
  1. Cerita Pendek (Cerpen). Cerita Pendek (Cerpen) adalah cerita rekaan yang bersifat pendek dalam artian hanya berisi pengisahan dengan fokus pada satu konflik saja dengan tokoh-tokoh yang terbatas. Edgar Allan Poe (dalam Nurgiyantoro, 2010:10) menyatakan bahwa ” Cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam yang suatu hal yang tidak mungkin dilakukan untuk sebuah Novel”.
  2. Novel. Novel merupakan salah satu bentuk sastra di samping cerita pendek, puisi dan drama. Novel adalah cerita rekaan yang menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan sesama dan lingkungannya, juga interaksinya dengan diri sendiri, dan Tuhan. Novel merupakan hasil dialog dan reaksi pengarang terhadap kehidupan dan lingkungannya, setelah melalui pengkhayatan dan perenungan secara intens. Novel merupakan hasil karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab kreatif sebagai karya seni yang berunsur estetik dengan menawarkan model-model kehidupan yang diidealkan oleh pengarang. Pengarang dengan secara bebas bisa menuangkan hasil pemikirannya kedalam bentuk tulisan seperti apa yang diinginkannya. Menurut pandangan Luckas (dalam Anwar, 2009:49) “Novel adalah kreasi realitas yang bertumpu pada konvensionalitas dunia objektif dan interioritas dunia subjektif pada sisi lainnya”. Alma’ruf dan Nugrahani (2017:76) mengatakan bahwa “Novel merupakan hasil pengalaman pengarang dalam menghadapi lingkungan sosialnya yang didapat dari imajinasi pengarang. Novel merupakan ungkapan kesadaran pengarang yang berhubungan dengan kepekaan, pikiran, perasaan, dan hasratnya dengan realitas yang dihadapi pengarang dipadu dengan pengalaman hidupnya. Oleh karena itu, novel sering mengungkapkan berbagai realitas hidup yang terkadang tidak terduga oleh pembaca.
  3. Dongeng. Dongeng adalah cerita rekaan yang sama dengan Cerpen dan Novel. Namun di dalam dongeng, cerita yang dikisahkan adalah tentang hal-hal yang tidak masuk akal atau tidak mungkin terjadi. Contohnya saja, seorang manusia dapat menjelma sebagai seekor binatang, kemudian seekor binatang tersebut dapat berbicara layaknya seorang manusia. Hanya saja, dongeng dapat dijadikan sarana penyampaian nasihat tentang moral atau bersifat kiasan atau perlambangan (alegoris).
Unsur-Unsur Fiksi
  1. Unsur Intrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang secara langsung turut membangun karya sastra itu yang secara faktual terdapat di dalam karya sastra. Unsur inilah yang membuat karya hadir sebagai karya sastra atau dari sudut pandang pembaca, unsur-unsur cerita itulah yang akan dijumpai ketika membaca sebuah novel. Unsur intrinsik itu yakni: tema, alur, latar, tokoh, sudut pandang, dan gaya bahasa.
  2. Unsur Ekstrinsik. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi juga secara tidak langsung turut mempengaruhi bangunan karya sastra itu sendiri. Unsur ekstrinsik terdiri atas beberapa unsur yang merupakan keadaan subjetivitas pribadi pengarang yang berupa keyakinan, sikap ideologi, dan pandangan hidup. Unsur ekstrinsik lainnya adalah psikologi pengarang (mencakup proses kreatifnya), lingkungan sosial budaya, politik, pendidikan, dan profesi. Latar belakang kehidupan pengarang akan turut menentukan corak karya sastra yang dihasilkannya (Alma’ruf dan Nugrahani, 2017:84).
Robert Stanton (dalam Alma’ruf dan Nugrahani, 2017:85) membagi unsur-unsur yang membangun fiksi (novel) menjadi tiga yaitu sebagai berikut.
  1. Tema (Theme). Tema adalah gagasan yang melandasi cerita, yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan, seperti masalah sosial, politik, budaya religi, juga cinta kasih, maut dan sebagainya. Sastrawan dalam karya sastranya ingin mengemukakan suatu gagasan sesuai dengan latar belakang kehidupannya, pandangan, wawasan, dan ideologinya. Tema cerita lazimnya merupakan sesuatu yang bersifat universal dan berlaku sepanjang masa yang dapat dihayati orang selama karya itu masih ada.
  2. Fakta Cerita (Facts). Fakta cerita meliputi tokoh, alur dan latar, ketiganya merupakan unsur fiksi yang secara faktual dapat dibayangkan eksistensinya dalam sebuah cerita, karena itu ketiganya sering disebut struktur faktual (factual stucture).
    • Alur (Plot). Alur merupakan rangkaian peristiwa yang sambung-sinambung terjalin dalam hubungan kausalitas (sebab-akibat) guna membangun jalannya cerita secara terpadu dan utuh. Peristiwa yang dialami tokoh dalam cerita dapat tersusun menurut urutan waktu terjadinya. Akan tetapi tidak semua kejadian dalam hidup tokoh ditampilkan secara berurutan, lengkap sejak kelahiran tokohnya. Peristiwa yang ditampilkan dipilih dengan memperthatikan kepentingan dalam membangun cerita.
    • Penokohan/Perwatakan (Characters). Penamaan tokoh disesuaikan dengan kepribadiannya yang berkaitan dengan psikososial dan sikapnya yang mengacu pada perbuatan atau tingkah lakunya dalam cerita. Penamaan tokoh dapat juga berupa simbol, profesi dan pekerjaannya. Nama tokoh dapat membayangkan tentang wajah dan perangainya, dengan demikian dalam penafsiran tokoh, nama mempunyai fungsi penting. Oleh karena itu, nama tokoh akan dibicarakan bersama-sama dalam analisis penokohan.
    • Latar (Setting). Abrams (dalam Alma’ruf dan Nugrahani, 2017:94) memberikan deskripsi latar dalam karya sastra menjadi tiga yakni latar tempat, waktu dan sosial. Latar tempat berkaitan dengan masalah geografis yaitu latar waktu berhubungan dengan zaman dan latar sosial erat berkaitan dengan kehidupan kemasayarakatan atau sosial budaya. Jika demikian, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa latar cerita dapat berupa latar tempat, latar waktu dan latar lingkungan. Latar lingkungan terutama sekali adalah latar sosial budaya yang melingkupi kehidupan para tokoh. Adapun fungsi dari latar itu sendiri yaitu untuk memberikan suasana dalam cerita.
  3. Sarana Sastra (Literary Device). Sarana sastra adalah teknik yang digunakan pengarang untuk menyusun detil-detil cerita berupa peristiwa dan kejadian-kejadian menjadi pola yang bermakna. Sarana sastra dipakai untuk memungkinkan pembaca melihat dan merasakan fakta seperti yang dilihat dan dirasakan pengarang, serta menafsirkan makna seperti yang ditafsirkan oleh pengarang. Sarana sastra dalam fiksi antara lain:
    • gaya bahasa. Style, ‘Gaya Bahasa’ dalam karya sastra merupakan sarana sastra yang turut memberikan kontribusi sangat berarti dalam memperoleh efek estetik dan penciptaan makna. Setiap diksi yang dipakai dalam karya sastra memiliki tautan emotif, moral, dan ideologis disamping maknanya yang netral. Ratna (Al-ma’ruf dan Nugrahani, 2017:97) menyatakan bahwa “aspek-aspek keindahan sastra justru terkandung dalam pemanfaatan gaya bahasanya. Oleh karena itu, gaya bahasa berperan penting dalam menentukan nilai estetik karya sastra”.
    • sudut pandang (point of view). Aminuddin (dalam Al-ma’ruf dkk, 2017:98) mengatakan bahwa “sudut pandang atau biasa diistilahkan dengan Poin Of View adalah cara pengarang menampilkan pelaku dalam cerita yang dipaparkannya”. Sebelum menulis, sastrawan tentunya terlebih dahulu menentukan siapa yang akan menjadi subjeknya. Menentukan pusat cerita atau pusat pengisahan berarti menentukan pertalian atau relasi antara pengarang dengan ceritanya (Aminuddin dalam Al-ma’ruf dan Nugrahani. 2017:99).
Sedangkan menurut Priyatni (2015:109) Struktur prosa fiksi yaitu sebagai berikut.
  1. Unsur Intrinsik Prosa Fiksi. Unsur intrinsik merupakan unsur pembangun karya sastra dari dalam karya sastra itu sendiri. Menurut Soedjijono (dalam Priyatni, 2015:109) menyatakan bahwa “unsur intrinsik adalah unsur yang berkaitan dengan eksistensi sastra sebagai struktur verbal yang otonom”. Menurut Priyatni (2015:110) unsur intrinsik prosa fiksi ada tujuh, yaitu sebagai berikut.
    • Tema. Tema dalam prosa fiksi memiliki kedudukan yang sangat penting karena semua elemen dalam prosa fiksi dalam sistem operasionalnya akan memacu dan menunjang tema. Tema disebut juga sebagai ide sentral atau makna sentral suatu cerita. Tema merupakan jiwa cerita dalam karya fiksi. Aminuddin (dalam Priyatni, 2015:119) menyatakan bahwa “tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tolak dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya”.
    • Tokoh, Watak, dan Perwatakan
      • Tokoh. Tokoh yaitu para pelaku atau subjek lirik dalam karya fiksi. Tokoh, berdsarkan bentuknya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: tokoh fisik dan tokoh imajiner. Tokoh fisik adalah tokoh yang ditampilkan pengarang sebagai manusia yang hidup di alam nyata. sedangkan tokoh imajiner adalah tokoh yang ditampilkam sebagai manusia yang hidup dalam fantasi.
      • Watak. Watak adalah sifat dasar, akhlak, atau budi pekerti yang dimiliki oleh tokoh. Setiap tokoh dalam karya fiksi memiliki sifat, sikap dan tingkah laku atau watak-watak tertentu. Orang yang memperkenalkan watak-watak tertentu adalah pengarang dengan tujuan untuk memperjelas tema yang ingin disampaikan.
      • Perwatakan. Cara pengarang menampilkan watak para tokoh dalam cerita ada bermacam-macam, diantaranya:
        • secara langsung atau analitik,
        • secara dramatik (tidak langsung). Sedangkan menurut Sukada (dalam Priyatni 2015:111) menyatakan bahwa pelukisan watak tokoh dengan cara sebagai berikut:
          • melukiskan bentuk lahir dari pelaku,
          • melukiskan jalan pikiran pelaku,
          • reaksi pelaku terhadap pristiwa,
          • analisis watak pelaku secara langsung oleh pengarang,
          • melukiskan keadaan sekitar pelaku,
          • reaksi pelaku lain terhadap pelaku utama, dan
          • komentar pelaku lain terhadap pelaku utama.
    • Setting atau Latar. Peristiwa dalam prosa fiksi didasari oleh tempat, waktu, dan situasi tertentu. Sebenarnya setting tidak hanya berupa tempat, waktu yan bersifat fisikal semata, tetapi juga setting yang bersifat psikologis. Setting fisik berkaitan dengan tempat, waktu, situasi dan benda-benda atau lingkungan hidup yang fungsinya membuat cerita menjadi logis. Sedangkan pada setting psikologis, di samping benda, waktu, tempat dan situasi tersebut mampu membuat cerita menjadi logis juga mampu menggerakkan emosi atau jiwa pembaca.
    • Alur/Plot. Alur adalah rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab-akibat, dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa peristiwa adalah unsur utama alur. Keterampilan pengarang dalam menggarap peristiwa menjadi jalinan cerita yang menarik ikut menentukan kualitas cerita yang ditampilkan pengarang.
    • Gaya. Istilah gaya diambil dari bahasa Inggris style dan dalam bahasa Latin stillus, mengandung arti leksikal ‘alat untuk menulis’, dalam istilah sastra gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.
    • Sudut Pandang Pengarang/Point Of View. Seorang pengarang dalam memaparkan ceritanya dapat memilih sudut pandang tertentu. Pengarang dapat memilih satu atau lebih narator/pencerita yang bertugas memaparkan ide, peristiwa-peristiwa dalam prosa fiksi. Secara garis besar, pengarang dapat memilih pencerita AKU-AN (kata ganti orang I) atau DIA-AN (kata ganti orang III).
    • Suasana Cerita. Dalam cerita fiksi terdapat suasana batin dari individu pengarang. Kemudian di samping itu juga terdapat suasana cerita yang ditimbulkan oleh penataan setting. Suasana cerita yang ditimbulkan oleh suasana batin individual pengarang disebut mood. Sedangkan suasana cerita yang timbul karena penataan setting disebut atmosphere.
  2. Unsur Ekstrinsik Prosa Fiksi. Unsur ekstrinsik dalam karya sastra yaitu unsur pembagun dari luar karya satra. Priyatni (2015:119) berpendapat bahwa seperti halnya puisi, pengkajian unsur ekstrinsik prosa fiksi mencakup: aspek historis, sosiologis, psikologis, filsafat, dan religius.
Prosa Nonfiksi

Prosa nonfiksi yaitu karangan yang tidak berdasarkan rekaan atau khayalan dari seorang pengarang, tetapi berisi hal-hal berupa informasi yang bersifat faktual atau kenyataan. Prosa nonfisi dapat berupa Buku, Jurnal, Laporan Penelitian, Skripsi, dan Tesis.

Citra Perempuan Perspektif Feminisme

Penelitian citra perempuan atau images of women ini merupakan suatu jenis anggapan yang menganggap teks-teks sastra dapat digunakan sebagai bukti adanya berbagai jenis peranan perempuan. Penelitian Citra Perempuan atau images of women dilakukan untuk dua kegunaan yang berbeda. Penelitian images of women digunakan untuk mengungkap hakikat representasi stereotipe yang menindas yang diubah ke dalam model-model peran serta menawarkan pandangan yang sangat terbatas dari hal-hal yang diharapkan oleh seorang perempuan (Sugihastuti dalam Lein, 2016).

Jika dilihat dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian secara kritik feminis merupakan Kritik Sastra Feminis yang berfokus pada Citra Perempuan. Sehingga penelitian Kritik Sastra Feminis juga merupakan penelitian tentang Citra Perempuan. Umumnya, Kritik Sastra Feminis meneliti tentang kekuatan perempuan (mengungkapkan harga diri seorang perempuan). Setelah menjelaskan bagaimana kaitan citra perempuan dengan Feminisme, maka di bawah ini peneliti akan menjelaskan secara lebih terperinci tentang Citra Perempuan dan Feminisme.

Pengertian Citra Perempuan

Sebelum peneliti menjelaskan mengenai citra perempuan, peneliti akan menjelaskan terlebih dahulu arti citra. Citra artinya rupa, gambaran, dapat berupa gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, atau kesan mental. Nurgiyantoro (2010:304) menyatakan bahwa “citra merupakan sebuah gambaran pengalaman indera yang diungkapkan lewat kata-kata, gambaran berbagai pengalaman yang dibangkitkan oleh kata-kata pencitraan”.

Pencitraan adalah proses atau cara membentuk citra mental pribadi atau gambaran sesuatu. Abrams dan Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2010:304) menyatakan bahwa “pencitraan merupakan kumpulan citra, the collection of images, yang dipergunakan untuk melukiskan objek dan kualitas tanggapan indera yang dipergunakan dalam karya sastra, baik dengan deskripsi secara harfiah maupun secara kias”. Macam-macam pencitraan itu sendiri meliputi kelima jenis indera manusia yaitu citraan penglihatan (visual), pendengaran (auditoris), gerakan (kinestetik), rabaan (taktil termal), dan penciuman (olfaktori), namun pemanfaatannya dalam sebuah karya sastra tidak sama intensitasnya (Nurgiyantoro, 2010:304).

Citra perempuan diartikan sebagai semua wujud gambaran mental spiritual dan tingkah laku keseharian perempuan yang menunjukkan wajah dan ciri khas perempuan. Sampai saat ini paham yang sulit dihilangkan adalah terjadinya hegemoni pria terhadap wanita. Paham tentang wanita sebagai orang yang lemah lembut, permata, bunga, dan sebaliknya pria sebagai orang yang cerdas, aktif dan sejenisnya selalu mewarnai karya sastra. Citra wanita dan pria tersebut sekakan-akan telah mengakar dibenak penulis sastra (Endraswara, 2008:143). Humm (dalam Anwar, 2009:9) mengansumsikan bahwa “wanita sesungguhnya hanya tahu tentang dirinya melalui definisi kultural tentang feminitas yang didikte oleh kebudayaan partriarkhi”. Sedangkan feminisme memandang perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam gerakan terlepas dibawah naungan seorang laki-laki (Wiyatmi, 2013:95).

Hampir seluruh karya sastra, baik yang dihasilkan oleh penulis pria maupun wanita, dominasi pria selalu lebih kuat. Figur pria terus menjadi the athority, sehingga mengasumsikan bahwa wanita adalah impian semata (Endraswara, 2008:143). Atas dasar itu lah, peneliti tertarik untuk menganalisis atau menggali lebih jauh konstruksi gender dalam novel Cinta Suci Zahrana sebagai objek penelitian, karena peneliti perlu tahu dan menjelaskan bagaimana perjuangan seorang wanita agar lepas dari keterjajahan kaum laki-laki dan menjelaskan bahwa wanita tidak selalu berada dibawah kerja keras seorang laik-laki dan wanita mampu meraih cita-citanya sesuai dengan apa yang diinginkannya sejak awal dan wanita juga mampu untuk berperan ganda yaitu sebagai istri dan sebagai wanita karier atau wanita yang berpendidikan.

Menurut Sugihastuti (dalam Wiyatmi, 2013:22) “citra wanita dibedakan menjadi dua yaitu citra diri wanita dan citra sosial wanita.
  1. Citra Diri Wanita. Menurut Sugihastuti (dalam Wiyatmi, 2013:22) “Citra diri wanita merupakan dunia yang typis, yang khas dengan segala macam tingkah lakunya. Citra diri wanita merupakan keadaan dan pandangan wanita yang berasal dari dalam dirinya sendiri, yang meliputi aspek fisik dan aspek psikis". Citra diri wanita terwujud sebagai sosok individu yang mempunyai pendirian dan pilihan tersendiri atas berbagai aktivitasnya berdasarkan kebutuhan-kebutuhan pribadi maupun sosialnya.
    • Citra Fisik Wanita. Secara fisik,wanita dewasa merupakan sosok individu hasil bentukan proses biologis dan bayi perempuan, yang dalam perjalanan usianya mencapai taraf dewasa. Secara fisik, wanita berbeda dengan pria, antara lain ditunjukkan oleh fisik yang lembut, lincah, lemah, berkerudung dan lain sebagainya.
    • Citra Psikis Wanita. Jika ditinjau dari aspek psikisnya, wanita juga makhluk psikologis, makhluk yang berfikir, berperasaan, dan beraspirasi (Sugihastuti dalam Wiyatmi, 2013:22). Aspek psikis wanita tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebut feminitas. Dari aspek psikis terlihat bahwa wanita dilahirkan secara biopsikologis berbeda dengan laki-laki, hal ini juga mempengaruhi pengembangan dirinya. Pengembangan dirinya tersebut bermula dari lingkungan keluarga, keluarga hasil perkawinannya. Aspek psikis wanita saling berpengaruh dengan aspek fisik dan keduanya merupakan aspek yang mempengaruhi citra diri wanita. Kejiwaan wanita dewasa dalam aspek psikis mempengaruhi citra diri wanita, semakin bertumbuh baik wanita akan semakin berkembang pula psikis mereka untuk menjadi dewasa. Citra diri wanita tidak bisa lepas dari aspek psikis dan fisik. Adanya perbedaan bentuk fisik antara wanita dan laki-laki mempengaruhi pola berfikir dan pola kehidupan wanita. Aspek psikis menunjukkan bahwa wanita memiliki pemikiran-pemikiran untuk berkembang, berinspirasi, dan memiliki perasaan untuk merasakan keadaan dalam dirinya ataupun di luar dirinya.
  2. Citra Sosial Wanita. Sugihastuti (dalam Wiyatmi, 2013:22) “Citra sosial wanita merupakan citra wanita yang erat hubungannya dengan norma dan sitem nilai yang berlaku dalam satu kelompok masyarakat, tempat wanita menjadi anggota dan berhasrat mengadakan hubungan antarmanusia”. Kelompok masyarakat itu adalah kelompok keluarga dan kelompok masyarakat luas. Jika dilihat dari dalam keluarga, misalnya wanita berperan sebagai istri, ibu dan sebagai anggota keluarga yang masing-masing peran mendatangkan konsekuensi sikap sosial, yaitu satu dengan lainnya saling berkaitan. Citra sosial wanita juga merupakan masalah pengalaman diri, seperti dicitrakan dalam citra diri wanita dan citra sosialnya, pengalaman-pengalaman inilah yang menentukan interaksi sosial wanita dalam masyarakat atas pengalaman diri itulah maka wanita bersikap termasuk kedalam sikapnya terhadap laki-laki. Hal penting yang mengawali citra sosial wanita adalah citra dirinya. Sugihastuti (dalam Wiyatmi, 2013:22) “Citra wanita dalam aspek sosial dibedakan menjadi dua, yaitu citra wanita dalam keluarga dan citra wanita dalam masyarakat”.
    • Citra Wanita dalam Keluarga. Sebagai wanita dewasa, seperti tercitrakan dalam aspek fisik dan psikisnya, salah satu peran yang menonjol daripadanya adalah peran wanita dalam keluarga. Citra wanita dalam aspek keluarga digambarkan sebagai wanita dewasa, seorang istri dan seorang ibu rumah tangga.
    • Citra Wanita dalam Masyarakat. Sugihastuti (dalam Wiyatmi, 2013:22) “Selain peran dalam keluarga, citra sosial wanita juga berperan dalam masyarakat. Manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya memerlukan manusia lain. Demikian juga bagi wanita, hubungannya dengan manusia lain itu dapat bersifat khusus maupun umum, tergantung pada bentuk sifat hubungan itu sendiri. Hubungan manusia dalam masyarakat dimulai dari hubungannya antar orang termasuk hubungan antar wanita dengan seorang pria”. Citra sosial wanita menunjukkan bagaimana wanita berperan dalam kehidupannya, yaitu berperan dalam keluarga dan masyarakat. Wanita mengambil bagian dalam keluarga sebagai ibu, kakak, adik, dan istri, sedangkan dalam masyarakat wanita tidak dapat hidup sendiri dan memerlukan orang lain. Jika dilihat dari penjelasan diatas bahwa citra wanita terbangun dari berbagai aspek yaitu aspek fisik, aspek psikis, keluarga dan masyarakat.
Pendekatan Feminisme

Dasar pemikiran dalam penelitian sastra berperspektif feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan seperti tercermin dalam karya sastra. Peran dan kedudukan perempuan tersebut akan menjadi sentral pembahasan dalam penelitian ini. Peneliti akan memperhatikan dominasi laki-laki atau gerakan perempuan. Feminisme adalah pendekatan yang umumnya membahas tentang wanita. Feminisme mempunyai banyak pengertian.

Menurut feminisme marxis (dalam Anwar, 2009:13), wanita justru membutuhkan pengetahuan yang lebih luas mengenai berbagai aturan permainan dalam seni yang terdapat dalam kesadaran sosial mereka. Wanita membutuhkan kritik feminis untuk menentang berbagai bentuk institusi sastra dan relasi-relasi kesasteraan yang ada antara pengarang dan pembaca, artinya melalui feminisme wanita dapat menginterogasi dan mengasosiasikan kembali berbagai masalah penciptaan nilai dalam sastra.

Menurut Humm (dalam Wiyatmi, 2012:12) “Feminisme menggabungkan doktrin persamaan hak bagi perempuan yang menjadi gerakan yang terorganisasi untuk mencapai hak asasi perempuan, dengan sebuah ideologi transformasi sosial yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi perempuan”. Pemikiran dan gerakan feminisme lahir untuk mengakhiri dominasi laki-laki terhadap perempuan yang terjadi di dalam masyarakat (Ruthven dalam Wiyatmi, 2012:12-13). Kemudian adapun feminisme menurut Goefe (dalam Sugihastuti dan Septiawan, 2010:93) feminisme ialah “teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial: atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan”. Jika dilihat dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa Feminisme merupakan ideologi pembebasan perempuan dengan keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan yang disebabkan oleh perbedaan jenis kelaminnya. Salah satu alasan yang mendukung dalam hal ini adalah kenyataan bahwa feminisme tidak hanya memperjuangkan masalah gender, tetapi juga masalah kemanusiaan.

Pendekatan Strukturalisme

Menurut Endraswara (2008:49) “strukturalis pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Dalam pandangan ini karya sastra diasumsikan sebagai fenomena yang memiliki struktur yang yang saling terkait satu sama lain”. Kodrat struktur itu akan bermakna apabila dihubungkan dengan struktur lain. Struktur tersebut memiliki bagan yang kompleks, sehingga pemaknaan harus diarahkan ke dalam hubungan antar unsur secara keseluruhan. Keseluruhan akan lebih berarti dibanding bagian atau fragmen struktur.

Sedangkan menurut Junus (dalam Endraswara, 2018:49) “strukturalisme memang sering dipahami sebagai bentuk. Karya sastra adalah bentuk. Karena itu, strukturalisme sering dianggap sekadar formalisme modern”. Jadi, dapat disimpulkan bahwa strukturalisme merupakan cabang penelitian sastra yang tidak bisa lepas dari aspek-aspek linguistik, strukturalisme hadir sebagai upaya melengkapi penelitian sastra.

Kritik Sastra Feminis

Kritik sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra yang memanfaatkan kerangka teori feminisme dalam menginterpretasi dan memberikan evaluasi terhadap karya sastra. Sebelum memahami lebih lanjut bagaimana karakteristik kritik sastra feminis, sebelumnya perlu diuraikan pengertian kritik sastra terlebih dahulu, khususnya dalam kerangka keilmuan sastra. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam pengertian sehari-hari kata kritik dapat diartikan sebagai penilaian terhadap suatu fenomena yang terjadi di dalam masyarakat.

Sastra (karya sastra) merupakan karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahan sastra adalah bahasa yang sudah berarti. Dalam karya sastra, arti bahasa ditentukan oleh konvensi sastra atau disesuaikan dengan konvensi sastra. Jadi, dalam sastra arti bahasa ditingkatkan menjadi arti sastra atau makna meskipun tidak lepas sama sekali dari arti bahasanya (Pradopo, 2003:121).

Menurut Wellek (dalam Wiyatmi 2012:02) “Kritik sastra adalah studi karya sastra yang konkret dengan penekanan pada penilaiannya”. Penadapat tersebut senada dengan pendapat Abrams (dalam Wiyatmi, 2012:03) yang menyatakan bahwa “kritik sastra adalah studi yang berkenaan dengan pembatasan, pengkelasan, penganalisisan, dan penilaian karya sastra”. Kritik sastra adalah ilmu sastra untuk “menghakimi” karya sastra guna untuk memberikan penilaian, dan memberikan keputusan bermutu atau tidak suatu karya sastra yang sedang dihadapi oleh kritikus (Pradopo dalam Wiyatmi, 2012:03). Beberapa batasan pengertian kritik sastra tersebut menunjukkan kepada kita bahwa kritik sastra merupakan suatu cabang studi sastra yang langsung berhubungan dengan karya sastra dengan melalui interpretasi (penafsiran), analisis (penguraian), dan penilaian (evaluasi).

Jehlen (dalam Anwar, 2009:48) menjelaskan bahwa “kritik sastra feminis terus memahami tulisan-tulisan wanita dalam perubahannya secara historis dan kultural yang dihubungkan dengan struktur teks yang diidentifikasi sebagai suatu upaya wanita untuk mengemukakan aspirasi feminisnya dalam sastra“. Kolodny (dalam Anwar, 2009:43) menegaskan bahwa “tugas utama kritik feminis adalah mencari perbedaan-perbedaan pengalaman yang mendasari penggunaan-penggunaan imaji dalam merepresentasikan wanita”. Metode kritik feminis harus mencari kenyataan yang ada dibalik fiksi (cerita rekaan). Maksudnya sebelum menganalisis cerita fiksi, penulis harus terlebih dahulu mencari atau mengamati fakta atau kenyataan disekitar lingkungan yang ada dan berhubungan dengan apa yang akan di teliti atau di analisis, sehingga penelitian tersebut dapat berwujud nyata, untuk itu kritik feminis harus berpijak secara hati-hati sebelum menyatakan bahwa pengarang wanita yang mempersepsi kenyataan atau karakter wanita adalah suatu penyimpangan (Anwar, 2009:43). Jadi kesimpulan dari kritik sastra feminisme secara sederhana adalah sebuah kritik sastra yang memandang sastra dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan manusia. Kritik sastra feminis juga mempermasalahkan asumsi tentang perempuan yang berdasarkan pemahaman tertentu yang selalu dikaitkan dengan kodrat perempuan yang kemudian menimbulkan isu tertentu tentang perempuan.

Hakikat Sastra

Hakikat Sastra

Pengertian Sastra

Berbicara tentang sejarah sastra Indonesia tentu saja harus dimulai dari pengertian sastra itu sendiri. Penjelasan makna suatu istilah merupakan hal yang penting dalam kajian ilmiah agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.

Djoko Damono (dalam Priyatni 2015:12) memaparkan bahwa sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium, bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Pada pengertian tersebut, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antarmasyarakat dengan orang lain, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat.

Menurut Priyatni (2015:12) “Sastra adalah pengungkapan realitas kehidupan masyarakat secara imajiner atau secara fiksi”. Senada dengan apa yang diungkapkan oleh George Lukas (dalam Priyatni, 2015:12) “Sastra merupakan sebuah cermin yang memberikan kepada kita sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup dan lebih dinamik”. Meskipun karya sastra itu bersifat imajiner, namun karya sastra tetap masuk akal dan tidak menutup kemungkinan ia mengandung kebenaran didalamnya (Alterbernd dan Lewis dalam Priyatni, 2015:12).

Karya sastra merupakan karya seni yang mengungkapkan eksistensi kemanusiaan dengan segala variasi dan liku-likunya secara imajinatif dan kreatif dengan menggunakan bahasa estetik sebagai mediumnya. Baik puisi, fiksi maupun drama, karya sastra merupakan hasil refleksi sastrawan terhadap lingkungan sosialnya yang kemudian diekspresikan melalui bahasa yang indah dengan daya kreasi dan imajinatifnya. Kemudian dengan segenap daya cipta, rasa dan karsanya, sastrawan mengungkapkan gagasan mengenai hakikat kehidupan yang dirasakan, dihayati, dialami, dan dipikirkan melalui karya sastra sebagai media ekspresinya yang imajinatif (Al-Ma’ruf dan Nugrahani, 2017:5).

Tarigan (dalam Alma’ruf dan Nugrahani, 2017:2) menyatakan bahwa karya sastra merupakan media bagi pengarang untuk menuangkan dan mengngkapkan ide-ide hasil perenungan tentang makna dan hakikat hidup yang dialami, dirasakan dan disaksikan. Seorang pengarang sebagai salah satu anggota masayarakat yang kreatif dan selektif ingin mengungkapkan pengalamannya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari kepada para penikmatnya.

Menurut Alma’ruf dan Nugrahani (2017:03) “sebagai karya seni bermediumkan, sastra berisi ekspresi pikiran spontan dari perasaan mendalam penciptanya. Ekspresi tersebut berisi ide, pandangan, perasaan, dan semua kegiatan mental manusia, yang diungkapkan dalam bentuk keindahan”. Sementara itu, bila ditinjau dari potensinya, sastra disusun melalui refleksi pengalaman, yang memiliki berbagai macam bentuk representasi kehidupan. Sebab itu, sastra merupakan sumber pemahaman tentang manusia, peristiwa, dan kehidupan manusia yang beragam.

Keberadaan karya sastra tidak terlepas dari dunia nyata. Karya sastra merupakan sebuah fenomena sosial budaya, dalam sebuah karya sastra dunia nyata dan dunia rekaan saling berkaitan, yang satu tidak bermakna tanpa yang lain. Keberadaan karya sastra berdampingan dengan dunia realita (Wiyatmi, 2013:9). Sastra sebagai refleksi kehidupan berarti pantulan kembali problem dasar kehidupan manusia, yang meliputi: maut, cinta, tragedi, harapan, kekuasaan, pengabdian, makna dan tujuan hidup, serta hal-hal yang transedental dalam kehidupan manusia. Problem kehidupan itu oleh sastrawan dikonkretisasikan kedalam gubahan bahasa baik dalam bentuk prosa, puisi, maupun lakon (drama). Jadi membaca karya sastra berarti membaca pantulan problema kehidupan dalam bentuk wujud gubahan seni berbahasa (Santosa dalam Al-Ma’ruf dan Nugrahani, 2017:04).

Karya sastra adalah suatu hasil karya seni baik lisan maupun tertulis yang lazimnya menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Karya sastra memberikan gambaran tentang kehidupan dengan segala kompleksitas, problema, dan keunikannya baik tentang cita-cita, keinginan dan harapan, kekuasaan, pengabdian, makna dan tujuan hidup, perjuangan, eksistensi dan ambisi manusia, juga cinta, benci dan iri hati, tragedi dan kematian. Jadi, karya sastra mengungkapkan gagasan pengarang yang berkaitan dengan hakikat dan nilai-nilai kehidupan, serta eksistensi manusia yang meliputi dimensi kemanusiaan, sosial, kultural, moral, politik, gender, pendidikan maupun ketuhanan atau religiusitas (Al-Ma’ruf dan Nugrahani, 2017:04).

Jika dilihat dari berbagai pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa sastra dapat dipandang sebagai sarana atau media pengungkapan dunia pengarang beserta ideologinya yang kompleks dan menyeluruh melalui medium bahasa. Sastra merupakan ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, keyakinan, ide, dan semangat dalam bentuk karya seni yang dapat membangkitkan rasa keindahan melalui bahasa. Kemudian Sastra juga merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai medianya.

Berdasarkan batasan-batasan yang telah disampaikan dalam uraian sebelumnya, dapat disumpulkan bahwa setidaknya dalam sastra terdapat dua unsur yang utama, yaitu:
  1. isi, yaitu seseuatu yang merupakan gagasan atau pikiran, perasaan, pengalaman, ide, semangat, dan tanggapan pengarang terhadap lingkungan kehidupan sosial yang ingin disampaikan pengarang terhadap pembaca,
  2. bentuk, yaitu media ekspresi yang berbentuk seni sastra, yang pada umumnya bermediumkan bahasa serta unsur-unsur yang mendukung totalitas makna yang terkandung di dalamnya.
Fungsi dan Manfaat Sastra

Fungsi Sastra

Secara garis besar, sastra berfungsi untuk memberikan kesenangan atau kenikmatan kepada pembacanya. Sastra di samping memberikan kesenangan kepada para pembacanya juga berdaya guna atau bermanfaat bagi kehidupan batiniah. Sastra berguna untuk memberikan hiburan sekaligus berguna bagi pengayaan spiritual atau menambah khasanah batin pembaca.

Sastra bersifat menghibur bukan berarti membuat pembaca terpingkal-pingkal karena tidak dapat menahan tawanya. Namun, lebih pada kepuasan batin ketika mengikuti alur cerita atau menikmati keindahan penggunaan bahasa dalam memaparkan aspek-aspek kehidupan (Priyatni, 2015:21).
  1. Manfaat sastra. Ada berbagai manfaat yang dapat diberikan oleh sastra, menurut Karno (Priyatni, 2015:7) berbagai manfaat yang diperoleh dari karya sastra ini adalah sebagai berikut.
    • Sastra sebagai ilmu, artinya sastra sebagai salah satu disiplin ilmu yang bersifat konventif yang diajarkan di bangku Sekolah secara formal, dalam sub bidang bahasa Indonesia.
    • Sastra sebagai seni, artinya sastra memiliki semboyan dulce et utile (menghibur dan berguna). Jadi, sastra di samping memberikan kesenangan kepada para pembacanya juga berdaya guna ataubermanfaat bagi kehidupan manusia. Artinya, sastra bermanfaat untuk pengayaan spiritual atau khasanah batin.
    • Sastra sebagai kebudayaan, dalam hal ini sastra mencakup segala kehidupan manusia baik secara lahir maupun batin. Secara lahir sastra sejajar dengan bahasa yang berfungsi sebagai pemersatu bangsa, sarana pergaulan, alat komunikasi antara manusia dan antarbangsa. Hal ini dapat dilihat dan saling dikenalnya para pengarang di seluruh penjuru dunia melalui hasil karyanya.
Hakikat Prosa

Prosa Fiksi (Cerita Rekaan)

Fiksi sering disebut juga dengan Cerita Rekaan (Cerkan) bukan sebagai lawan dari kenyataan melainkan lebih sebagai hasil refleksi sastrawan terhadap realitas kehidupan dalam lingkungan sosial budayanya. Setelah melalui kreasi dengan daya imajinasinya, dengan daya kreasi dan imajinasi tersebut, sastrawan kemudian merefleksikan realitas kehidupan yang dihadapinya ke dalam karya fiksi. Oleh karena itu, kebenaran yang ada dalam dunia sastra tidak dapat disejajarkan dengan kebenaran pada dunia nyata.

Menurut Wellek dan Warren (dalam Al-ma’ruf dan Nugrahani, 2017:73), betapa pun syaratnya pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah fiksi haruslah tetap merupakan cerita yang menarik, bangunan strukturnya koheren, dan mempunyai tujuan estetik. Melalui cerita, secara tidak langsung pembaca dapat belajar, merasakan, dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang ditawarkan pengarang.

Menurut Anwar (2009:49) “Fiksi merupakan salah satu wilayah utama bagi wanita dalam membuat ruangnya sendiri, untuk menampakkan apa yang sesungguhnya dialaminya, dan untuk membicarakan apa yang dirasakannya”. Prosa fiksi ialah prosa yang berupa cerita rekaan atau khayalan pengarangnya. Isi ceirta pada prosa fiksi tidak sepenuhnya berdasarkan pada fakta. Prosa fiksi disebut juga dengan karangan narasi sugestif atau imajinatif seorang pengarang. Prosa fiksi berbentuk Cerita Pendek (Cerpen), Novel, dan juga Dongeng.
  1. Cerita Pendek (Cerpen). Cerita Pendek (Cerpen) adalah cerita rekaan yang bersifat pendek dalam artian hanya berisi pengisahan dengan fokus pada satu konflik saja dengan tokoh-tokoh yang terbatas. Edgar Allan Poe (dalam Nurgiyantoro, 2010:10) menyatakan bahwa ” Cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam yang suatu hal yang tidak mungkin dilakukan untuk sebuah Novel”.
  2. Novel. Novel merupakan salah satu bentuk sastra di samping cerita pendek, puisi dan drama. Novel adalah cerita rekaan yang menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan sesama dan lingkungannya, juga interaksinya dengan diri sendiri, dan Tuhan. Novel merupakan hasil dialog dan reaksi pengarang terhadap kehidupan dan lingkungannya, setelah melalui pengkhayatan dan perenungan secara intens. Novel merupakan hasil karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab kreatif sebagai karya seni yang berunsur estetik dengan menawarkan model-model kehidupan yang diidealkan oleh pengarang. Pengarang dengan secara bebas bisa menuangkan hasil pemikirannya kedalam bentuk tulisan seperti apa yang diinginkannya. Menurut pandangan Luckas (dalam Anwar, 2009:49) “Novel adalah kreasi realitas yang bertumpu pada konvensionalitas dunia objektif dan interioritas dunia subjektif pada sisi lainnya”. Alma’ruf dan Nugrahani (2017:76) mengatakan bahwa “Novel merupakan hasil pengalaman pengarang dalam menghadapi lingkungan sosialnya yang didapat dari imajinasi pengarang. Novel merupakan ungkapan kesadaran pengarang yang berhubungan dengan kepekaan, pikiran, perasaan, dan hasratnya dengan realitas yang dihadapi pengarang dipadu dengan pengalaman hidupnya. Oleh karena itu, novel sering mengungkapkan berbagai realitas hidup yang terkadang tidak terduga oleh pembaca.
  3. Dongeng. Dongeng adalah cerita rekaan yang sama dengan Cerpen dan Novel. Namun di dalam dongeng, cerita yang dikisahkan adalah tentang hal-hal yang tidak masuk akal atau tidak mungkin terjadi. Contohnya saja, seorang manusia dapat menjelma sebagai seekor binatang, kemudian seekor binatang tersebut dapat berbicara layaknya seorang manusia. Hanya saja, dongeng dapat dijadikan sarana penyampaian nasihat tentang moral atau bersifat kiasan atau perlambangan (alegoris).
Unsur-Unsur Fiksi
  1. Unsur Intrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang secara langsung turut membangun karya sastra itu yang secara faktual terdapat di dalam karya sastra. Unsur inilah yang membuat karya hadir sebagai karya sastra atau dari sudut pandang pembaca, unsur-unsur cerita itulah yang akan dijumpai ketika membaca sebuah novel. Unsur intrinsik itu yakni: tema, alur, latar, tokoh, sudut pandang, dan gaya bahasa.
  2. Unsur Ekstrinsik. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi juga secara tidak langsung turut mempengaruhi bangunan karya sastra itu sendiri. Unsur ekstrinsik terdiri atas beberapa unsur yang merupakan keadaan subjetivitas pribadi pengarang yang berupa keyakinan, sikap ideologi, dan pandangan hidup. Unsur ekstrinsik lainnya adalah psikologi pengarang (mencakup proses kreatifnya), lingkungan sosial budaya, politik, pendidikan, dan profesi. Latar belakang kehidupan pengarang akan turut menentukan corak karya sastra yang dihasilkannya (Alma’ruf dan Nugrahani, 2017:84).
Robert Stanton (dalam Alma’ruf dan Nugrahani, 2017:85) membagi unsur-unsur yang membangun fiksi (novel) menjadi tiga yaitu sebagai berikut.
  1. Tema (Theme). Tema adalah gagasan yang melandasi cerita, yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan, seperti masalah sosial, politik, budaya religi, juga cinta kasih, maut dan sebagainya. Sastrawan dalam karya sastranya ingin mengemukakan suatu gagasan sesuai dengan latar belakang kehidupannya, pandangan, wawasan, dan ideologinya. Tema cerita lazimnya merupakan sesuatu yang bersifat universal dan berlaku sepanjang masa yang dapat dihayati orang selama karya itu masih ada.
  2. Fakta Cerita (Facts). Fakta cerita meliputi tokoh, alur dan latar, ketiganya merupakan unsur fiksi yang secara faktual dapat dibayangkan eksistensinya dalam sebuah cerita, karena itu ketiganya sering disebut struktur faktual (factual stucture).
    • Alur (Plot). Alur merupakan rangkaian peristiwa yang sambung-sinambung terjalin dalam hubungan kausalitas (sebab-akibat) guna membangun jalannya cerita secara terpadu dan utuh. Peristiwa yang dialami tokoh dalam cerita dapat tersusun menurut urutan waktu terjadinya. Akan tetapi tidak semua kejadian dalam hidup tokoh ditampilkan secara berurutan, lengkap sejak kelahiran tokohnya. Peristiwa yang ditampilkan dipilih dengan memperthatikan kepentingan dalam membangun cerita.
    • Penokohan/Perwatakan (Characters). Penamaan tokoh disesuaikan dengan kepribadiannya yang berkaitan dengan psikososial dan sikapnya yang mengacu pada perbuatan atau tingkah lakunya dalam cerita. Penamaan tokoh dapat juga berupa simbol, profesi dan pekerjaannya. Nama tokoh dapat membayangkan tentang wajah dan perangainya, dengan demikian dalam penafsiran tokoh, nama mempunyai fungsi penting. Oleh karena itu, nama tokoh akan dibicarakan bersama-sama dalam analisis penokohan.
    • Latar (Setting). Abrams (dalam Alma’ruf dan Nugrahani, 2017:94) memberikan deskripsi latar dalam karya sastra menjadi tiga yakni latar tempat, waktu dan sosial. Latar tempat berkaitan dengan masalah geografis yaitu latar waktu berhubungan dengan zaman dan latar sosial erat berkaitan dengan kehidupan kemasayarakatan atau sosial budaya. Jika demikian, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa latar cerita dapat berupa latar tempat, latar waktu dan latar lingkungan. Latar lingkungan terutama sekali adalah latar sosial budaya yang melingkupi kehidupan para tokoh. Adapun fungsi dari latar itu sendiri yaitu untuk memberikan suasana dalam cerita.
  3. Sarana Sastra (Literary Device). Sarana sastra adalah teknik yang digunakan pengarang untuk menyusun detil-detil cerita berupa peristiwa dan kejadian-kejadian menjadi pola yang bermakna. Sarana sastra dipakai untuk memungkinkan pembaca melihat dan merasakan fakta seperti yang dilihat dan dirasakan pengarang, serta menafsirkan makna seperti yang ditafsirkan oleh pengarang. Sarana sastra dalam fiksi antara lain:
    • gaya bahasa. Style, ‘Gaya Bahasa’ dalam karya sastra merupakan sarana sastra yang turut memberikan kontribusi sangat berarti dalam memperoleh efek estetik dan penciptaan makna. Setiap diksi yang dipakai dalam karya sastra memiliki tautan emotif, moral, dan ideologis disamping maknanya yang netral. Ratna (Al-ma’ruf dan Nugrahani, 2017:97) menyatakan bahwa “aspek-aspek keindahan sastra justru terkandung dalam pemanfaatan gaya bahasanya. Oleh karena itu, gaya bahasa berperan penting dalam menentukan nilai estetik karya sastra”.
    • sudut pandang (point of view). Aminuddin (dalam Al-ma’ruf dkk, 2017:98) mengatakan bahwa “sudut pandang atau biasa diistilahkan dengan Poin Of View adalah cara pengarang menampilkan pelaku dalam cerita yang dipaparkannya”. Sebelum menulis, sastrawan tentunya terlebih dahulu menentukan siapa yang akan menjadi subjeknya. Menentukan pusat cerita atau pusat pengisahan berarti menentukan pertalian atau relasi antara pengarang dengan ceritanya (Aminuddin dalam Al-ma’ruf dan Nugrahani. 2017:99).
Sedangkan menurut Priyatni (2015:109) Struktur prosa fiksi yaitu sebagai berikut.
  1. Unsur Intrinsik Prosa Fiksi. Unsur intrinsik merupakan unsur pembangun karya sastra dari dalam karya sastra itu sendiri. Menurut Soedjijono (dalam Priyatni, 2015:109) menyatakan bahwa “unsur intrinsik adalah unsur yang berkaitan dengan eksistensi sastra sebagai struktur verbal yang otonom”. Menurut Priyatni (2015:110) unsur intrinsik prosa fiksi ada tujuh, yaitu sebagai berikut.
    • Tema. Tema dalam prosa fiksi memiliki kedudukan yang sangat penting karena semua elemen dalam prosa fiksi dalam sistem operasionalnya akan memacu dan menunjang tema. Tema disebut juga sebagai ide sentral atau makna sentral suatu cerita. Tema merupakan jiwa cerita dalam karya fiksi. Aminuddin (dalam Priyatni, 2015:119) menyatakan bahwa “tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tolak dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya”.
    • Tokoh, Watak, dan Perwatakan
      • Tokoh. Tokoh yaitu para pelaku atau subjek lirik dalam karya fiksi. Tokoh, berdsarkan bentuknya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: tokoh fisik dan tokoh imajiner. Tokoh fisik adalah tokoh yang ditampilkan pengarang sebagai manusia yang hidup di alam nyata. sedangkan tokoh imajiner adalah tokoh yang ditampilkam sebagai manusia yang hidup dalam fantasi.
      • Watak. Watak adalah sifat dasar, akhlak, atau budi pekerti yang dimiliki oleh tokoh. Setiap tokoh dalam karya fiksi memiliki sifat, sikap dan tingkah laku atau watak-watak tertentu. Orang yang memperkenalkan watak-watak tertentu adalah pengarang dengan tujuan untuk memperjelas tema yang ingin disampaikan.
      • Perwatakan. Cara pengarang menampilkan watak para tokoh dalam cerita ada bermacam-macam, diantaranya:
        • secara langsung atau analitik,
        • secara dramatik (tidak langsung). Sedangkan menurut Sukada (dalam Priyatni 2015:111) menyatakan bahwa pelukisan watak tokoh dengan cara sebagai berikut:
          • melukiskan bentuk lahir dari pelaku,
          • melukiskan jalan pikiran pelaku,
          • reaksi pelaku terhadap pristiwa,
          • analisis watak pelaku secara langsung oleh pengarang,
          • melukiskan keadaan sekitar pelaku,
          • reaksi pelaku lain terhadap pelaku utama, dan
          • komentar pelaku lain terhadap pelaku utama.
    • Setting atau Latar. Peristiwa dalam prosa fiksi didasari oleh tempat, waktu, dan situasi tertentu. Sebenarnya setting tidak hanya berupa tempat, waktu yan bersifat fisikal semata, tetapi juga setting yang bersifat psikologis. Setting fisik berkaitan dengan tempat, waktu, situasi dan benda-benda atau lingkungan hidup yang fungsinya membuat cerita menjadi logis. Sedangkan pada setting psikologis, di samping benda, waktu, tempat dan situasi tersebut mampu membuat cerita menjadi logis juga mampu menggerakkan emosi atau jiwa pembaca.
    • Alur/Plot. Alur adalah rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab-akibat, dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa peristiwa adalah unsur utama alur. Keterampilan pengarang dalam menggarap peristiwa menjadi jalinan cerita yang menarik ikut menentukan kualitas cerita yang ditampilkan pengarang.
    • Gaya. Istilah gaya diambil dari bahasa Inggris style dan dalam bahasa Latin stillus, mengandung arti leksikal ‘alat untuk menulis’, dalam istilah sastra gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.
    • Sudut Pandang Pengarang/Point Of View. Seorang pengarang dalam memaparkan ceritanya dapat memilih sudut pandang tertentu. Pengarang dapat memilih satu atau lebih narator/pencerita yang bertugas memaparkan ide, peristiwa-peristiwa dalam prosa fiksi. Secara garis besar, pengarang dapat memilih pencerita AKU-AN (kata ganti orang I) atau DIA-AN (kata ganti orang III).
    • Suasana Cerita. Dalam cerita fiksi terdapat suasana batin dari individu pengarang. Kemudian di samping itu juga terdapat suasana cerita yang ditimbulkan oleh penataan setting. Suasana cerita yang ditimbulkan oleh suasana batin individual pengarang disebut mood. Sedangkan suasana cerita yang timbul karena penataan setting disebut atmosphere.
  2. Unsur Ekstrinsik Prosa Fiksi. Unsur ekstrinsik dalam karya sastra yaitu unsur pembagun dari luar karya satra. Priyatni (2015:119) berpendapat bahwa seperti halnya puisi, pengkajian unsur ekstrinsik prosa fiksi mencakup: aspek historis, sosiologis, psikologis, filsafat, dan religius.
Prosa Nonfiksi

Prosa nonfiksi yaitu karangan yang tidak berdasarkan rekaan atau khayalan dari seorang pengarang, tetapi berisi hal-hal berupa informasi yang bersifat faktual atau kenyataan. Prosa nonfisi dapat berupa Buku, Jurnal, Laporan Penelitian, Skripsi, dan Tesis.

Citra Perempuan Perspektif Feminisme

Penelitian citra perempuan atau images of women ini merupakan suatu jenis anggapan yang menganggap teks-teks sastra dapat digunakan sebagai bukti adanya berbagai jenis peranan perempuan. Penelitian Citra Perempuan atau images of women dilakukan untuk dua kegunaan yang berbeda. Penelitian images of women digunakan untuk mengungkap hakikat representasi stereotipe yang menindas yang diubah ke dalam model-model peran serta menawarkan pandangan yang sangat terbatas dari hal-hal yang diharapkan oleh seorang perempuan (Sugihastuti dalam Lein, 2016).

Jika dilihat dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian secara kritik feminis merupakan Kritik Sastra Feminis yang berfokus pada Citra Perempuan. Sehingga penelitian Kritik Sastra Feminis juga merupakan penelitian tentang Citra Perempuan. Umumnya, Kritik Sastra Feminis meneliti tentang kekuatan perempuan (mengungkapkan harga diri seorang perempuan). Setelah menjelaskan bagaimana kaitan citra perempuan dengan Feminisme, maka di bawah ini peneliti akan menjelaskan secara lebih terperinci tentang Citra Perempuan dan Feminisme.

Pengertian Citra Perempuan

Sebelum peneliti menjelaskan mengenai citra perempuan, peneliti akan menjelaskan terlebih dahulu arti citra. Citra artinya rupa, gambaran, dapat berupa gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, atau kesan mental. Nurgiyantoro (2010:304) menyatakan bahwa “citra merupakan sebuah gambaran pengalaman indera yang diungkapkan lewat kata-kata, gambaran berbagai pengalaman yang dibangkitkan oleh kata-kata pencitraan”.

Pencitraan adalah proses atau cara membentuk citra mental pribadi atau gambaran sesuatu. Abrams dan Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2010:304) menyatakan bahwa “pencitraan merupakan kumpulan citra, the collection of images, yang dipergunakan untuk melukiskan objek dan kualitas tanggapan indera yang dipergunakan dalam karya sastra, baik dengan deskripsi secara harfiah maupun secara kias”. Macam-macam pencitraan itu sendiri meliputi kelima jenis indera manusia yaitu citraan penglihatan (visual), pendengaran (auditoris), gerakan (kinestetik), rabaan (taktil termal), dan penciuman (olfaktori), namun pemanfaatannya dalam sebuah karya sastra tidak sama intensitasnya (Nurgiyantoro, 2010:304).

Citra perempuan diartikan sebagai semua wujud gambaran mental spiritual dan tingkah laku keseharian perempuan yang menunjukkan wajah dan ciri khas perempuan. Sampai saat ini paham yang sulit dihilangkan adalah terjadinya hegemoni pria terhadap wanita. Paham tentang wanita sebagai orang yang lemah lembut, permata, bunga, dan sebaliknya pria sebagai orang yang cerdas, aktif dan sejenisnya selalu mewarnai karya sastra. Citra wanita dan pria tersebut sekakan-akan telah mengakar dibenak penulis sastra (Endraswara, 2008:143). Humm (dalam Anwar, 2009:9) mengansumsikan bahwa “wanita sesungguhnya hanya tahu tentang dirinya melalui definisi kultural tentang feminitas yang didikte oleh kebudayaan partriarkhi”. Sedangkan feminisme memandang perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam gerakan terlepas dibawah naungan seorang laki-laki (Wiyatmi, 2013:95).

Hampir seluruh karya sastra, baik yang dihasilkan oleh penulis pria maupun wanita, dominasi pria selalu lebih kuat. Figur pria terus menjadi the athority, sehingga mengasumsikan bahwa wanita adalah impian semata (Endraswara, 2008:143). Atas dasar itu lah, peneliti tertarik untuk menganalisis atau menggali lebih jauh konstruksi gender dalam novel Cinta Suci Zahrana sebagai objek penelitian, karena peneliti perlu tahu dan menjelaskan bagaimana perjuangan seorang wanita agar lepas dari keterjajahan kaum laki-laki dan menjelaskan bahwa wanita tidak selalu berada dibawah kerja keras seorang laik-laki dan wanita mampu meraih cita-citanya sesuai dengan apa yang diinginkannya sejak awal dan wanita juga mampu untuk berperan ganda yaitu sebagai istri dan sebagai wanita karier atau wanita yang berpendidikan.

Menurut Sugihastuti (dalam Wiyatmi, 2013:22) “citra wanita dibedakan menjadi dua yaitu citra diri wanita dan citra sosial wanita.
  1. Citra Diri Wanita. Menurut Sugihastuti (dalam Wiyatmi, 2013:22) “Citra diri wanita merupakan dunia yang typis, yang khas dengan segala macam tingkah lakunya. Citra diri wanita merupakan keadaan dan pandangan wanita yang berasal dari dalam dirinya sendiri, yang meliputi aspek fisik dan aspek psikis". Citra diri wanita terwujud sebagai sosok individu yang mempunyai pendirian dan pilihan tersendiri atas berbagai aktivitasnya berdasarkan kebutuhan-kebutuhan pribadi maupun sosialnya.
    • Citra Fisik Wanita. Secara fisik,wanita dewasa merupakan sosok individu hasil bentukan proses biologis dan bayi perempuan, yang dalam perjalanan usianya mencapai taraf dewasa. Secara fisik, wanita berbeda dengan pria, antara lain ditunjukkan oleh fisik yang lembut, lincah, lemah, berkerudung dan lain sebagainya.
    • Citra Psikis Wanita. Jika ditinjau dari aspek psikisnya, wanita juga makhluk psikologis, makhluk yang berfikir, berperasaan, dan beraspirasi (Sugihastuti dalam Wiyatmi, 2013:22). Aspek psikis wanita tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebut feminitas. Dari aspek psikis terlihat bahwa wanita dilahirkan secara biopsikologis berbeda dengan laki-laki, hal ini juga mempengaruhi pengembangan dirinya. Pengembangan dirinya tersebut bermula dari lingkungan keluarga, keluarga hasil perkawinannya. Aspek psikis wanita saling berpengaruh dengan aspek fisik dan keduanya merupakan aspek yang mempengaruhi citra diri wanita. Kejiwaan wanita dewasa dalam aspek psikis mempengaruhi citra diri wanita, semakin bertumbuh baik wanita akan semakin berkembang pula psikis mereka untuk menjadi dewasa. Citra diri wanita tidak bisa lepas dari aspek psikis dan fisik. Adanya perbedaan bentuk fisik antara wanita dan laki-laki mempengaruhi pola berfikir dan pola kehidupan wanita. Aspek psikis menunjukkan bahwa wanita memiliki pemikiran-pemikiran untuk berkembang, berinspirasi, dan memiliki perasaan untuk merasakan keadaan dalam dirinya ataupun di luar dirinya.
  2. Citra Sosial Wanita. Sugihastuti (dalam Wiyatmi, 2013:22) “Citra sosial wanita merupakan citra wanita yang erat hubungannya dengan norma dan sitem nilai yang berlaku dalam satu kelompok masyarakat, tempat wanita menjadi anggota dan berhasrat mengadakan hubungan antarmanusia”. Kelompok masyarakat itu adalah kelompok keluarga dan kelompok masyarakat luas. Jika dilihat dari dalam keluarga, misalnya wanita berperan sebagai istri, ibu dan sebagai anggota keluarga yang masing-masing peran mendatangkan konsekuensi sikap sosial, yaitu satu dengan lainnya saling berkaitan. Citra sosial wanita juga merupakan masalah pengalaman diri, seperti dicitrakan dalam citra diri wanita dan citra sosialnya, pengalaman-pengalaman inilah yang menentukan interaksi sosial wanita dalam masyarakat atas pengalaman diri itulah maka wanita bersikap termasuk kedalam sikapnya terhadap laki-laki. Hal penting yang mengawali citra sosial wanita adalah citra dirinya. Sugihastuti (dalam Wiyatmi, 2013:22) “Citra wanita dalam aspek sosial dibedakan menjadi dua, yaitu citra wanita dalam keluarga dan citra wanita dalam masyarakat”.
    • Citra Wanita dalam Keluarga. Sebagai wanita dewasa, seperti tercitrakan dalam aspek fisik dan psikisnya, salah satu peran yang menonjol daripadanya adalah peran wanita dalam keluarga. Citra wanita dalam aspek keluarga digambarkan sebagai wanita dewasa, seorang istri dan seorang ibu rumah tangga.
    • Citra Wanita dalam Masyarakat. Sugihastuti (dalam Wiyatmi, 2013:22) “Selain peran dalam keluarga, citra sosial wanita juga berperan dalam masyarakat. Manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya memerlukan manusia lain. Demikian juga bagi wanita, hubungannya dengan manusia lain itu dapat bersifat khusus maupun umum, tergantung pada bentuk sifat hubungan itu sendiri. Hubungan manusia dalam masyarakat dimulai dari hubungannya antar orang termasuk hubungan antar wanita dengan seorang pria”. Citra sosial wanita menunjukkan bagaimana wanita berperan dalam kehidupannya, yaitu berperan dalam keluarga dan masyarakat. Wanita mengambil bagian dalam keluarga sebagai ibu, kakak, adik, dan istri, sedangkan dalam masyarakat wanita tidak dapat hidup sendiri dan memerlukan orang lain. Jika dilihat dari penjelasan diatas bahwa citra wanita terbangun dari berbagai aspek yaitu aspek fisik, aspek psikis, keluarga dan masyarakat.
Pendekatan Feminisme

Dasar pemikiran dalam penelitian sastra berperspektif feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan seperti tercermin dalam karya sastra. Peran dan kedudukan perempuan tersebut akan menjadi sentral pembahasan dalam penelitian ini. Peneliti akan memperhatikan dominasi laki-laki atau gerakan perempuan. Feminisme adalah pendekatan yang umumnya membahas tentang wanita. Feminisme mempunyai banyak pengertian.

Menurut feminisme marxis (dalam Anwar, 2009:13), wanita justru membutuhkan pengetahuan yang lebih luas mengenai berbagai aturan permainan dalam seni yang terdapat dalam kesadaran sosial mereka. Wanita membutuhkan kritik feminis untuk menentang berbagai bentuk institusi sastra dan relasi-relasi kesasteraan yang ada antara pengarang dan pembaca, artinya melalui feminisme wanita dapat menginterogasi dan mengasosiasikan kembali berbagai masalah penciptaan nilai dalam sastra.

Menurut Humm (dalam Wiyatmi, 2012:12) “Feminisme menggabungkan doktrin persamaan hak bagi perempuan yang menjadi gerakan yang terorganisasi untuk mencapai hak asasi perempuan, dengan sebuah ideologi transformasi sosial yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi perempuan”. Pemikiran dan gerakan feminisme lahir untuk mengakhiri dominasi laki-laki terhadap perempuan yang terjadi di dalam masyarakat (Ruthven dalam Wiyatmi, 2012:12-13). Kemudian adapun feminisme menurut Goefe (dalam Sugihastuti dan Septiawan, 2010:93) feminisme ialah “teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial: atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan”. Jika dilihat dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa Feminisme merupakan ideologi pembebasan perempuan dengan keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan yang disebabkan oleh perbedaan jenis kelaminnya. Salah satu alasan yang mendukung dalam hal ini adalah kenyataan bahwa feminisme tidak hanya memperjuangkan masalah gender, tetapi juga masalah kemanusiaan.

Pendekatan Strukturalisme

Menurut Endraswara (2008:49) “strukturalis pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Dalam pandangan ini karya sastra diasumsikan sebagai fenomena yang memiliki struktur yang yang saling terkait satu sama lain”. Kodrat struktur itu akan bermakna apabila dihubungkan dengan struktur lain. Struktur tersebut memiliki bagan yang kompleks, sehingga pemaknaan harus diarahkan ke dalam hubungan antar unsur secara keseluruhan. Keseluruhan akan lebih berarti dibanding bagian atau fragmen struktur.

Sedangkan menurut Junus (dalam Endraswara, 2018:49) “strukturalisme memang sering dipahami sebagai bentuk. Karya sastra adalah bentuk. Karena itu, strukturalisme sering dianggap sekadar formalisme modern”. Jadi, dapat disimpulkan bahwa strukturalisme merupakan cabang penelitian sastra yang tidak bisa lepas dari aspek-aspek linguistik, strukturalisme hadir sebagai upaya melengkapi penelitian sastra.

Kritik Sastra Feminis

Kritik sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra yang memanfaatkan kerangka teori feminisme dalam menginterpretasi dan memberikan evaluasi terhadap karya sastra. Sebelum memahami lebih lanjut bagaimana karakteristik kritik sastra feminis, sebelumnya perlu diuraikan pengertian kritik sastra terlebih dahulu, khususnya dalam kerangka keilmuan sastra. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam pengertian sehari-hari kata kritik dapat diartikan sebagai penilaian terhadap suatu fenomena yang terjadi di dalam masyarakat.

Sastra (karya sastra) merupakan karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahan sastra adalah bahasa yang sudah berarti. Dalam karya sastra, arti bahasa ditentukan oleh konvensi sastra atau disesuaikan dengan konvensi sastra. Jadi, dalam sastra arti bahasa ditingkatkan menjadi arti sastra atau makna meskipun tidak lepas sama sekali dari arti bahasanya (Pradopo, 2003:121).

Menurut Wellek (dalam Wiyatmi 2012:02) “Kritik sastra adalah studi karya sastra yang konkret dengan penekanan pada penilaiannya”. Penadapat tersebut senada dengan pendapat Abrams (dalam Wiyatmi, 2012:03) yang menyatakan bahwa “kritik sastra adalah studi yang berkenaan dengan pembatasan, pengkelasan, penganalisisan, dan penilaian karya sastra”. Kritik sastra adalah ilmu sastra untuk “menghakimi” karya sastra guna untuk memberikan penilaian, dan memberikan keputusan bermutu atau tidak suatu karya sastra yang sedang dihadapi oleh kritikus (Pradopo dalam Wiyatmi, 2012:03). Beberapa batasan pengertian kritik sastra tersebut menunjukkan kepada kita bahwa kritik sastra merupakan suatu cabang studi sastra yang langsung berhubungan dengan karya sastra dengan melalui interpretasi (penafsiran), analisis (penguraian), dan penilaian (evaluasi).

Jehlen (dalam Anwar, 2009:48) menjelaskan bahwa “kritik sastra feminis terus memahami tulisan-tulisan wanita dalam perubahannya secara historis dan kultural yang dihubungkan dengan struktur teks yang diidentifikasi sebagai suatu upaya wanita untuk mengemukakan aspirasi feminisnya dalam sastra“. Kolodny (dalam Anwar, 2009:43) menegaskan bahwa “tugas utama kritik feminis adalah mencari perbedaan-perbedaan pengalaman yang mendasari penggunaan-penggunaan imaji dalam merepresentasikan wanita”. Metode kritik feminis harus mencari kenyataan yang ada dibalik fiksi (cerita rekaan). Maksudnya sebelum menganalisis cerita fiksi, penulis harus terlebih dahulu mencari atau mengamati fakta atau kenyataan disekitar lingkungan yang ada dan berhubungan dengan apa yang akan di teliti atau di analisis, sehingga penelitian tersebut dapat berwujud nyata, untuk itu kritik feminis harus berpijak secara hati-hati sebelum menyatakan bahwa pengarang wanita yang mempersepsi kenyataan atau karakter wanita adalah suatu penyimpangan (Anwar, 2009:43). Jadi kesimpulan dari kritik sastra feminisme secara sederhana adalah sebuah kritik sastra yang memandang sastra dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan manusia. Kritik sastra feminis juga mempermasalahkan asumsi tentang perempuan yang berdasarkan pemahaman tertentu yang selalu dikaitkan dengan kodrat perempuan yang kemudian menimbulkan isu tertentu tentang perempuan.

Tuesday, April 2, 2019

Definisi Ushul Fiqh

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Quran sebagai petunjuk bagi umat Islam secara garis besar mengandung dasar-dasar tentang akidah, akhlak, dan syariah atau hukum bagi keberlangsungan kehidupan makhluk di jagat raya ini. Penjelasan tentang isi Al-Qur’an dijabarkan oleh Rasulullah SAW sebagai penafsir kalamullah sepanjang hidupnya. Semasa beliau hidup setiap kasus yang timbul dapat segera diketahui jawabanyanyaberdasarkan nash Al-Qur’an serta penjelasan dan interpretasi yang kemudian dikenal menjadi sunnahnya. Namun, pada masa berikutnya, kehidupan masyarakat mengalami perkembangan yang sangat pesat seiring berkembangnya Islam ke antero dunia. Kontak antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain di luar Arab dengan corak budaya yang beragam menimbulkan berbagai kasus baru yang mengharuskan untuk segera dicari solusi dan alternative untuk menjawabnya. Disinilah urgensitas ijtihad untuk mengkontekstualisasikan nash Al-Qur an dan Sunnah sebagai sumber pedoman dan panduan hukum bagi alam semesta.

Fiqh yang notabene sebagai ilmu tentang hukum-hukum Syariat yang bersifat praktis (‘amaliyah) ,merupakan sebuah “jendela” yang dapat digunakan untuk melihat perilaku budaya masyarakat Islam. Definisi fiqh sebagai sesuatu yang digali (al-Muktasab) menumbuhkan pemahaman bahwa fiqh lahir melalui serangkaian proses sebelum akhirnya dinyatakan sebagai hukum praktis. Proses yang umum kita kenal sebagi ijtihad ini bukan saja memungkinkan adanya perubahan, tetapi juga pengembangan tak terhingga atas berbagai aspek kehidupan yang selamanya mengalami perkembangan. Maka dari itulah diperlukan upaya memahami pokok-pokok dalam mengkaji perkembangan fiqh agar tetap dinamis sepanjang masa sebagai pijakan yang disebut dengan istilah Ushul Fiqh.

B. Rumusan Masalah
  1. Apa yang dimaksud dengan Ushul Fiqh?
  2. Apa saja objek pembahasan Ushul Fiqh?
  3. Apa tujuan pembahasan Ushul Fiqh?
  4. Apa ruang lingkup Ushul Fiqh?
  5. Apa perbedaan antar Fiqh dan Ushul Fiqh?
C. Tujuan Penulisan
  1. Untuk Mengetahui definisi Ushul Fiqh
  2. Untuk Mengetahui objek pembahasan Ushul Fiqh
  3. Untuk Mengetahui tujuan pembahasan Ushul Fiqh
  4. Untuk Mengetahui ruang lingkup Ushul Fiqh
  5. Untuk Mengetahui perbedaan antar Fiqh dan Ushul Fiqh

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Ushul Fiqh

Kata Ushul Fiqh merupakan gabungan dari dua kata, yakni Ushul berarti pokok, dasar, pondasi. Yang kedua adalah Fiqh yang berarti paham yang mendalam. Kata Ushul yang merupakan jama’ dari kata Ashal secara etimologi berarti sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya. Arti etimologi ini tidak jauh definitive dari kata ashal tersebut karena ilmu ushul fiqh itu adalah suatu ilmu yang kepadanya didasarkan fiqh.

Sedangkan fiqh di istilahkan sebagai ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum praktis (amaliy) yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalilnya yang terperinci (tafshili) dalam nash (al-Qur an dan Sunnah). Yang dimaksud dalil tafshili adalah dalil-dalil yang terdapat dan terpapar dalam nash dimana satu persatunya menunjuk pada satu hukum tertentu.

B. Definisi Ushul Fiqh Sebagai suatu disiplin ilmu

Sebagai nama dari suatu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syariat, para ulama mengungkapkan definisi ini dalam berbagai pengertian. Menurut Muhammad al-Khudlary Beik, Ushul Fiqh adalah “kaidah-kaidah yang dengannya di istinbathkan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil tertentu”. Abdul Hamid Hakim mengartikan Ushul Fiqh adalah “dalil Fiqh secara Ijmali (global), seperti ucapan para ulama: “suatu yang dikatakan sebagai perintah adalah menandakan sebuah kewajiban, suatu yang dikatakan sebagai larangan adalah menandakan sebuah keharaman, dan suatu yang dikatakan sebagai perbuatan nabi Muhammad SAW, Ijma (konsensus para ulama), dan Qiyas (analogi) adalah sebuah Hujjah (argumentasi)”.

Ali bin Abi Ali bin Muhammad al-Amidi mendefinisikan bahwa Ushul Fiqh adalah “dalil-dalil fiqh yang arah dilalahnya atas hukum-hukum syariat serta tatacara pengambilan hukum dari sisi dalil ijmali bukan dalil tafsili”. Sedangkan menurut Abdul Wahhab Khallaf juga mendefinisikan dengan “ilmu tentang kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci”.

Dipihak lain, secara detail Abu Zahrah mengatakan bahwa ilmu ushul fiqh adalah “ ilmu yang menjelaskan kepada Mujtahid tentang jalan-jalan yang harus ditempuh dalam mengambil hukum-hukum dari nash dan dari dalil-dalil lain yang disandarkan kepada nash itu sendiri. Oleh karenanya, ushul fiqh juga dikatakan sebagai kumpulan kaidah atau metode yang menjelaskan kepada ahli hukum Islam tentang cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’.

Dengan beberapa defenisi diatas dapat pemakalah simpulkan bahwa ushul fiqih merupakan metode (cara) yang harus ditempuh oleh ahli fiqih (faqih) di dalam menetapkan hukum-hukum syara’ bedasarkan dalil syar’i, serta mengklasifikasikan dalil-dali tersebut bedasarkan kualitasnya. Dalil dari Al Qur’an harus didahulukan dari pada qiyas serta dalil-dalil lain yang tidak berdasarkan nash Al- Qur’an dan Hadits. Sedangkan fiqih adalah hasil hukum-hukum syar’i bedasarkan metode-metode tersebut.

C. Obyek Kajian Ushul Fiqh

Obyek pembahasan ilmu Ushul Fiqh adalah dalil-dalil syara’ dari segi penunjukannya kepada suatu hukum secara Ijmali atau global dari nash. Hal ini dapat dipahami dari gambaran Al-Qur’an kepada hukum tidak hanya menggunakan satu bentuk kalimat tertentu, tetapi tampil dalam berbagai bentuk, seperti shighat amr, shighat nahi, kalimat yang bersifat umum, mutlak dan sebagainya. Objek ushul Fiqh merupakan metodologi penetapan hukum-hukum yang berdasarkan pada dalil-dalil ijmali tersebut yang bermuara pada dalil syara’ ditinjau dari segi hakikatnya, kriterianya dan macam-macamnya.

Satria Effendi memerinci obyek kajian Ushul Fiqh menjadi empat bagian yaitu :
  1. Pembahasan mengenai hukum syara’ dan yang berhubungan dengannya, seperti hakim, mahkum fiqh, dan mahkum ‘alaih.
  2. Pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hokum
  3. Pembahasan tentang cara menggali dan menarik hukum dari sumber-sumber dan dalil-dalil itu. 
  4. Pembahasan tentang ijtihad.
Sementara itu, menurut Al-Ghazali dalam kitab Al-Mustashfa, ruang lingkup kajian ushul fiqh ada empat yaitu :
  1. Hukum-hukum syara’, karena hukum syara’ adalah tsamrah (buah/ hasil) yang dicari oleh ushul fiqh.
  2. Dalil-dalil hukum syara’, seperti al-kitab, sunnah dan ijma’, karena semuanya ini adalah mutsmir (pohon).
  3. Sisi penunjukan dalil-dalil (wujuh dalalah al-adillah), karena ini adalah thariq al-istitsmar (jalan/proses pembuahan). Penunjukan dalil-dalil ini ada empat, yaitu dalalah bil manthuq (tersurat), dalalah bil mafhum (tersirat), dalalah bil dharurat (kemadharatan), dan dalalah bil ma’na al-ma’qul (makna rasional).
  4. Mustatsmir (yang membuahkan), yaitu mujtahid yang menetapkan hukum berdasarkan dugaan kuatnya (zhan). Lawan mujtahid adalah muqallid yang wajib mengikuti mujtahid, sehingga harus menyebutkan syarat-syarat muqallid dan mujtahid serta sifat-sifat keduanya.
D. Tujuan dan Urgensi Ushul Fiqh

Menurut Abdul Wahab Khallaf, tujuan dari ilmu ushul Fiqh adalah menerapkan kaidah-kaidah dan teori-teorinya terhadap dalil-dalil yang rinci untuk menghasilkan hukuk syara’ yang ditunjuki dalil itu. Jadi, berdasarkan kaidah-kaidahnya dan bahasan-bahasannya maka nash-nash syara’ dapat dipahami dan hukum yang menjadi dalalahnya dapat diketahui, serta sesuatu yang dapat menghilangkan kesamaran lafadz yang samar dapat diketahui. Selain itu juga diketahui juga dalil-dalil yang dimenangkan ketika terjadi pertentangan antara satu dalil dengan dalil yang lainnya. Termasuk menetapkan metode yang paling tepat untuk menggali hukum dari sumbernya terhadap sesuatu kejadian konkret yang belum terdapat nashnya dan mengetahui dengan sempurnya dasr-dasar dan metode para mujtahid mengambil hukum sehingga terhindar dari taqlid. Ilmu inipun juga membicarakan metode penerapan hukum bagi peristiwa-peristiwa atau tindakan yang secara pasti tidak ditemui nashnya, yaitu denganjalan Qiyas istishab, dan lain sebagainya.

Menurut Khudhari Beik dalam kitab ushul fiqihnya merinci tujuan ushul fiqih sebagai berikut :
  1. Mengemukakan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid, agar mampu menggali hukum syara’ secara tepat.
  2. Sebagai acuan dalam menentukan dan menetapkan hukum syara’ melalui bermetode yang dikembangkan oleh para mujtahid, sehinggga dapat memecahkan berbagai persoalan baru yang muncul.
  3. Memelihara agama dari penyimpangan penyalahgunaan sumber dan dalil hukum. Ushul fiqih menjadi tolak ukur validitas kebenaran sebuah ijtihad.
  4. Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, dilihat dari dalil yang mereka gunakan. 
  5. Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat sejalan dengan dalil yang digunakan dalam berijtihad, sehingga para peminat hukum Islam dapat melakukan tarjih (penguatan) salah satu dalil atau pendapat tersebut dengan mengemukakan pendapatnya.
Jadi, disini ilmu ushul fiqh memberi pengetahuan kepada umat Islam tentang system hukum dan metode pengambilan hukum itu sendiri. Dengan demikian diharapkan umat Islam akan terhindar dari taqlid atau ikut pada pendapat seseorang tanpa mengetahui dalil dan alasan-alasannya.

Ushul fiqh juga sangat penting bagi umat Islam, karena disatu pihak pertumbuhan nash telah terhenti sejak meninggalnya nabi, sementara dipihak lain, akibat kemajuan sains dan teknologi, permasalahan yang mereka hadapi kian hari kian bertambah. Kehadiran sains dan teknologi tidak hanya dapat membantu dan membuatkehidupan manusia menjadi mudah, tetapi juga membawa masalah-masalah baru yang memerlukan penanganan serius oleh para ahli dengan berbagai bidangnya. Penggunaan produk-produk teknologi maju itu, atau pergeseran nilai-nilai sosial sebagai akibat modernisasi, langsung atau tidak langsung telah pula membawa pengaruh yang cukup berarti terhadap praktik-praktik keagamaan (Islam). Hal ini antara lain terlihat disekitar perkawinan, warisan dan bahkan ibadat sekalipun. Perlu juga dipahami bersama adalah bahwa ilmu Ushul Fiqh tidak hanya berguna bagi para Mujtahid atau ahli hukum saja, akan tetapi bagi semua orang Islam untuk mencari kepastian hukum bagi setiap masalah yang mereka hadapi sekalipun tidak sampai ketingkat Mujtahid mereka akan beramal sebagai muttabi’, mengikuti pendapat para ahli dengan mengetahui dalil dan alas an-alasannya.

E. Ruang Lingkup Kajian Ushul Fiqh

Berdasarkan berbagai pemaparan di atas, terutama berbagai definisi yang dipaparkan oleh para ulama ahli ilmu Ushul Fiqh dapat diketahui ruang lingkup kajian (maudhu’) dari Ushul fiqh secara global diantaranya:

Menurut Al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa ruang lingkup kajian Ushul fiqh ada 4, yaitu :
  1. Hukum-hukum syara’, karena hukum syara’ adalah tsamarah (buah /hasil) yang dicari oleh ushul fiqh.
  2. Dalil-dalil hukum syara’, seperti al-kitab, sunnah dan ijma’, karena semuanya ini adalah mutsmir (pohon).
  3. Sisi penunjukkan dalil-dalil (wujuh dalalah al-adillah), karena ini adalah thariq al-istitsmar (jalan / proses pembuahan). Penunjukkan dalil-dalil ini ada 4, yaitu dalalah bil manthuq (tersurat), dalalah bil mafhum (tersirat), dalalah bil dharurat (kemadharatan), dan dalalah bil ma’na al-ma’qul (makna rasional).
  4. Mustatsmir (yang membuahkan) yaitu mujtahid yang menetapkan hukum berdasarkan dugaan kuatnya (zhan). Lawan mujtahid adalah muqallid yang wajib mengikuti mujtahid, sehingga harus menyebutkan syarat-syarat muqallid dan mujtahid serta sifat-sifat keduanya.
F. Perbedaan Fiqh dan Ushul Fiqh

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa fiqh adalah ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum praktis yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalilnya yang terperinci (tafshili) dalam nash. Sedangkan Ushul Fiqh seperti yang didefinisikan oleh Abdul Wahhab Khallaf adalah ilmu tentang kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci, maka dapat di lihat perbedaan antara ilmu fiqh dengan ilmu ushul Fiqh. Kalau ilmu fiqh berbicara tentang hukum dari suatu perbuatan, maka ilmu ushul fiqh berbicara tentang metode dan proses bagaimanamenemukan hukum itu sendiri.

Dilihat dari sudut aplikasinya, fiqh akan menjawab pertanyaan “apa hukum dari suatau perbuatan”, dan ushul Fiqh akan menjawab pertanyaan “bagaimana cara atau proses penemuan hukum yang digunakan sebagai jawaban permasalahan yang dipertanyakan tersebut”. Oleh karena itu, fiqh lebih bercorak produk sedangkan ushul fiqh lebih bermakna metodologis. Oleh sebab itu, fiqh terlihat sebagai koleksi produk hukum, sedangkan ushul fiqh merupakan koleksi metodis yang sangat diperlukan untuk memproduk hukum.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
  1. Ushul fiqh mempunyai pengertian sebagai ilmu yang menjelaskan kepada Mujtahid tentang jalan-jalan yang harus ditempuh dalam mengambil hukum-hukum dari nash dan dari dalil-dalil lain yang disandarkan kepada nash itu sendiri seperti Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, Ijma’, Qiyas, dan lain-lain.
  2. Objek Kajian Ushul Fiqh membahas tentang hukum syara’, tentang sumber-sumber dalil hukum, tentang cara mengistinbathkan hukum dan sumber-sumber dalil itu serta pembahasan tentang ijtihad dengan tujuan mengemukakan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seseorang mujtahid, agar mampu menggali hukum syara’ secara tepat dan lain-lain.
  3. Ruang lingkup ushul fiqhyang dibahassecara global adalah sebagai sumber dan dalil hukum dengan berbagai permasalahannya, bagaimana memanfaatkan sumber dan dalil hukum tersebut dan lain-lain.
  4. Perbedaan antara ilmu fiqh dengan ilmu ushul Fiqh adalah kalau ilmu fiqh berbicara tentang hukum dari suatu perbuatan, sedangkan ilmu ushul fiqh berbicara tentang metode dan proses bagaimanamenemukan hukum itu sendiri.
B. Saran

Sebagai umat Islam kita hendaknya mengetahui dan memahami makna dari ushul fiqh, mulai dari defenisi, objek kajiannya, ruang lingkup, hingga manfaat mempelajari ushul fiqh.

Mudah-mudahan ulasan dari makalah ini menambah wawasan pembaca khususnya penulis mengenai wawasan ushul fiqh, dan tentunya penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian untuk kesempurnaan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
  • Al-Amidi, Ali bin Abi Ali bin Muhammad,Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Juz 1, Pati: TB. Himmah, t.th.
  • Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul fiqih,Pekalongan: STAIN Press, 2006
  • Beik, Muhammad al-Khudlary,Ushul Fiqh,Mesir: Darul Fikri, 1969
  • Hakim, Abdul Hamid, Mabadi Awwaliyah Fi Ushul al-Fiqhi wa al-Qawaid al-Fiqhiyyah,Jakarta: Maktabah Sa’adiyah Putra, t.th. Haroen, Nasrun, Ushul Fiqih I, Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 1997
  • Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarata: Al-Majlis al-a’la ai-Indonesia li al-Dakwah al-Islamiyah, 1972
  • Khallaf, Abdul Wahhab, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. VI, 1996
  • Koto, Alaidin,Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (sebuah pengantar),Jakarta: RajaGrafindo Persada, cet. 3, 2004
  • Mahfudz, Muhammad Ahmad Sahal, Fiqh Sosial: Upaya pengembangan Madzhab Qauli dan Manhaji,naskah pidato ilmiah penganugerahan gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa), 18 Juni 2003 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jogjakarta: Ar_Ruzz Media, cet.1, 2011
  • Zahrah, Abu,Ushul Fiqh, Mesir: Darul Fikri al-Araby u, 1958