Pengertian Ila’

Saturday, September 22, 2018

Aspek Self Esteem

Pengertian Self-Esteem

Evaluasi terhadap diri sendiri dikenal sebagai self-esteem yaitu evaluasi diri yang dibuat oleh setiap individu, sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi positif-negatif (Baron & Byrne dalam Widyastuti, 2014). Buss (dalam Suhron, 2017) memberikan pengertian self-esteem sebagai penilaian individu terhadap dirinya sendiri, yang sifatnya implisit dan tidak diverbalisasikan.

Harga diri (self-esteem) adalah bagian evaluasi dari konsep diri, penilaian yang dibuat anak mengenai keberhargaan mereka. Dalam sudut pandang aliran Neo-Piaget, harga diri didasari oleh kemampuan kognitif anak yang tumbuh menggambarkan dan mendefinisikan diri mereka sendiri (Papalia, Olds, Feldman, 2013).

Rosenberg (dalam Masriah, Putri, dan Radiaswati, 2012) menjelaskan bahwa harga diri (self-esteem) adalah penilaian seseorang terhadap dirinya yang ditampilkan melalui sikap positif atau negatif terhadap dirinya. Harga diri yang positif akan membangkitkan rasa percaya diri, penghargaan diri, rasa yakin akan kemampuan diri, rasa berguna serta rasa bahwa kehadirannya diperlukan didunia ini. Sebaliknya, seseorang yang memiliki harga diri yang negatif akan cenderung merasa bahwa dirinya tidak mampu dan tidak berharga, cenderung takut menghadapi respon dari orang lain, tidak mampu membina komunikasi yang baik dan cenderung merasa hidupnya tidak bahagia (Simbolon dalam Masriah, Putri, dan Radiaswati, 2012).

Well dan Marwell (dalam Rahman, 2014) menyebutkan empat tipe pengertian self-esteem. Pertama, self-esteem dipandang sebagai sikap. Seperti sikap-sikap yang lainnya, self-esteem menunjuk pada suatu objek tertentu yang melibatkan reaksi kognitif, emosi, dan perilaku, baik positif maupun negatif. Kedua, self-esteem dipandang sebagai perbandingan antara ideal self dan real self. Self-esteem akan tinggi jika real self semakin mendekati ideal self, dan begitu sebaliknya. Ketiga, self-esteem dianggap sebagai respons psikologis seseorang terhadap dirinya sendiri, lebih dari sekedar sikap. Dan yang keempat, self-esteem dipahami sebagai komponen dari kepribadian atau self system seseorang.

Menurut Murk (dalam Rahman, 2014) terdapat tiga klasifikasi dalam mendefinisikan self-esteem. Pertama, self-esteem dipandang sebagai suatu kompetensi. Dalam hal ini, self-esteem dihubungkan dengan kesuksesan, kemampuan, dan kompetensi objektif yang dimiliki. Kedua, self-esteem dipandang sebagai perasaan berharga. Ketiga, self-esteem dipandang sebagai suatu kompetensi dan perasaan berharga.

Menurut Branden (dalam Rahman, 2014), self-esteem merupakan kecendrungan seseorang untuk merasa mampu didalam mengatasi suatu masalah dan merasa berharga. Dengan kata lain, self-esteem merupakan integrasi dari kepercayaan pada diri sendiri dan penghargaan pada diri sendiri.

Coopersmith (dalam Suhron, 2017) memberikan pengertian tentang harga diri sebagai penilaian diri yang dipengaruhi oleh sikap, interaksi, penghargaan, dan penerimaan orang lain terhadap individu.

Berdasarkan definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa self-esteem (harga diri) merupakan cara individu dalam memberikan persepsi, penilaian, dan evaluasi terhadap dirinya sendiri yang bersumber dari dalam diri dan interaksi dengan lingkungan.

Aspek-aspek self-esteem

Menurut Coopersmith (dalam Suhron, 2017) aspek-aspek yang terkandung dalam self-esteem ada tiga yaitu :
  1. Perasaan berharga. Perasaan berharga merupakan perasaan yang dimiliki individu ketika individu tersebut merasa dirinya berharga dan dapat menghargai orang lain. Individu yang merasa dirinya berharga cenderung dapat mengontrol tindakan-tindakannya terhadap dunia luar dirinya. Selain itu individu tersebut juga dapat mengekspresikan dirinya dengan baik dan dapat menerima kritik dengan baik
  2. Perasaan mampu. Perasaan mampu merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu pada saat dia merasa mampu mencapai suatu hasil yang diharapkan. Individu yang memiliki perasaan mampu umumnya memiliki nilai-nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang realistis. Individu ini menyukai tugas baru yang menantang, aktif dan tidak cepat bingung bila segala sesuaut berjalan diluar rencana. Mereka tidak menganggap dirinya sempurna tetapi sadar akan keterbatasan diri dan berusaha agar ada perubahan dalam dirinya. Bila individu merasa telah mencapai tujuannya secara efisien maka individu tersebut akan menilai dirinya secara tinggi
  3. Perasaan diterima. Perasaan diterima merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu ketika ia dapat diterima sebagai dirinya sendiri oleh suatu kelompok. Ketika seseorang berada pada suatu kelompok dan diperlakukan sebagai bagian dari kelompok tersebut, maka ia akan merasa dirinya diterima serta dihargai oleh anggota kelompok itu
Pembentukan self-esteem

Mukhlis (dalam Ghufron & Risnawita, 2011) mengatakan bahwa pembentuk harga diri pada individu dimulai sejak individu mempunyai pengalaman dan interaksi sosial, yang sebelumnya didahului dengan kemampuan mengadakan persepsi. Secara spesifik pembentukan harga diri terjadi sejak usia pertengahan kanak-kanak dan terus berkembang hingga sampai remaja akhir (Papalia dalam Suhron, 2017).

Self-esteem erat kaitannya dengan mekanisme pembentukan self-esteem masa sebelum remaja mengalami perkembangan dan tiap individu memiliki kadar self-esteem yang berbeda mulai dari yang positif dan negatif. Menurut Darajat (dalam Ghufron & Risnawita, 2011) harga diri sudah terbentuk pada saat masa kanak-kanak sehingga seorang anak sangat perlu mendapatkan rasa penghargaan dari orang tuanya. Proses selanjutnya, harga diri terbentuk melalui perlakuan yang diterima individu dari orang lingkungannya, seperti dimanja dan diperhatikan orang tua dan orang lain. Dengan demikian harga diri bukan merupakan faktor yang dapat dipelajari dan terbentuknya sepanjang pengalaman individu.

Coopersmith (dalam Ghufron & Risnawita, 2011) mengemukakan bahwa pembentukan harga diri dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
  1. Keberartian individu. Keberartian diri menyangkut seberapa besar individu percaya bahwa dirinya mampu, berarti, dan berharga menurut standar dan nilai pribadi. Penghargaan inilah yang dimaksud dengan keberartian diri
  2. Keberhasilan seseorang. Keberhasilan yang berpengaruh terhadap pembentukan harga diri adalah keberhasilan yang berhubungan dengan kekuatan atau kemampuan individu dalam mempengaruhi dan mengendalikan diri sendiri maupun orang lain
  3. Kekuatan individu. Kekuatan individu terhadap aturan-aturan, norma, dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam masyarakat. Semakin taat terhadap hal-hal yang sudah ditetapkan dalam masyarakat, maka semakin besar kemampuan individu untuk dapat dianggap sebagai panutan masyarakat. Oleh sebab itu, semakin tinggi pula penerimaan masyarakat terhadap individu yang bersangkutan dan akan mendorong harga diri yang tinggi.
  4. Performansi individu yang sesuai dalam mencapai prestasi yang diharapkan. Apabila individu mengalami kegagalan, maka harga dirinya akan menjadi rendah. Sebaliknya, apabila performansi seseorang sesuai dengan tuntutan dan harapan, maka akan mendorong pembentukan harga diri yang tinggi
Kreitner dan Kinicki (dalam Suhron, 2017) mengungkap terdapat enam faktor yang membangun self-esteem, yaitu :
  1. Goal setting (merencanakan tujuan). Pada masa remaja dalam menentukan tujuan hidup yang ingin dicapai dibutuhkan usaha dan keinginan yang kuat (ambisi) untuk mencapainya khususnya dalam belajar dan meraih prestasi
  2. Risk taking (mengambil resiko). Berani untuk mengambil resiko untuk memenuhi dan mencapai tujuannya karena remaja tidak akan pernah mengetahui kemampuan diri sendiri jika tidak mau mengambil resiko
  3. Opening up (membuka diri). Jika remaja membuka diri dan berbagi rasa dengan orang lain maka akan mudah baginya untuk mengenali diri sendiri
  4. Wisechoice making (membuat keputusan yang bijaksana). Jika remaja dapat membuat keputusan yang benar maka akan meningkatkan self-confidence dan self-esteem
  5. Time sharing (berjalan sesuai dengan waktu). Jangan selalu memberikan tekanan dan paksaan pada diri sendiri untuk mendapatkan perubahan karena tidak mungkin perubahan bisa didapat secara langsung. Dalam hal ini remaja dapat bertukar pendapat dan berdiskusi untuk mendukung prestasi belajarnya
  6. Healing (penyembuhan). Penyembuhan dalam arti fisik dan mental dan hal itu bisa dilakukan dengan cara membuat komitmen dan bersyukur. Dalam hal ini remaja bersyukur dan memahami potensi yang dimiliki untuk menunjang prestasi belajarnya meskipun dalam meraih cita-citanya tidak semudah untuk mencapainya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi self-esteem

Menurut McLoed, Owens, & Powell (dalam Suhron, 2017), faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri seseorang adalah :
  1. Usia. Perkembangan self-esteem ketika seseorang memasuki masa anak-anak dan remaja, seseorang akan memperoleh harga diri mereka dari teman, orang tua dan guru pada saat mereka bersekolah
  2. Ras. Keanekaragaman budaya dan ras tertentu dapat mempengaruhi self-esteemnya untuk menjunjung tinggi rasnya
  3. Etnis. Dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat terdapat etnis tetentu yang menilai bahwa sukunya lebih tinggi derajatnya sehingga dapat mempengaruhi self-esteemnya
  4. Pubertas. Merupakan periode transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa ditandai munculnya karakteristik seks sekunder dan kemampuan reproduksi seksual yang dapat menimbulkan perasaan menarik sehingga mempenaruhi self-esteem
  5. Berat badan. Rangkaian perubahan berat badan yang paling jelas tampak pada masa remaja adalah perubahan fisik. Hormon-hormon baru diproduksi oleh kelenjar endokrin, dan membawa perubahan dalam ciri-ciri seks primer dan memunculkan ciri-ciri seks sekunder. Seorang individu lalu mulai terlihat berbeda dan sebagai konsekuensi dari hormon yang baru dalam penambahan atau penurunan berat badan, dia sendiri mulai merasa adanya perbedaan
  6. Jenis kelamin. Menunjukkan bahwa remaja pria akan menjaga harga dirinya untuk bersaing dan berkeinginan menjadi lebih baik dari remaja putri khususnya dalam mencapai prestasi belajar dikelas sehingga dapat mempengaruhi harga diri remaja tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa remaja putri mudah terkena gangguan citra diri dibandingkan dengan remaja putra.
Karakteristik individu dengan self-esteem yang tinggi dan rendah

Coopersmith (dalam Suhron, 2017) membagi karakteristik harga diri individu menjadi dua golongan, yaitu :
  1. Individu dengan harga diri yang tinggi
    1. Aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik
    2. Berhasil dalam bidang akademik dan menjalin hubungan sosial
    3. Dapat menerima kritik dengan baik
    4. Percaya pada persepsi dan reaksinya sendiri
    5. Tidak terpaku pada dirinya sendiri atau hanya memikirkan kesulitan sendiri
    6. Memiliki keyakinan diri, tidak didasarkan atas fantasi, karena mempunyai kemampuan, kecakapan dan kualitas diri yang tinggi
    7. Tidak terpengaruh oleh penilaian orang lain tentang kepribadian
    8. Lebih mudah menyesuaikan diri dengan suasana yang menyenangkan sehingga tingkat kecemasannya rendah dan memiliki ketahanan diri yang seimbang
  2. Individu dengan harga diri yang rendah
    1. Memiliki perasaan inferior
    2. Takut gagal dalam membina hubungan sosial
    3. Terlihat sebagai orang yang putus asa dan depresi
    4. Merasa diasingkan dan tidak diperhatikan
    5. Kurang dapat mengekspresikan diri
    6. Sangat tergantung pada lingkungan
    7. Tidak konsisten
    8. Secara pasif mengikuti lingkungan
    9. Menggunakan banyak taktik memperhatikan diri (defense mechanism)
    10. Mudah mengakui kesalahan

Pengertian Self Esteem

Pengertian Self-Esteem

Evaluasi terhadap diri sendiri dikenal sebagai self-esteem yaitu evaluasi diri yang dibuat oleh setiap individu, sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi positif-negatif (Baron & Byrne dalam Widyastuti, 2014). Buss (dalam Suhron, 2017) memberikan pengertian self-esteem sebagai penilaian individu terhadap dirinya sendiri, yang sifatnya implisit dan tidak diverbalisasikan.

Harga diri (self-esteem) adalah bagian evaluasi dari konsep diri, penilaian yang dibuat anak mengenai keberhargaan mereka. Dalam sudut pandang aliran Neo-Piaget, harga diri didasari oleh kemampuan kognitif anak yang tumbuh menggambarkan dan mendefinisikan diri mereka sendiri (Papalia, Olds, Feldman, 2013).

Rosenberg (dalam Masriah, Putri, dan Radiaswati, 2012) menjelaskan bahwa harga diri (self-esteem) adalah penilaian seseorang terhadap dirinya yang ditampilkan melalui sikap positif atau negatif terhadap dirinya. Harga diri yang positif akan membangkitkan rasa percaya diri, penghargaan diri, rasa yakin akan kemampuan diri, rasa berguna serta rasa bahwa kehadirannya diperlukan didunia ini. Sebaliknya, seseorang yang memiliki harga diri yang negatif akan cenderung merasa bahwa dirinya tidak mampu dan tidak berharga, cenderung takut menghadapi respon dari orang lain, tidak mampu membina komunikasi yang baik dan cenderung merasa hidupnya tidak bahagia (Simbolon dalam Masriah, Putri, dan Radiaswati, 2012).

Well dan Marwell (dalam Rahman, 2014) menyebutkan empat tipe pengertian self-esteem. Pertama, self-esteem dipandang sebagai sikap. Seperti sikap-sikap yang lainnya, self-esteem menunjuk pada suatu objek tertentu yang melibatkan reaksi kognitif, emosi, dan perilaku, baik positif maupun negatif. Kedua, self-esteem dipandang sebagai perbandingan antara ideal self dan real self. Self-esteem akan tinggi jika real self semakin mendekati ideal self, dan begitu sebaliknya. Ketiga, self-esteem dianggap sebagai respons psikologis seseorang terhadap dirinya sendiri, lebih dari sekedar sikap. Dan yang keempat, self-esteem dipahami sebagai komponen dari kepribadian atau self system seseorang.

Menurut Murk (dalam Rahman, 2014) terdapat tiga klasifikasi dalam mendefinisikan self-esteem. Pertama, self-esteem dipandang sebagai suatu kompetensi. Dalam hal ini, self-esteem dihubungkan dengan kesuksesan, kemampuan, dan kompetensi objektif yang dimiliki. Kedua, self-esteem dipandang sebagai perasaan berharga. Ketiga, self-esteem dipandang sebagai suatu kompetensi dan perasaan berharga.

Menurut Branden (dalam Rahman, 2014), self-esteem merupakan kecendrungan seseorang untuk merasa mampu didalam mengatasi suatu masalah dan merasa berharga. Dengan kata lain, self-esteem merupakan integrasi dari kepercayaan pada diri sendiri dan penghargaan pada diri sendiri.

Coopersmith (dalam Suhron, 2017) memberikan pengertian tentang harga diri sebagai penilaian diri yang dipengaruhi oleh sikap, interaksi, penghargaan, dan penerimaan orang lain terhadap individu.

Berdasarkan definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa self-esteem (harga diri) merupakan cara individu dalam memberikan persepsi, penilaian, dan evaluasi terhadap dirinya sendiri yang bersumber dari dalam diri dan interaksi dengan lingkungan.

Aspek-aspek self-esteem

Menurut Coopersmith (dalam Suhron, 2017) aspek-aspek yang terkandung dalam self-esteem ada tiga yaitu :
  1. Perasaan berharga. Perasaan berharga merupakan perasaan yang dimiliki individu ketika individu tersebut merasa dirinya berharga dan dapat menghargai orang lain. Individu yang merasa dirinya berharga cenderung dapat mengontrol tindakan-tindakannya terhadap dunia luar dirinya. Selain itu individu tersebut juga dapat mengekspresikan dirinya dengan baik dan dapat menerima kritik dengan baik
  2. Perasaan mampu. Perasaan mampu merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu pada saat dia merasa mampu mencapai suatu hasil yang diharapkan. Individu yang memiliki perasaan mampu umumnya memiliki nilai-nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang realistis. Individu ini menyukai tugas baru yang menantang, aktif dan tidak cepat bingung bila segala sesuaut berjalan diluar rencana. Mereka tidak menganggap dirinya sempurna tetapi sadar akan keterbatasan diri dan berusaha agar ada perubahan dalam dirinya. Bila individu merasa telah mencapai tujuannya secara efisien maka individu tersebut akan menilai dirinya secara tinggi
  3. Perasaan diterima. Perasaan diterima merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu ketika ia dapat diterima sebagai dirinya sendiri oleh suatu kelompok. Ketika seseorang berada pada suatu kelompok dan diperlakukan sebagai bagian dari kelompok tersebut, maka ia akan merasa dirinya diterima serta dihargai oleh anggota kelompok itu
Pembentukan self-esteem

Mukhlis (dalam Ghufron & Risnawita, 2011) mengatakan bahwa pembentuk harga diri pada individu dimulai sejak individu mempunyai pengalaman dan interaksi sosial, yang sebelumnya didahului dengan kemampuan mengadakan persepsi. Secara spesifik pembentukan harga diri terjadi sejak usia pertengahan kanak-kanak dan terus berkembang hingga sampai remaja akhir (Papalia dalam Suhron, 2017).

Self-esteem erat kaitannya dengan mekanisme pembentukan self-esteem masa sebelum remaja mengalami perkembangan dan tiap individu memiliki kadar self-esteem yang berbeda mulai dari yang positif dan negatif. Menurut Darajat (dalam Ghufron & Risnawita, 2011) harga diri sudah terbentuk pada saat masa kanak-kanak sehingga seorang anak sangat perlu mendapatkan rasa penghargaan dari orang tuanya. Proses selanjutnya, harga diri terbentuk melalui perlakuan yang diterima individu dari orang lingkungannya, seperti dimanja dan diperhatikan orang tua dan orang lain. Dengan demikian harga diri bukan merupakan faktor yang dapat dipelajari dan terbentuknya sepanjang pengalaman individu.

Coopersmith (dalam Ghufron & Risnawita, 2011) mengemukakan bahwa pembentukan harga diri dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
  1. Keberartian individu. Keberartian diri menyangkut seberapa besar individu percaya bahwa dirinya mampu, berarti, dan berharga menurut standar dan nilai pribadi. Penghargaan inilah yang dimaksud dengan keberartian diri
  2. Keberhasilan seseorang. Keberhasilan yang berpengaruh terhadap pembentukan harga diri adalah keberhasilan yang berhubungan dengan kekuatan atau kemampuan individu dalam mempengaruhi dan mengendalikan diri sendiri maupun orang lain
  3. Kekuatan individu. Kekuatan individu terhadap aturan-aturan, norma, dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam masyarakat. Semakin taat terhadap hal-hal yang sudah ditetapkan dalam masyarakat, maka semakin besar kemampuan individu untuk dapat dianggap sebagai panutan masyarakat. Oleh sebab itu, semakin tinggi pula penerimaan masyarakat terhadap individu yang bersangkutan dan akan mendorong harga diri yang tinggi.
  4. Performansi individu yang sesuai dalam mencapai prestasi yang diharapkan. Apabila individu mengalami kegagalan, maka harga dirinya akan menjadi rendah. Sebaliknya, apabila performansi seseorang sesuai dengan tuntutan dan harapan, maka akan mendorong pembentukan harga diri yang tinggi
Kreitner dan Kinicki (dalam Suhron, 2017) mengungkap terdapat enam faktor yang membangun self-esteem, yaitu :
  1. Goal setting (merencanakan tujuan). Pada masa remaja dalam menentukan tujuan hidup yang ingin dicapai dibutuhkan usaha dan keinginan yang kuat (ambisi) untuk mencapainya khususnya dalam belajar dan meraih prestasi
  2. Risk taking (mengambil resiko). Berani untuk mengambil resiko untuk memenuhi dan mencapai tujuannya karena remaja tidak akan pernah mengetahui kemampuan diri sendiri jika tidak mau mengambil resiko
  3. Opening up (membuka diri). Jika remaja membuka diri dan berbagi rasa dengan orang lain maka akan mudah baginya untuk mengenali diri sendiri
  4. Wisechoice making (membuat keputusan yang bijaksana). Jika remaja dapat membuat keputusan yang benar maka akan meningkatkan self-confidence dan self-esteem
  5. Time sharing (berjalan sesuai dengan waktu). Jangan selalu memberikan tekanan dan paksaan pada diri sendiri untuk mendapatkan perubahan karena tidak mungkin perubahan bisa didapat secara langsung. Dalam hal ini remaja dapat bertukar pendapat dan berdiskusi untuk mendukung prestasi belajarnya
  6. Healing (penyembuhan). Penyembuhan dalam arti fisik dan mental dan hal itu bisa dilakukan dengan cara membuat komitmen dan bersyukur. Dalam hal ini remaja bersyukur dan memahami potensi yang dimiliki untuk menunjang prestasi belajarnya meskipun dalam meraih cita-citanya tidak semudah untuk mencapainya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi self-esteem

Menurut McLoed, Owens, & Powell (dalam Suhron, 2017), faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri seseorang adalah :
  1. Usia. Perkembangan self-esteem ketika seseorang memasuki masa anak-anak dan remaja, seseorang akan memperoleh harga diri mereka dari teman, orang tua dan guru pada saat mereka bersekolah
  2. Ras. Keanekaragaman budaya dan ras tertentu dapat mempengaruhi self-esteemnya untuk menjunjung tinggi rasnya
  3. Etnis. Dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat terdapat etnis tetentu yang menilai bahwa sukunya lebih tinggi derajatnya sehingga dapat mempengaruhi self-esteemnya
  4. Pubertas. Merupakan periode transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa ditandai munculnya karakteristik seks sekunder dan kemampuan reproduksi seksual yang dapat menimbulkan perasaan menarik sehingga mempenaruhi self-esteem
  5. Berat badan. Rangkaian perubahan berat badan yang paling jelas tampak pada masa remaja adalah perubahan fisik. Hormon-hormon baru diproduksi oleh kelenjar endokrin, dan membawa perubahan dalam ciri-ciri seks primer dan memunculkan ciri-ciri seks sekunder. Seorang individu lalu mulai terlihat berbeda dan sebagai konsekuensi dari hormon yang baru dalam penambahan atau penurunan berat badan, dia sendiri mulai merasa adanya perbedaan
  6. Jenis kelamin. Menunjukkan bahwa remaja pria akan menjaga harga dirinya untuk bersaing dan berkeinginan menjadi lebih baik dari remaja putri khususnya dalam mencapai prestasi belajar dikelas sehingga dapat mempengaruhi harga diri remaja tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa remaja putri mudah terkena gangguan citra diri dibandingkan dengan remaja putra.
Karakteristik individu dengan self-esteem yang tinggi dan rendah

Coopersmith (dalam Suhron, 2017) membagi karakteristik harga diri individu menjadi dua golongan, yaitu :
  1. Individu dengan harga diri yang tinggi
    1. Aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik
    2. Berhasil dalam bidang akademik dan menjalin hubungan sosial
    3. Dapat menerima kritik dengan baik
    4. Percaya pada persepsi dan reaksinya sendiri
    5. Tidak terpaku pada dirinya sendiri atau hanya memikirkan kesulitan sendiri
    6. Memiliki keyakinan diri, tidak didasarkan atas fantasi, karena mempunyai kemampuan, kecakapan dan kualitas diri yang tinggi
    7. Tidak terpengaruh oleh penilaian orang lain tentang kepribadian
    8. Lebih mudah menyesuaikan diri dengan suasana yang menyenangkan sehingga tingkat kecemasannya rendah dan memiliki ketahanan diri yang seimbang
  2. Individu dengan harga diri yang rendah
    1. Memiliki perasaan inferior
    2. Takut gagal dalam membina hubungan sosial
    3. Terlihat sebagai orang yang putus asa dan depresi
    4. Merasa diasingkan dan tidak diperhatikan
    5. Kurang dapat mengekspresikan diri
    6. Sangat tergantung pada lingkungan
    7. Tidak konsisten
    8. Secara pasif mengikuti lingkungan
    9. Menggunakan banyak taktik memperhatikan diri (defense mechanism)
    10. Mudah mengakui kesalahan

Self Esteem

Pengertian Self-Esteem

Evaluasi terhadap diri sendiri dikenal sebagai self-esteem yaitu evaluasi diri yang dibuat oleh setiap individu, sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi positif-negatif (Baron & Byrne dalam Widyastuti, 2014). Buss (dalam Suhron, 2017) memberikan pengertian self-esteem sebagai penilaian individu terhadap dirinya sendiri, yang sifatnya implisit dan tidak diverbalisasikan.

Harga diri (self-esteem) adalah bagian evaluasi dari konsep diri, penilaian yang dibuat anak mengenai keberhargaan mereka. Dalam sudut pandang aliran Neo-Piaget, harga diri didasari oleh kemampuan kognitif anak yang tumbuh menggambarkan dan mendefinisikan diri mereka sendiri (Papalia, Olds, Feldman, 2013).

Rosenberg (dalam Masriah, Putri, dan Radiaswati, 2012) menjelaskan bahwa harga diri (self-esteem) adalah penilaian seseorang terhadap dirinya yang ditampilkan melalui sikap positif atau negatif terhadap dirinya. Harga diri yang positif akan membangkitkan rasa percaya diri, penghargaan diri, rasa yakin akan kemampuan diri, rasa berguna serta rasa bahwa kehadirannya diperlukan didunia ini. Sebaliknya, seseorang yang memiliki harga diri yang negatif akan cenderung merasa bahwa dirinya tidak mampu dan tidak berharga, cenderung takut menghadapi respon dari orang lain, tidak mampu membina komunikasi yang baik dan cenderung merasa hidupnya tidak bahagia (Simbolon dalam Masriah, Putri, dan Radiaswati, 2012).

Well dan Marwell (dalam Rahman, 2014) menyebutkan empat tipe pengertian self-esteem. Pertama, self-esteem dipandang sebagai sikap. Seperti sikap-sikap yang lainnya, self-esteem menunjuk pada suatu objek tertentu yang melibatkan reaksi kognitif, emosi, dan perilaku, baik positif maupun negatif. Kedua, self-esteem dipandang sebagai perbandingan antara ideal self dan real self. Self-esteem akan tinggi jika real self semakin mendekati ideal self, dan begitu sebaliknya. Ketiga, self-esteem dianggap sebagai respons psikologis seseorang terhadap dirinya sendiri, lebih dari sekedar sikap. Dan yang keempat, self-esteem dipahami sebagai komponen dari kepribadian atau self system seseorang.

Menurut Murk (dalam Rahman, 2014) terdapat tiga klasifikasi dalam mendefinisikan self-esteem. Pertama, self-esteem dipandang sebagai suatu kompetensi. Dalam hal ini, self-esteem dihubungkan dengan kesuksesan, kemampuan, dan kompetensi objektif yang dimiliki. Kedua, self-esteem dipandang sebagai perasaan berharga. Ketiga, self-esteem dipandang sebagai suatu kompetensi dan perasaan berharga.

Menurut Branden (dalam Rahman, 2014), self-esteem merupakan kecendrungan seseorang untuk merasa mampu didalam mengatasi suatu masalah dan merasa berharga. Dengan kata lain, self-esteem merupakan integrasi dari kepercayaan pada diri sendiri dan penghargaan pada diri sendiri.

Coopersmith (dalam Suhron, 2017) memberikan pengertian tentang harga diri sebagai penilaian diri yang dipengaruhi oleh sikap, interaksi, penghargaan, dan penerimaan orang lain terhadap individu.

Berdasarkan definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa self-esteem (harga diri) merupakan cara individu dalam memberikan persepsi, penilaian, dan evaluasi terhadap dirinya sendiri yang bersumber dari dalam diri dan interaksi dengan lingkungan.

Aspek-aspek self-esteem

Menurut Coopersmith (dalam Suhron, 2017) aspek-aspek yang terkandung dalam self-esteem ada tiga yaitu :
  1. Perasaan berharga. Perasaan berharga merupakan perasaan yang dimiliki individu ketika individu tersebut merasa dirinya berharga dan dapat menghargai orang lain. Individu yang merasa dirinya berharga cenderung dapat mengontrol tindakan-tindakannya terhadap dunia luar dirinya. Selain itu individu tersebut juga dapat mengekspresikan dirinya dengan baik dan dapat menerima kritik dengan baik
  2. Perasaan mampu. Perasaan mampu merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu pada saat dia merasa mampu mencapai suatu hasil yang diharapkan. Individu yang memiliki perasaan mampu umumnya memiliki nilai-nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang realistis. Individu ini menyukai tugas baru yang menantang, aktif dan tidak cepat bingung bila segala sesuaut berjalan diluar rencana. Mereka tidak menganggap dirinya sempurna tetapi sadar akan keterbatasan diri dan berusaha agar ada perubahan dalam dirinya. Bila individu merasa telah mencapai tujuannya secara efisien maka individu tersebut akan menilai dirinya secara tinggi
  3. Perasaan diterima. Perasaan diterima merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu ketika ia dapat diterima sebagai dirinya sendiri oleh suatu kelompok. Ketika seseorang berada pada suatu kelompok dan diperlakukan sebagai bagian dari kelompok tersebut, maka ia akan merasa dirinya diterima serta dihargai oleh anggota kelompok itu
Pembentukan self-esteem

Mukhlis (dalam Ghufron & Risnawita, 2011) mengatakan bahwa pembentuk harga diri pada individu dimulai sejak individu mempunyai pengalaman dan interaksi sosial, yang sebelumnya didahului dengan kemampuan mengadakan persepsi. Secara spesifik pembentukan harga diri terjadi sejak usia pertengahan kanak-kanak dan terus berkembang hingga sampai remaja akhir (Papalia dalam Suhron, 2017).

Self-esteem erat kaitannya dengan mekanisme pembentukan self-esteem masa sebelum remaja mengalami perkembangan dan tiap individu memiliki kadar self-esteem yang berbeda mulai dari yang positif dan negatif. Menurut Darajat (dalam Ghufron & Risnawita, 2011) harga diri sudah terbentuk pada saat masa kanak-kanak sehingga seorang anak sangat perlu mendapatkan rasa penghargaan dari orang tuanya. Proses selanjutnya, harga diri terbentuk melalui perlakuan yang diterima individu dari orang lingkungannya, seperti dimanja dan diperhatikan orang tua dan orang lain. Dengan demikian harga diri bukan merupakan faktor yang dapat dipelajari dan terbentuknya sepanjang pengalaman individu.

Coopersmith (dalam Ghufron & Risnawita, 2011) mengemukakan bahwa pembentukan harga diri dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
  1. Keberartian individu. Keberartian diri menyangkut seberapa besar individu percaya bahwa dirinya mampu, berarti, dan berharga menurut standar dan nilai pribadi. Penghargaan inilah yang dimaksud dengan keberartian diri
  2. Keberhasilan seseorang. Keberhasilan yang berpengaruh terhadap pembentukan harga diri adalah keberhasilan yang berhubungan dengan kekuatan atau kemampuan individu dalam mempengaruhi dan mengendalikan diri sendiri maupun orang lain
  3. Kekuatan individu. Kekuatan individu terhadap aturan-aturan, norma, dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam masyarakat. Semakin taat terhadap hal-hal yang sudah ditetapkan dalam masyarakat, maka semakin besar kemampuan individu untuk dapat dianggap sebagai panutan masyarakat. Oleh sebab itu, semakin tinggi pula penerimaan masyarakat terhadap individu yang bersangkutan dan akan mendorong harga diri yang tinggi.
  4. Performansi individu yang sesuai dalam mencapai prestasi yang diharapkan. Apabila individu mengalami kegagalan, maka harga dirinya akan menjadi rendah. Sebaliknya, apabila performansi seseorang sesuai dengan tuntutan dan harapan, maka akan mendorong pembentukan harga diri yang tinggi
Kreitner dan Kinicki (dalam Suhron, 2017) mengungkap terdapat enam faktor yang membangun self-esteem, yaitu :
  1. Goal setting (merencanakan tujuan). Pada masa remaja dalam menentukan tujuan hidup yang ingin dicapai dibutuhkan usaha dan keinginan yang kuat (ambisi) untuk mencapainya khususnya dalam belajar dan meraih prestasi
  2. Risk taking (mengambil resiko). Berani untuk mengambil resiko untuk memenuhi dan mencapai tujuannya karena remaja tidak akan pernah mengetahui kemampuan diri sendiri jika tidak mau mengambil resiko
  3. Opening up (membuka diri). Jika remaja membuka diri dan berbagi rasa dengan orang lain maka akan mudah baginya untuk mengenali diri sendiri
  4. Wisechoice making (membuat keputusan yang bijaksana). Jika remaja dapat membuat keputusan yang benar maka akan meningkatkan self-confidence dan self-esteem
  5. Time sharing (berjalan sesuai dengan waktu). Jangan selalu memberikan tekanan dan paksaan pada diri sendiri untuk mendapatkan perubahan karena tidak mungkin perubahan bisa didapat secara langsung. Dalam hal ini remaja dapat bertukar pendapat dan berdiskusi untuk mendukung prestasi belajarnya
  6. Healing (penyembuhan). Penyembuhan dalam arti fisik dan mental dan hal itu bisa dilakukan dengan cara membuat komitmen dan bersyukur. Dalam hal ini remaja bersyukur dan memahami potensi yang dimiliki untuk menunjang prestasi belajarnya meskipun dalam meraih cita-citanya tidak semudah untuk mencapainya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi self-esteem

Menurut McLoed, Owens, & Powell (dalam Suhron, 2017), faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri seseorang adalah :
  1. Usia. Perkembangan self-esteem ketika seseorang memasuki masa anak-anak dan remaja, seseorang akan memperoleh harga diri mereka dari teman, orang tua dan guru pada saat mereka bersekolah
  2. Ras. Keanekaragaman budaya dan ras tertentu dapat mempengaruhi self-esteemnya untuk menjunjung tinggi rasnya
  3. Etnis. Dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat terdapat etnis tetentu yang menilai bahwa sukunya lebih tinggi derajatnya sehingga dapat mempengaruhi self-esteemnya
  4. Pubertas. Merupakan periode transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa ditandai munculnya karakteristik seks sekunder dan kemampuan reproduksi seksual yang dapat menimbulkan perasaan menarik sehingga mempenaruhi self-esteem
  5. Berat badan. Rangkaian perubahan berat badan yang paling jelas tampak pada masa remaja adalah perubahan fisik. Hormon-hormon baru diproduksi oleh kelenjar endokrin, dan membawa perubahan dalam ciri-ciri seks primer dan memunculkan ciri-ciri seks sekunder. Seorang individu lalu mulai terlihat berbeda dan sebagai konsekuensi dari hormon yang baru dalam penambahan atau penurunan berat badan, dia sendiri mulai merasa adanya perbedaan
  6. Jenis kelamin. Menunjukkan bahwa remaja pria akan menjaga harga dirinya untuk bersaing dan berkeinginan menjadi lebih baik dari remaja putri khususnya dalam mencapai prestasi belajar dikelas sehingga dapat mempengaruhi harga diri remaja tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa remaja putri mudah terkena gangguan citra diri dibandingkan dengan remaja putra.
Karakteristik individu dengan self-esteem yang tinggi dan rendah

Coopersmith (dalam Suhron, 2017) membagi karakteristik harga diri individu menjadi dua golongan, yaitu :
  1. Individu dengan harga diri yang tinggi
    1. Aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik
    2. Berhasil dalam bidang akademik dan menjalin hubungan sosial
    3. Dapat menerima kritik dengan baik
    4. Percaya pada persepsi dan reaksinya sendiri
    5. Tidak terpaku pada dirinya sendiri atau hanya memikirkan kesulitan sendiri
    6. Memiliki keyakinan diri, tidak didasarkan atas fantasi, karena mempunyai kemampuan, kecakapan dan kualitas diri yang tinggi
    7. Tidak terpengaruh oleh penilaian orang lain tentang kepribadian
    8. Lebih mudah menyesuaikan diri dengan suasana yang menyenangkan sehingga tingkat kecemasannya rendah dan memiliki ketahanan diri yang seimbang
  2. Individu dengan harga diri yang rendah
    1. Memiliki perasaan inferior
    2. Takut gagal dalam membina hubungan sosial
    3. Terlihat sebagai orang yang putus asa dan depresi
    4. Merasa diasingkan dan tidak diperhatikan
    5. Kurang dapat mengekspresikan diri
    6. Sangat tergantung pada lingkungan
    7. Tidak konsisten
    8. Secara pasif mengikuti lingkungan
    9. Menggunakan banyak taktik memperhatikan diri (defense mechanism)
    10. Mudah mengakui kesalahan

Friday, September 21, 2018

Faktor yang mempengaruhi Self Efficacy

Pengertian Self Efficacy

Ghufron dan Risnawita (2011) mengatakan self efficacy adalah hasil dari proses kognitif berupa keputusan, keyakinan, atau pengharapan tentang sejauh mana individu memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas atau tindakan tertentu yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Baron dan Byrne (dalam Ghufron dan Risnawita ,2011) mengatakan self efficacy adalah keyakinan seseorang akan kemampuan atau kompetensinya atas kinerja tugas yang diberikan, mencapai tujuan atau mengatasi sebuah hambatan. Bandura (dalam Feist dan Feist, 2010) self efficacy adalah keyakinaan seseorang dalam kemampuannya untuk melakukan suatu bentuk control terhadap keberfungsian orang itu sendiri dan kejadian dalam lingkungan. Efikasi diri adalah perasaan diri sendiri mengenai kemampuan untuk menguasai berbagai tantangan dan meraih berbagai tujuan (Papalia, Olds, Feldman, 2009).

Alwisol (2009) menyatakan bahwa self efficacy sebagai persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu, self efficacy berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan. Bandura mengatakan (Alwisol, 2009) Self efficacy adalah bagaimana orang bertingakah laku dalam situasi tertentu tergantung kepada resiprokal yang berhubungan dengan keyakinan bahwa dia mampu atau tidak mampu melakukan tindakan yang memuaskan.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa self efficacy adalah keyakinan terhadap diri sendiri untuk menghadapi pekerjaan, situasi maupun lingkungan disekitar kita dan menyelesaikan semua permasalahan yang berhubungan dengan hal-hal tersebut.

Sumber-Sumber Self Efficacy

Bandura (dalam Anwar, 2009) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efikasi diri pada diri individu antara lain:
  1. Budaya. Budaya mempengaruhi efikasi diri melalui nilai (value), kepercayaan (belief), dan proses pengaturan diri (self-regulatory process) yang berfungsi sebagai penilaian efikasi diri dan juga sebagai konsekuensi dari keyakinan akan efikasi diri.
  2. Gender. Perbedaan gender juga berpengaruh terhadap efikasi diri. Hal ini dapat dilihat dari penelitian Bandura (1997) yang menyatakan bahwa wanita lebih efikasinya yang tinggi dalam mengelola perannya. Wanita yang memiliki peran selain sebagai ibu rumah tangga, juga sebagai wanita karir akan memiliki efikasi diri yang tinggi dibandingkan dengan pria yang bekerja.
  3. Sifat dari tugas yang dihadapi. Derajat kompleksitas dari kesulitan tugas yang dihadapi oleh individu akan mempengaruhi penilaian individu terhadap kemampuan dirinya sendiri. Semakin kompleks suatu tugas yang dihadapi oleh individu maka akan semakin rendah individu tersebut menilai kemampuannya. Sebaliknya, jika individu dihadapkan pada tugas yang mudah dan sederhana maka akan semakin tinggi individu tersebut menilai kemampuannya.
  4. Insentif eksternal. Faktor lain yang dapat mempengaruhi efikasi diri individu adalah insentif yang diperolehnya. Bandura menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan efikasi diri adalah competent contingens incentive, yaitu insentif yang diberikan oleh orang lain yang merefleksikan keberhasilan seseorang.
  5. Status atau peran individu dalam lingkungan. Individu yang memiliki status yang lebih tinggi akan memperoleh derajat kontrol yang lebih besar sehingga efikasi diri yang dimilikinya juga tinggi. Sedangkan individu yang memiliki status yang lebih rendah akan memiliki kontrol yang lebih kecil sehingga efikasi diri yang dimilikinya juga rendah.
  6. Informasi tentang kemampuan diri. Individu akan memiliki efikasi diri tinggi, jika ia memperoleh informasi positif mengenai dirinya, sementara individu yang memiliki efikasi diri yang rendah, jika ia memperoleh informasi negatif mengenai dirinya.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efikasi diri pada diri individu antara lain budaya, gender, sifat dari tugas yang dihadapi, Insentif eksternal, status atau peran individu dalam lingkungan, informasi tentang kemampuan diri.

Aspek-aspek Self Efficacy

Corsini (dalam Verlitasari, 2014) menyatakan bahwa aspek-aspek self efficacy adalah sebagai berikut:
  1. Kognitif. Kemampuan seseorang memikirkan cara-cara uang digunakan dan merancang tindakan yang akan diharapkan. Asumsi yang timbul pada aspek kognitif ini adalah semakin efektif kemampuan seseorang dalam analisis berfikir dan dalam berlatih mengungkapkan ide-ide atau gagasan pribadi maka akan mendukung seseorang bertindak tepat untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Fungsi utama kognitif dalam diri seseroang adalah untuk memprediski kejadian sehari-hari yang akan berakibat pada masa depan.
  2. Motivasi. Kemampuan seseorang memotivasi diri melalui fikiranya untuk melakukan suatu tindakan dan keputusan dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Motivasi seseorang timbul dari pemikiran optimis dan dalam dirinya untuk mewujudkan tujuan yang diharapkan. Motivasi dalam self efficacy digunakan untuk memprediksi keberhasilan seseorang.
  3. Afeksi . Kemamapuan mengatasi emosi yang timbul pada diri sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Afeksi ditunjukan dalam mengontrol kecemasan dan perasaan depresif yang mengahalangi pola-pola pikir yang benar untuk mencapai tujuan.
  4. Seleksi. Kemampuan seseorang untuk menyeleksi tingkah laku lingkungan yang tepat sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Asumsi yang timbul pada aspek ini ketidakmampuan orang dlam melakukan seleksi, membuat orang tidak percaya diri, bingung dan mudah menyerah ketika menghadapi masalah dan situasi yang sulit.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek self efficacy terdiri dari aspek kognitif, motivasi, afeksi dan seleksi.

Dimensi-dimensi Self efficacy

Menurut Bandura (dalam Ghufron dan Risnawati, 2011) efikasi diri pada tiap individu akan berbeda antara satu individu dengan yang lainya berdasarkan tiga dimensi yaitu :
  1. Dimensi tingkat (Level). Dimensi ini berkaitan dengan derejat kesulitan tugas ketika dihadapkan pada tugas-tugas yang disusun menurut tingkat kesulitannya, maka efikasi diri individu mungkin akan terbatas pada tugas-tugas yang mudah, sedang, atau bahkan meliputi tugas-tugas yang sulit, sesuai dengan batas kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan pada masing-masing tingkat. Dimensi ini memiliki implikasi terhadap penilaian tingkah laku yang akan dicoba atau dihindari.
  2. Dimensi kekuatan (strenght). Dimensi ini berkaitan dengan tingkat kekuatan dari keyakinan atau pengharapan individu mengenai kemampuannya. Dimensi ini berkaitan langsung dengan dimensi level, yaitu makin tinggi taraf kesulitan tugas, makin lemah keyakinan yang dirasakan untuk menyelesaikannya.
  3. Dimensi generalisasi (generality). Dimensi ini berkaitan luas dengan luas bidang tingkah laku yang mana individu merasa yakin akan kemampuannya. Individu dapat merasa yakin dengan kemampuan dirinya. Apakah terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu atau pada serangkaian aktivitas dan situasi yang bervariasi.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek efikasi diri pada tiap individu akan berbeda antara satu individu dengan yang lainnya berdasarkan tiga dimensi yaitu dimensi tingkat (level), dimensi kekuatan (strenght), dimensi generalisasi (generality).

Faktor yang mempengaruhi Self Efficacy

Feist dan Feist (2010) mengatakan bahwa efikasi diri didapatkan, ditingkatkan, atau berkurang melalui salah satu atau kombinasi dari empat sumber yaitu :
  1. Pengalaman mengetahui sesuatu (Mastery Experience). Secara umum, performa yang berhasil akan meningkatkan ekspetasi mengenai kemampuan, kegagalan cendrung akan menurunkan hal tersebut. Pernyataan ini umumnya akan mempunyai enam dampak. Pertama, performa yang berhasil akan meningkatkan efikasi diri secara proporsional dengan kesulitan tugas tersebut. Kedua, tugas yang dapat diselesaikan dengan baik oleh diri sendiri akan lebih efektif dari pada yang diselesaikan dengan bantuan orang lain. Ketiga, kegagalan sangat mungkin untuk menurunkan efikasi saat mereka tahu bahwa mereka telah memberikan usaha terbaik mereka. keempat, kegagalan dalam kondisi rangsangan atau tekanan emosi yang tinggi tidak terlalu merugikan diri dibandingkan kegagalan dalam kondisi maksimal. Kelima, kegagalan sebelum mengukuhkan rasa menguasai sesuatu akan lebih berpengaruh buruk pada rasa efikasi diri dari pada kegagalan setelahnya. Keenam, kegagalan yang terjadi kadang-kadang mempunyai dampak yang sedikit terhadap efikasi diri, terutama pada mereka yang mempunyai ekspetasi yang tinggi terhadap kesuksesan.
  2. Modeling sosial. Efikasi diri meningkat saat kita mengobservasi pencapaian orang lain yang mempunyai kompetensi yang setara, namun akan berkurang saat kita melihat rekan sebaya kita yang gagal. Saat orang lain tersebut berbeda dengan diri kita, modeling sosial akan mempunyai efek yang sedikit dalam efikasi diri kita.
  3. Persuasi sosial. Persuasi dari orang lain dapat menigkatkan atau menurunkan efikasi diri, namun dampaknya cukup terbatas tetapi dibawah kondisi yang tepat. Meningkatkan efikasi diri melalui persuasi sosial, dapat menjadi efektif hanya bila kegiatan yang ingin didukung untuk dicoba berada dalam jangkauan prilaku seseroang. Persuasi sosial juga paling efektif saat dikombinasikan dengan performa yang sukses. Persuasi dapat meyakinkan seseorang untuk berusaha dalam satu kegiatan dan apabila performa yang dilakukan sukses, baik pencapaian tersebut maupun pengahragaan verbal yang mengikutinya akan meningkatkan efikasi diri dimasa depan.
  4. Kondisi fisik dan emosional. Sumber terakhir adalah kondisi fisiologis dan emosional dari seseorang. Emosi yang kuat biasanya akan mengurangi performa, saat seseorang mengalami ketakutan yang kuat, kecemasan akut, atau tingkat stres yang tinggi, kemungkinan akan mempunyai ekpetasi efikasi yang rendah.
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi efikasi diri adalah pengalaman menguasai sesuatu, modeling sosial, persuasi sosial dan kondisi fisik dan emosial.

Dimensi Self efficacy

Pengertian Self Efficacy

Ghufron dan Risnawita (2011) mengatakan self efficacy adalah hasil dari proses kognitif berupa keputusan, keyakinan, atau pengharapan tentang sejauh mana individu memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas atau tindakan tertentu yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Baron dan Byrne (dalam Ghufron dan Risnawita ,2011) mengatakan self efficacy adalah keyakinan seseorang akan kemampuan atau kompetensinya atas kinerja tugas yang diberikan, mencapai tujuan atau mengatasi sebuah hambatan. Bandura (dalam Feist dan Feist, 2010) self efficacy adalah keyakinaan seseorang dalam kemampuannya untuk melakukan suatu bentuk control terhadap keberfungsian orang itu sendiri dan kejadian dalam lingkungan. Efikasi diri adalah perasaan diri sendiri mengenai kemampuan untuk menguasai berbagai tantangan dan meraih berbagai tujuan (Papalia, Olds, Feldman, 2009).

Alwisol (2009) menyatakan bahwa self efficacy sebagai persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu, self efficacy berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan. Bandura mengatakan (Alwisol, 2009) Self efficacy adalah bagaimana orang bertingakah laku dalam situasi tertentu tergantung kepada resiprokal yang berhubungan dengan keyakinan bahwa dia mampu atau tidak mampu melakukan tindakan yang memuaskan.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa self efficacy adalah keyakinan terhadap diri sendiri untuk menghadapi pekerjaan, situasi maupun lingkungan disekitar kita dan menyelesaikan semua permasalahan yang berhubungan dengan hal-hal tersebut.

Sumber-Sumber Self Efficacy

Bandura (dalam Anwar, 2009) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efikasi diri pada diri individu antara lain:
  1. Budaya. Budaya mempengaruhi efikasi diri melalui nilai (value), kepercayaan (belief), dan proses pengaturan diri (self-regulatory process) yang berfungsi sebagai penilaian efikasi diri dan juga sebagai konsekuensi dari keyakinan akan efikasi diri.
  2. Gender. Perbedaan gender juga berpengaruh terhadap efikasi diri. Hal ini dapat dilihat dari penelitian Bandura (1997) yang menyatakan bahwa wanita lebih efikasinya yang tinggi dalam mengelola perannya. Wanita yang memiliki peran selain sebagai ibu rumah tangga, juga sebagai wanita karir akan memiliki efikasi diri yang tinggi dibandingkan dengan pria yang bekerja.
  3. Sifat dari tugas yang dihadapi. Derajat kompleksitas dari kesulitan tugas yang dihadapi oleh individu akan mempengaruhi penilaian individu terhadap kemampuan dirinya sendiri. Semakin kompleks suatu tugas yang dihadapi oleh individu maka akan semakin rendah individu tersebut menilai kemampuannya. Sebaliknya, jika individu dihadapkan pada tugas yang mudah dan sederhana maka akan semakin tinggi individu tersebut menilai kemampuannya.
  4. Insentif eksternal. Faktor lain yang dapat mempengaruhi efikasi diri individu adalah insentif yang diperolehnya. Bandura menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan efikasi diri adalah competent contingens incentive, yaitu insentif yang diberikan oleh orang lain yang merefleksikan keberhasilan seseorang.
  5. Status atau peran individu dalam lingkungan. Individu yang memiliki status yang lebih tinggi akan memperoleh derajat kontrol yang lebih besar sehingga efikasi diri yang dimilikinya juga tinggi. Sedangkan individu yang memiliki status yang lebih rendah akan memiliki kontrol yang lebih kecil sehingga efikasi diri yang dimilikinya juga rendah.
  6. Informasi tentang kemampuan diri. Individu akan memiliki efikasi diri tinggi, jika ia memperoleh informasi positif mengenai dirinya, sementara individu yang memiliki efikasi diri yang rendah, jika ia memperoleh informasi negatif mengenai dirinya.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efikasi diri pada diri individu antara lain budaya, gender, sifat dari tugas yang dihadapi, Insentif eksternal, status atau peran individu dalam lingkungan, informasi tentang kemampuan diri.

Aspek-aspek Self Efficacy

Corsini (dalam Verlitasari, 2014) menyatakan bahwa aspek-aspek self efficacy adalah sebagai berikut:
  1. Kognitif. Kemampuan seseorang memikirkan cara-cara uang digunakan dan merancang tindakan yang akan diharapkan. Asumsi yang timbul pada aspek kognitif ini adalah semakin efektif kemampuan seseorang dalam analisis berfikir dan dalam berlatih mengungkapkan ide-ide atau gagasan pribadi maka akan mendukung seseorang bertindak tepat untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Fungsi utama kognitif dalam diri seseroang adalah untuk memprediski kejadian sehari-hari yang akan berakibat pada masa depan.
  2. Motivasi. Kemampuan seseorang memotivasi diri melalui fikiranya untuk melakukan suatu tindakan dan keputusan dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Motivasi seseorang timbul dari pemikiran optimis dan dalam dirinya untuk mewujudkan tujuan yang diharapkan. Motivasi dalam self efficacy digunakan untuk memprediksi keberhasilan seseorang.
  3. Afeksi . Kemamapuan mengatasi emosi yang timbul pada diri sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Afeksi ditunjukan dalam mengontrol kecemasan dan perasaan depresif yang mengahalangi pola-pola pikir yang benar untuk mencapai tujuan.
  4. Seleksi. Kemampuan seseorang untuk menyeleksi tingkah laku lingkungan yang tepat sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Asumsi yang timbul pada aspek ini ketidakmampuan orang dlam melakukan seleksi, membuat orang tidak percaya diri, bingung dan mudah menyerah ketika menghadapi masalah dan situasi yang sulit.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek self efficacy terdiri dari aspek kognitif, motivasi, afeksi dan seleksi.

Dimensi-dimensi Self efficacy

Menurut Bandura (dalam Ghufron dan Risnawati, 2011) efikasi diri pada tiap individu akan berbeda antara satu individu dengan yang lainya berdasarkan tiga dimensi yaitu :
  1. Dimensi tingkat (Level). Dimensi ini berkaitan dengan derejat kesulitan tugas ketika dihadapkan pada tugas-tugas yang disusun menurut tingkat kesulitannya, maka efikasi diri individu mungkin akan terbatas pada tugas-tugas yang mudah, sedang, atau bahkan meliputi tugas-tugas yang sulit, sesuai dengan batas kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan pada masing-masing tingkat. Dimensi ini memiliki implikasi terhadap penilaian tingkah laku yang akan dicoba atau dihindari.
  2. Dimensi kekuatan (strenght). Dimensi ini berkaitan dengan tingkat kekuatan dari keyakinan atau pengharapan individu mengenai kemampuannya. Dimensi ini berkaitan langsung dengan dimensi level, yaitu makin tinggi taraf kesulitan tugas, makin lemah keyakinan yang dirasakan untuk menyelesaikannya.
  3. Dimensi generalisasi (generality). Dimensi ini berkaitan luas dengan luas bidang tingkah laku yang mana individu merasa yakin akan kemampuannya. Individu dapat merasa yakin dengan kemampuan dirinya. Apakah terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu atau pada serangkaian aktivitas dan situasi yang bervariasi.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek efikasi diri pada tiap individu akan berbeda antara satu individu dengan yang lainnya berdasarkan tiga dimensi yaitu dimensi tingkat (level), dimensi kekuatan (strenght), dimensi generalisasi (generality).

Faktor yang mempengaruhi Self Efficacy

Feist dan Feist (2010) mengatakan bahwa efikasi diri didapatkan, ditingkatkan, atau berkurang melalui salah satu atau kombinasi dari empat sumber yaitu :
  1. Pengalaman mengetahui sesuatu (Mastery Experience). Secara umum, performa yang berhasil akan meningkatkan ekspetasi mengenai kemampuan, kegagalan cendrung akan menurunkan hal tersebut. Pernyataan ini umumnya akan mempunyai enam dampak. Pertama, performa yang berhasil akan meningkatkan efikasi diri secara proporsional dengan kesulitan tugas tersebut. Kedua, tugas yang dapat diselesaikan dengan baik oleh diri sendiri akan lebih efektif dari pada yang diselesaikan dengan bantuan orang lain. Ketiga, kegagalan sangat mungkin untuk menurunkan efikasi saat mereka tahu bahwa mereka telah memberikan usaha terbaik mereka. keempat, kegagalan dalam kondisi rangsangan atau tekanan emosi yang tinggi tidak terlalu merugikan diri dibandingkan kegagalan dalam kondisi maksimal. Kelima, kegagalan sebelum mengukuhkan rasa menguasai sesuatu akan lebih berpengaruh buruk pada rasa efikasi diri dari pada kegagalan setelahnya. Keenam, kegagalan yang terjadi kadang-kadang mempunyai dampak yang sedikit terhadap efikasi diri, terutama pada mereka yang mempunyai ekspetasi yang tinggi terhadap kesuksesan.
  2. Modeling sosial. Efikasi diri meningkat saat kita mengobservasi pencapaian orang lain yang mempunyai kompetensi yang setara, namun akan berkurang saat kita melihat rekan sebaya kita yang gagal. Saat orang lain tersebut berbeda dengan diri kita, modeling sosial akan mempunyai efek yang sedikit dalam efikasi diri kita.
  3. Persuasi sosial. Persuasi dari orang lain dapat menigkatkan atau menurunkan efikasi diri, namun dampaknya cukup terbatas tetapi dibawah kondisi yang tepat. Meningkatkan efikasi diri melalui persuasi sosial, dapat menjadi efektif hanya bila kegiatan yang ingin didukung untuk dicoba berada dalam jangkauan prilaku seseroang. Persuasi sosial juga paling efektif saat dikombinasikan dengan performa yang sukses. Persuasi dapat meyakinkan seseorang untuk berusaha dalam satu kegiatan dan apabila performa yang dilakukan sukses, baik pencapaian tersebut maupun pengahragaan verbal yang mengikutinya akan meningkatkan efikasi diri dimasa depan.
  4. Kondisi fisik dan emosional. Sumber terakhir adalah kondisi fisiologis dan emosional dari seseorang. Emosi yang kuat biasanya akan mengurangi performa, saat seseorang mengalami ketakutan yang kuat, kecemasan akut, atau tingkat stres yang tinggi, kemungkinan akan mempunyai ekpetasi efikasi yang rendah.
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi efikasi diri adalah pengalaman menguasai sesuatu, modeling sosial, persuasi sosial dan kondisi fisik dan emosial.