Pengertian Ila’

Monday, June 29, 2020

Contoh Perilaku Adil


Akhlaq / Karakter Terpuji, Adil, Amanah Dan Mahabbah

1. Latar Belakang Masalah

Di dalam Al-Qur`an, Allah memaparkan dengan rinci tentang sifat, moralitas tertinggi, dan pola pikir khas orang-orang beriman. Perasaan takut kepada Allah yang menghunjam di dalam kalbu mereka, keyakinan mereka yang tak tertandingi dan upaya yang tak pernah goyah untuk mendapatkan ridha-Nya, kepercayaan yang mereka gantungkan kepada Allah, seperti juga keterikatan, keteguhan, ketergantungan, dan banyak lagi kualitas superior serupa, semuanya disuguhkan Al-Qur`an. Lebih jauh, di dalam Kitab-Nya, Allah menyanjung kualitas-kualitas moral semacam itu, seperti keadilan, kasih sayang, rendah hati, sederhana, keteguhan hati, penyerahan diri secara total kepada-Nya, serta menghindari ucapan tak berguna.

Pada bagian ini, akan kami perlihatkan sejumlah contoh perilaku yang layak mendapat penghargaan sesuai penilaian Allah. Akan tetapi, kami tidak menguraikan semua kualitas perilaku terpuji dari orang-orang beriman yang secara panjang lebar telah terteradalam Al-Qur`an. Kami hanya memfokuskan perhatian pada moralitas terpuji yang masih terselubung dengan segala keagungan-keagungannya yang terpendam.

2. Karakter Adil

Kata adil secara bahasa artinya sama berat, tidak berat sebelah, atau tidak memihak. Secara istilah, adil diartikan dengan sikap menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dengan demikian, adil tidak selalu berarti memberikan sesuatu kepada orang lain dengan jumlah sama persis.

Dalam Al-Quran, adil juga mengandung banyak pengertian sesuai konteks ayat-ayatnya. Adil kadang diartikan dengan seimbang, benar, tebusan, atau memberikan segala sesuatu kepada yang berhak. Contohnya pengertian adil yang dijelaskan dalam firman Allah yang artinya.

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu... (Q.S. An-Nisa: 135)

Keadilan pada ayat di atas mengandung pengertian bersikap seimbang/jujur saat menjadi saksi, baik kepada diri sendiri, orang tua, maupun kerabat kita.

Pengertian adil ini berbeda dengan yang dijelaskan dalam ayat yang artinya :

"Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan bukti-bukti yang nyata dan kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil..." (Q.S. al-Hadid: 25).

Keadilan dalam ayat ini mengandung pengertian memberikan segala sesuatu kepada yang berhak, baik pribadi atau golongan, tanpa melebihi dan mengurangi.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, menunjukkan bahwa keadilan dapat diukur menggunakan hati nurani dan rasio maupun fisik dan indra. Oleh karena itu, dalam bahasa Arab, adil dapat dibedakan menjadi dua istilah, yaitu al-'adl dan al-'idl. Jika al-'adl merupakan keadilan yang ukurannya didasarkan pada kalbu ataupun rasio, al-'idl merupakan keadilan yang dapat diukur dengan fisik ataupun panca indra, seperti timbangan maupun hitungan. Dengan demikian, keadilan tidak hanya diukur dengan besarnya bagian materi yang sama rata, tetapi sesuatu yang bersifat abstrak yang hanya dirasakan dengan kelapangan hati dan pikiran.

Keadilan merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang sangat penting. Dengan demikian, dalam menjalani hidup kita harus menjunjung tinggi keadilan. Selalu berusaha bersikap adil merupakan salah satu ciri-ciri orang yang takwa. Dalam Surah al-Ma-'idah ayat 8 dijelaskan tentang keutamaan bersikap adil yang artinya:

"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadailan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha teliti apa yang kamu kerjakan." (Q.S. Al-Ma'idah: 8).

Begitu dekatnya keterkaitan antara adil dan takwa, jika kita hendak memiliki sifat takwa salah satunya dengan menjunjung keadilan. Menjunjung nilai-nilai keadilan dalam segala aspek kehidupan sangat penting. Jika kita menerapkan keadilan dalam menyelesaikan segala sesuatu akan membawa kebaikan dan kepuasan bersama. Sebaliknya, jika kita berlaku tidak adil, pasti menyebabkan terjadinya kerusakan dan kerugian bersama.

Contoh Perilaku Adil

Berlaku adil dapat kita terapkan dalam berbagai aktivitas sehari-hari. Contoh berlaku adil dapat kita tunjukkan, baik kepada diri sendiri, orang lain, maupun masyarakat luas :

a. Memenuhi Hak Allah, Diri Sendiri, dan Orang lain

Contoh sikap adil adalah proporsional dalam menjalani hidup. Misalnya tidak hanya menghabiskan waktunya untuk beribadah kepada Allah atau membantu orang lain, tetapi juga memperhatikan hak dirinya sendiri.

Dalam ajaran Islam setiap muslim tetap diwajibkan untuk berlaku adil terhadap diri sendiri, yaitu dengan menyeimbangkan antara hak Tuhan, dirinya, dan orang lain. Sebagaimana pesan Rasulullah saw. kepada Abdullah bin Amr ketika ia terus-menerus puasa pada siang hari dan salat pada malam hari dalam hadis yang artinya sebagai berikut.

"Sesungguhnya untuk tubuhmu ada hak (untuk beristirahat), dan sesungguhnya bagi kedua matamu punya hak, dan kepada istrimu punya hak, dan untuk orang yang menziarahi kamu juga mempunyai hak..." (H.R.Muttafaq'Alaih)

b. Tidak Pilih Kasih

Contoh perilaku adil ditunjukkan dengan tidak bersikap pilih kasih kepada anggota keluarga kita, seperti ayah, ibu, anak, atau kerabatnya. Hal ini sebagaimana hadis yang disampaikan Rasulullah saw. seperti diceritakan oleh Nu'man bin Basyir r.a. yang artinya sebagai berikut.

..."Bertakwallah kamu kepada Allah dan bersikap adillah terhadap anak-anakmu..." (H .R. Muttafaq 'Alaih).

c. Menjunjung Kebenaran

Islam mengajarkan kepada kita agar berlaku adil kepada semua manusia. Sikap adil perlu ditujukan kepada semua orang, baik kepada sesama muslim atau orang kafir yang paling dibenci sekali pun. Setiap orang berhak mendapatkan perlakuan yang adil. Dalam menjunjung keadilan kepada orang lain, hendaknya tidak boleh luntur meskipun terhadap orang yang kita cintai. Demikian juga terhadap orang yang kita benci, tetap harus berlaku adil.

Berperilaku Adil dalam Hidup Sehari-hari

Perilaku adil dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, misalnya dalam bidang hukum, sosial, dan ekonomi. Perhatikan pembahasan berikut.

a. Berlaku Adil dalam Bidang Hukum

Adil dalam bidang hukum contohnya, saat memberikan kesaksian. Seseorang tidak boleh memberi kesaksian, kecuali dengan sesuatu yang diketahui. Ia tidak boleh menambah, mengurangi, mengubah, atau mengganti kesaksiannya. Untuk menegakkan keadilan di bidang hukum, kita tidak boleh pandang bulu. Adil di depan hukum berlaku kepada siapa pun, baik yang kaya, miskin, berpendidikan, petani, pedagang, aparat pemerintah, dan semua orang.

Tidak adil kepada orang-orang lemah hukumnya berdosa. Rasulullah saw. pernah menyampaikan wasiat kepada Mu'az yang artinya: "Hati-hatilah terhadap doa orang yang dianiaya karena tidak ada hijab (halangan) antara doa itu dengan Allah." (H.R. Muttafaqu 'Alaih). Meskipun tampaknya orang yang lemah tidak akan melawan jika kita sikapi tidak adil, tetapi doa orang tersebut makbul.

Dalam upaya menegakkan keadilan di depan hukum, kita bisa mengambil teladan dari Rasulullah saw. Beliau pernah bersumpah di hadapan umatnya sebagaimana diceritakan Usamah kepada Aisyah r.a. dalam hadis yang artinya sebagai berikut.

"Jika sekiranya Fatimah binti Muhammad saw. telah terbukti mencuri maka aku sendiri yang akan memotong tangannya."

Demikian, ketegasan yang pernah diungkapkan oleh Rasulullah dalam menegakkan keadilan di bidang hukum.

b. Berperilaku Adil dalam Kehidupan Sosial

Kita dalam menjalani hidup selalu berhubungan dengan orang lain. Perperilaku adil dalam kehidupan sosial sangat penting kita terapkan. Misalnya ditunjukkan dengan bersikap menghormati, menghargai, dan membantu semua orang tanpa melihat latar belakang dirinya. Keadilan sosial juga dapat ditunjukkan dengan memberi kesempatan yang sama kepada semua orang dalam berusaha dan berprestasi. Oleh karena itu, hak-hak orang lemah harus tetap dilindungi tanpa harus mendahulukan mereka yang memiliki status sosial yang tinggi.

c. Berperilaku Adil dalam Bidang Ekonomi

Keadilan ekonomi dapat ditunjukkan dalam hal kepemilikan harta dan kekayaan. Menjunjung keadilan dalam ekonomi berarti berupaya menyeimbangkan sisi-sisi perbedaan yang ada pada masyarakat untuk mendapatkan hak-hak ekonominya. Misalnya, berusaha membatasi praktik monopoli perdagangan, melindungi orang yang berekonomi lemah, mengelola zakat, dan mengentaskan kemiskinan.

3. Karakter Amanah

Amanah mempunyai arti khusus numum. Pengertian amanah yang khsusus adalah pengembalian harta benda atau yang lain nya kepada orang yang menitipkan atau mempercayakan benda tersebut. Orang yang diberikepercayaan harus memelihara dan bertanggungjawab terhadap barang itu serta tidak berhak bertindak terhadap barang tersebut. Jika pemilik barang tersebut meminta kembali barang nya ia harus segera mengembalikannya. Adapun amanah dalam arti umum lebih luas dari pada yang khusus.

Yang termasuk dalam pengertian umum adalah menyembunyikan rahasia, ikhlas dalam memberikan nasihat kepada orang yang memintanya, dan benar-benar menyampaikan sesuatu yang diatugaskan untuk menyampaikannya.

Amanah artinya benar-benar bisa dipercaya. Jika satu urusan diserahkan kepadanya, niscaya orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah Nabi Muhammad SAW dijuluki oleh penduduk Mekkah dengan gelar “Al Amin” yang artinya terpercaya jauh sebelum beliau diangkat jadi Nabi. Apa pun yang beliau ucapkan, penduduk Mekkah mempercayainya karena beliau bukanlah orang yang pembohong.

اُبَلِّغُكُمْ رِسٰلٰتِ رَبِّيْ وَ اَنَا لَكُمْ نَاصِحٌ اَمِيْنَ

“Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu.”(Q.S, Al A'raaf: 68)

Sifat amanah Rasulullah Memberi bukti bahwa beliau adalah orang yang dapat dipercaya, beliau mampu memelihara kepercayaan dengan merahasiakan sesuatu yang harus dirahasiakan dan sebaliknya selalu mampu menyampaikan sesuatu yang seharusnya disampaikan.

Sesuatu yang harus disampaikan bukan saja tidak ditahan-tahan, tetapi juga tidak akan diubah, ditambah atau dikurangi. Demikianlah kenyataannya bahwa setiap firman selalu disampaikan Nabi sebagaimana difirmankan kepada beliau. Dalam peperangan beliau tidak pernah mangurangi harta rampasan untuk kepentingan sendiri, tidak pernah menyebarkan aib seseorang yang datang meminta nasihat dan petunjuknya dalam menyelesaikannya dan lain-lain. Sifat amanah ini berarti juga jujur dalam menunaikan tugas-tugas kerasulan, dengan tidak menutup-nutupi wahyu yang diturunkan, Artinya Nabi tidak sekedar menyampaikan yang menguntungkan dan tidak menyampaikan yang merugikan diri beliau sendiri.

Contoh yang kongkrit dari riwayat kehidupan nabi Muhammad SAW, yakni Kemiskinan yang beliau alami adalah sebagai bukti bahwa beliau benar-benar hanya memikirkan tugasnya untuk berdakwah (mendidik) umatnya. Beliau tidak pernah takut kemiskinan, karena semenjak menjadi Rasul keseluruhan hidupnya hanya untuk menyebarkan syiar Islam yang telah menjadi amanahnya. Maka mustahil Nabi itu khianat terhadap orang yang memberinya amanah. Ketika Nabi Muhammad SAW ditawari kerajaan, harta, wanita oleh kaum Quraisy agar beliau meninggalkan tugas ilahinya menyiarkan agama Islam, beliau menjawab :

”Demi Allah…wahai paman, seandainya mereka dapat meletakkan matahari di tangan kanan ku dan bulan di tangan kiri ku agar aku meninggalkan tugas suciku, maka aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkan (Islam) atau aku hancur karena-Nya”.

Meski kaum kafir Quraisy mengancam membunuh Nabi, namun Nabi tidak gentar dan tetap menjalankan amanah yang dia terima.

Dalam al qur’an dikatakan mengenai amanah yang menjadi sifat nabi yaitu dalam surah Al A’raaf :68

“Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu.”

Mustahil Nabi itu khianat terhadap orang yang memberinya amanah.

Ketika Nabi Muhammad SAW ditawari kerajaan, harta, wanita oleh kaum Quraisy agar beliau meninggalkan tugas ilahinya menyiarkan agama Islam, beliau menjawab:

Demi Allah…wahai paman, seandainya mereka dapat meletakkan matahari di tangan kanan ku dan bulan di tangan kiri ku agar aku meninggalkan tugas suci ku, maka aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkan (Islam) atau aku hancur karena-Nya

Meski kaum kafir Quraisy mengancam membunuh Nabi, namun Nabi tidak gentar dan tetap menjalankan amanah yang dia terima. Seorang Muslim harusnya bersikap amanah seperti Nabi.

4. Karakter Mahabbah

Istilah mahabbah berasal dari kata "ahabba, yuhibbu, mahabbatan" yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam.

Mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk kedalam diri yang mencintai. Al mahabbah dapat pula berarti Al Waduud yakni yang sangat kasih atau penyayang.Dalam kajian tasawuf, mahabbah berarti mencintai Allah dan mengandung arti patuh kepada-Nya dan membenci sikap yang melawan kepada-Nya, mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Allah SWT serta menyerahkan seluruh diri kepada-nya.

Dalam kajian tasawuf arti mahabbah sangat mendalam, dimana bagi siapun yang mampu mencapainya maka ia akan dimuliakan oleh Allah Ta’ala yaitu mahabbah yang berarti mencintai Allah yang didalamnya mengandung arti patuh kepada-Nya dan membenci sikap yang melawan kepada-Nya, mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Allah SWT serta menyerahkan seluruh diri kepada-Nya.

Tujuan mahabbah adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dirasakan oleh jiwa.Selain itu juga mahabbah merupakan hal keadaan mental seperti senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Mahabbah berlainan dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi bagi para sufi dalam perjalanan mendekatkan diri pada Allah SWT.

Al mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik dalam kedudukan maupun pengertiannya. Ma’rifah adalah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (alQalb), maka mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta(roh). Rasa cinta itu tumbuh karena pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan sudah sangat jelas mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai.Oleh karena itu, menurut Al Ghazali mahabbah itu manifestasi dari ma’rifah kepada Tuhan.Dengan demikian kedudukan mahabbah lebih tinggi dari ma’rifah.

Amalan Hikmah Mahabbah (pengasihan) adalah amalan hikmah yang bertujuan untuk memunculkan perasaan cinta hati seseorang. Anda akan mendapatkan pengasihan atau cinta dari orang lain. Bisa berarti bertujuan untuk mendapatkan pacar, jodoh, pasangan idaman, menjaga keharmonisan hubungan dengan keluarga, pasangan, relasi kerja atau bisa juga untuk mendapatkan kasih sayang dari bos / atasan / pimpinan anda.

Amalan Hikmah Mahabbah bisa juga untuk mengatasi masalah cinta seperti perselingkuhan, mengembalikan cinta pasangan yang bosan dengan Anda, mengunci hati suami/istri agar hanya mencintai Anda seumur hidup dan mengatasi masalah cinta lainnya.InsyaAllah, seberat apapun masalah cinta yang Anda hadapi, bisa terselesaikan asalkan Anda punya niat baik.

Perlu ditegaskan bahwa Amalan Hikmah Mahabbah merupakan amalan yang aman dan halal sesuai syariat Islam. Mahabbah sangat penting untuk Anda miliki karena pada dasarnya ilmu ini adalah untuk kebaikan.

“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”( QS Yasin :36)

Untuk masalah cinta dan mendapatkan jodoh, dengan Amalan Hikmah Mahabbah maka cukup Anda tidak perlu sakit hati lagi. Anda bisa mendapatkan dan mempertahankan cinta dari pria atau wanita yang Anda cintai dengan segera. Untuk Anda yang letih dengan pengejaran, penolakan atau pemutusan sepihak. Atau Anda ingin memiliki pacar atau pasangan hidup sesuai harapan Anda. Insya Allah dengan mengamalkan Amalan Hikmah Mahabbah ini dapat membantu anda.

Untuk ketentraman keluarga, dengan Amalan Hikmah Mahabbah, maka dalam keluarga Anda tidak akan ada perselisihan dan pertengkaran yang membuat keluarga goyah. Keluarga akan tentram, rukun harmonis. Untuk Anda yang sering berkonflik dengan saudara, suami, istri, mertua atau ipar Anda.Atau didalam keluarga besar Anda ada perselisihan dari yang kecil sampai yang (sedikit) besar. Insya Allah dengan mengamalkan Amalan Hikmah Mahabbah ini dapat membantu anda.

Manfaat Amalan Hikmah Mahabbah ini, antara lain :
  1. Untuk pengasihan, daya tarik, penakluk segala hati orang, dan kewibawaan atau kharismatik
  2. Mempunyai energi secara halus untuk menaklukkan siapapun dengan energi pengasih (daya tarik) serta ia menjadi orang yang berwibawa dan dihormati banyak orang
  3. Amalan Hikmah Mahabbah sebagai ikhtiar batin untuk menjaga cinta kasih Anda
  4. Mendapatkan berkah yang menjaga, memelihara cinta serta persahabatan Anda dengan orang yang Anda sayangi atau cintai. Insya Allah atas rahmat dari Allah SWT cinta alami akan menyatu dan bersemi sepanjang masa hidup Anda
  5. Amalan Hikmah Mahabbah daya tarik nya dalam menaklukkan hati luar biasa
  6. Keluarga menjadi rukun harmonis, tentram. Rumah tangga menjadi damai, rezeki lancar serta ibadah kepada Allah SWT tenang. Memperbaiki keturunan menjadi soleh solekhah
  7. Mengharmoniskan hubungan sosial dengan orang lain, misalnya tetangga, teman kerja, orang tua atau mertua pun insya Allah akan mendapatkan keberkahannya juga menjadi rukun, tentram dalam ridho Allah SWT
  8. Kehidupan keluarga atau rumah tangga Anda menjadi sakinah mawaddah warohmah. Semua orang yang berumah tangga pastinya akan sangat ingin bisa menikmati hidup berbahagia yaitu rumah tangga sakinah mawaddah warohmah
  9. Kedamaian hati, kebahagiaan serta kesejahteraan di dalam rumah tangga sangat diidam-idamkan semua orang. Tercapainya cita-cita bersama suami atau istri serta adanya keturunan yang baik, dan hidup tentram serta berkecukupan.
5. Kesimpulan

Kata adil secara bahasa artinya sama berat, tidak berat sebelah, atau tidak memihak. Secara istilah, adil diartikan dengan sikap menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dengan demikian, adil tidak selalu berarti memberikan sesuatu kepada orang lain dengan jumlah sama persis.

Amanah mempunyai arti khusus numum. Pengertian amanah yang khsusus adalah pengembalian harta benda atau yang lain nya kepada orang yang menitipkan atau mempercayakan benda tersebut. Orang yang diberikepercayaan harus memelihara dan bertanggungjawab terhadap barang itu serta tidak berhak bertindak terhadap barang tersebut. Jika pemilik barang tersebut meminta kembali barang nya ia harus segera mengembalikannya. Adapun amanah dalam arti umum lebih luas dari pada yang khusus.

Mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk kedalam diri yang mencintai. Al mahabbah dapat pula berarti Al Waduud yakni yang sangat kasih atau penyayang.Dalam kajian tasawuf, mahabbah berarti mencintai Allah dan mengandung arti patuh kepada-Nya dan membenci sikap yang melawan kepada-Nya, mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Allah SWT serta menyerahkan seluruh diri kepada-nya.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
  • Simuh, Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996
  • Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Manajemen Syariah; Sebuah Kajian Historis dan Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafido Persada, 2006
  • Harun Nasution, Filsafat Dan Mistisme Dalam Islam,Jakarta:Bulan Bintang,1999
  • Amin Syukur,Tasawuf Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
  • Sholihin, Dr.M.Ag.,Akhlak Tasawuf, Nuansa,Bandung, 2005
  • Mustafa, Drs., Akhlak Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 1999
  • Http///Adil Dalam Kehidupan.Com,28-02-2018
  • Http/// Prilaku Adil, 28-02-2018

Karakter Adil


Akhlaq / Karakter Terpuji, Adil, Amanah Dan Mahabbah

1. Latar Belakang Masalah

Di dalam Al-Qur`an, Allah memaparkan dengan rinci tentang sifat, moralitas tertinggi, dan pola pikir khas orang-orang beriman. Perasaan takut kepada Allah yang menghunjam di dalam kalbu mereka, keyakinan mereka yang tak tertandingi dan upaya yang tak pernah goyah untuk mendapatkan ridha-Nya, kepercayaan yang mereka gantungkan kepada Allah, seperti juga keterikatan, keteguhan, ketergantungan, dan banyak lagi kualitas superior serupa, semuanya disuguhkan Al-Qur`an. Lebih jauh, di dalam Kitab-Nya, Allah menyanjung kualitas-kualitas moral semacam itu, seperti keadilan, kasih sayang, rendah hati, sederhana, keteguhan hati, penyerahan diri secara total kepada-Nya, serta menghindari ucapan tak berguna.

Pada bagian ini, akan kami perlihatkan sejumlah contoh perilaku yang layak mendapat penghargaan sesuai penilaian Allah. Akan tetapi, kami tidak menguraikan semua kualitas perilaku terpuji dari orang-orang beriman yang secara panjang lebar telah terteradalam Al-Qur`an. Kami hanya memfokuskan perhatian pada moralitas terpuji yang masih terselubung dengan segala keagungan-keagungannya yang terpendam.

2. Karakter Adil

Kata adil secara bahasa artinya sama berat, tidak berat sebelah, atau tidak memihak. Secara istilah, adil diartikan dengan sikap menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dengan demikian, adil tidak selalu berarti memberikan sesuatu kepada orang lain dengan jumlah sama persis.

Dalam Al-Quran, adil juga mengandung banyak pengertian sesuai konteks ayat-ayatnya. Adil kadang diartikan dengan seimbang, benar, tebusan, atau memberikan segala sesuatu kepada yang berhak. Contohnya pengertian adil yang dijelaskan dalam firman Allah yang artinya.

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu... (Q.S. An-Nisa: 135)

Keadilan pada ayat di atas mengandung pengertian bersikap seimbang/jujur saat menjadi saksi, baik kepada diri sendiri, orang tua, maupun kerabat kita.

Pengertian adil ini berbeda dengan yang dijelaskan dalam ayat yang artinya :

"Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan bukti-bukti yang nyata dan kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil..." (Q.S. al-Hadid: 25).

Keadilan dalam ayat ini mengandung pengertian memberikan segala sesuatu kepada yang berhak, baik pribadi atau golongan, tanpa melebihi dan mengurangi.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, menunjukkan bahwa keadilan dapat diukur menggunakan hati nurani dan rasio maupun fisik dan indra. Oleh karena itu, dalam bahasa Arab, adil dapat dibedakan menjadi dua istilah, yaitu al-'adl dan al-'idl. Jika al-'adl merupakan keadilan yang ukurannya didasarkan pada kalbu ataupun rasio, al-'idl merupakan keadilan yang dapat diukur dengan fisik ataupun panca indra, seperti timbangan maupun hitungan. Dengan demikian, keadilan tidak hanya diukur dengan besarnya bagian materi yang sama rata, tetapi sesuatu yang bersifat abstrak yang hanya dirasakan dengan kelapangan hati dan pikiran.

Keadilan merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang sangat penting. Dengan demikian, dalam menjalani hidup kita harus menjunjung tinggi keadilan. Selalu berusaha bersikap adil merupakan salah satu ciri-ciri orang yang takwa. Dalam Surah al-Ma-'idah ayat 8 dijelaskan tentang keutamaan bersikap adil yang artinya:

"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadailan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha teliti apa yang kamu kerjakan." (Q.S. Al-Ma'idah: 8).

Begitu dekatnya keterkaitan antara adil dan takwa, jika kita hendak memiliki sifat takwa salah satunya dengan menjunjung keadilan. Menjunjung nilai-nilai keadilan dalam segala aspek kehidupan sangat penting. Jika kita menerapkan keadilan dalam menyelesaikan segala sesuatu akan membawa kebaikan dan kepuasan bersama. Sebaliknya, jika kita berlaku tidak adil, pasti menyebabkan terjadinya kerusakan dan kerugian bersama.

Contoh Perilaku Adil

Berlaku adil dapat kita terapkan dalam berbagai aktivitas sehari-hari. Contoh berlaku adil dapat kita tunjukkan, baik kepada diri sendiri, orang lain, maupun masyarakat luas :

a. Memenuhi Hak Allah, Diri Sendiri, dan Orang lain

Contoh sikap adil adalah proporsional dalam menjalani hidup. Misalnya tidak hanya menghabiskan waktunya untuk beribadah kepada Allah atau membantu orang lain, tetapi juga memperhatikan hak dirinya sendiri.

Dalam ajaran Islam setiap muslim tetap diwajibkan untuk berlaku adil terhadap diri sendiri, yaitu dengan menyeimbangkan antara hak Tuhan, dirinya, dan orang lain. Sebagaimana pesan Rasulullah saw. kepada Abdullah bin Amr ketika ia terus-menerus puasa pada siang hari dan salat pada malam hari dalam hadis yang artinya sebagai berikut.

"Sesungguhnya untuk tubuhmu ada hak (untuk beristirahat), dan sesungguhnya bagi kedua matamu punya hak, dan kepada istrimu punya hak, dan untuk orang yang menziarahi kamu juga mempunyai hak..." (H.R.Muttafaq'Alaih)

b. Tidak Pilih Kasih

Contoh perilaku adil ditunjukkan dengan tidak bersikap pilih kasih kepada anggota keluarga kita, seperti ayah, ibu, anak, atau kerabatnya. Hal ini sebagaimana hadis yang disampaikan Rasulullah saw. seperti diceritakan oleh Nu'man bin Basyir r.a. yang artinya sebagai berikut.

..."Bertakwallah kamu kepada Allah dan bersikap adillah terhadap anak-anakmu..." (H .R. Muttafaq 'Alaih).

c. Menjunjung Kebenaran

Islam mengajarkan kepada kita agar berlaku adil kepada semua manusia. Sikap adil perlu ditujukan kepada semua orang, baik kepada sesama muslim atau orang kafir yang paling dibenci sekali pun. Setiap orang berhak mendapatkan perlakuan yang adil. Dalam menjunjung keadilan kepada orang lain, hendaknya tidak boleh luntur meskipun terhadap orang yang kita cintai. Demikian juga terhadap orang yang kita benci, tetap harus berlaku adil.

Berperilaku Adil dalam Hidup Sehari-hari

Perilaku adil dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, misalnya dalam bidang hukum, sosial, dan ekonomi. Perhatikan pembahasan berikut.

a. Berlaku Adil dalam Bidang Hukum

Adil dalam bidang hukum contohnya, saat memberikan kesaksian. Seseorang tidak boleh memberi kesaksian, kecuali dengan sesuatu yang diketahui. Ia tidak boleh menambah, mengurangi, mengubah, atau mengganti kesaksiannya. Untuk menegakkan keadilan di bidang hukum, kita tidak boleh pandang bulu. Adil di depan hukum berlaku kepada siapa pun, baik yang kaya, miskin, berpendidikan, petani, pedagang, aparat pemerintah, dan semua orang.

Tidak adil kepada orang-orang lemah hukumnya berdosa. Rasulullah saw. pernah menyampaikan wasiat kepada Mu'az yang artinya: "Hati-hatilah terhadap doa orang yang dianiaya karena tidak ada hijab (halangan) antara doa itu dengan Allah." (H.R. Muttafaqu 'Alaih). Meskipun tampaknya orang yang lemah tidak akan melawan jika kita sikapi tidak adil, tetapi doa orang tersebut makbul.

Dalam upaya menegakkan keadilan di depan hukum, kita bisa mengambil teladan dari Rasulullah saw. Beliau pernah bersumpah di hadapan umatnya sebagaimana diceritakan Usamah kepada Aisyah r.a. dalam hadis yang artinya sebagai berikut.

"Jika sekiranya Fatimah binti Muhammad saw. telah terbukti mencuri maka aku sendiri yang akan memotong tangannya."

Demikian, ketegasan yang pernah diungkapkan oleh Rasulullah dalam menegakkan keadilan di bidang hukum.

b. Berperilaku Adil dalam Kehidupan Sosial

Kita dalam menjalani hidup selalu berhubungan dengan orang lain. Perperilaku adil dalam kehidupan sosial sangat penting kita terapkan. Misalnya ditunjukkan dengan bersikap menghormati, menghargai, dan membantu semua orang tanpa melihat latar belakang dirinya. Keadilan sosial juga dapat ditunjukkan dengan memberi kesempatan yang sama kepada semua orang dalam berusaha dan berprestasi. Oleh karena itu, hak-hak orang lemah harus tetap dilindungi tanpa harus mendahulukan mereka yang memiliki status sosial yang tinggi.

c. Berperilaku Adil dalam Bidang Ekonomi

Keadilan ekonomi dapat ditunjukkan dalam hal kepemilikan harta dan kekayaan. Menjunjung keadilan dalam ekonomi berarti berupaya menyeimbangkan sisi-sisi perbedaan yang ada pada masyarakat untuk mendapatkan hak-hak ekonominya. Misalnya, berusaha membatasi praktik monopoli perdagangan, melindungi orang yang berekonomi lemah, mengelola zakat, dan mengentaskan kemiskinan.

3. Karakter Amanah

Amanah mempunyai arti khusus numum. Pengertian amanah yang khsusus adalah pengembalian harta benda atau yang lain nya kepada orang yang menitipkan atau mempercayakan benda tersebut. Orang yang diberikepercayaan harus memelihara dan bertanggungjawab terhadap barang itu serta tidak berhak bertindak terhadap barang tersebut. Jika pemilik barang tersebut meminta kembali barang nya ia harus segera mengembalikannya. Adapun amanah dalam arti umum lebih luas dari pada yang khusus.

Yang termasuk dalam pengertian umum adalah menyembunyikan rahasia, ikhlas dalam memberikan nasihat kepada orang yang memintanya, dan benar-benar menyampaikan sesuatu yang diatugaskan untuk menyampaikannya.

Amanah artinya benar-benar bisa dipercaya. Jika satu urusan diserahkan kepadanya, niscaya orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah Nabi Muhammad SAW dijuluki oleh penduduk Mekkah dengan gelar “Al Amin” yang artinya terpercaya jauh sebelum beliau diangkat jadi Nabi. Apa pun yang beliau ucapkan, penduduk Mekkah mempercayainya karena beliau bukanlah orang yang pembohong.

اُبَلِّغُكُمْ رِسٰلٰتِ رَبِّيْ وَ اَنَا لَكُمْ نَاصِحٌ اَمِيْنَ

“Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu.”(Q.S, Al A'raaf: 68)

Sifat amanah Rasulullah Memberi bukti bahwa beliau adalah orang yang dapat dipercaya, beliau mampu memelihara kepercayaan dengan merahasiakan sesuatu yang harus dirahasiakan dan sebaliknya selalu mampu menyampaikan sesuatu yang seharusnya disampaikan.

Sesuatu yang harus disampaikan bukan saja tidak ditahan-tahan, tetapi juga tidak akan diubah, ditambah atau dikurangi. Demikianlah kenyataannya bahwa setiap firman selalu disampaikan Nabi sebagaimana difirmankan kepada beliau. Dalam peperangan beliau tidak pernah mangurangi harta rampasan untuk kepentingan sendiri, tidak pernah menyebarkan aib seseorang yang datang meminta nasihat dan petunjuknya dalam menyelesaikannya dan lain-lain. Sifat amanah ini berarti juga jujur dalam menunaikan tugas-tugas kerasulan, dengan tidak menutup-nutupi wahyu yang diturunkan, Artinya Nabi tidak sekedar menyampaikan yang menguntungkan dan tidak menyampaikan yang merugikan diri beliau sendiri.

Contoh yang kongkrit dari riwayat kehidupan nabi Muhammad SAW, yakni Kemiskinan yang beliau alami adalah sebagai bukti bahwa beliau benar-benar hanya memikirkan tugasnya untuk berdakwah (mendidik) umatnya. Beliau tidak pernah takut kemiskinan, karena semenjak menjadi Rasul keseluruhan hidupnya hanya untuk menyebarkan syiar Islam yang telah menjadi amanahnya. Maka mustahil Nabi itu khianat terhadap orang yang memberinya amanah. Ketika Nabi Muhammad SAW ditawari kerajaan, harta, wanita oleh kaum Quraisy agar beliau meninggalkan tugas ilahinya menyiarkan agama Islam, beliau menjawab :

”Demi Allah…wahai paman, seandainya mereka dapat meletakkan matahari di tangan kanan ku dan bulan di tangan kiri ku agar aku meninggalkan tugas suciku, maka aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkan (Islam) atau aku hancur karena-Nya”.

Meski kaum kafir Quraisy mengancam membunuh Nabi, namun Nabi tidak gentar dan tetap menjalankan amanah yang dia terima.

Dalam al qur’an dikatakan mengenai amanah yang menjadi sifat nabi yaitu dalam surah Al A’raaf :68

“Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu.”

Mustahil Nabi itu khianat terhadap orang yang memberinya amanah.

Ketika Nabi Muhammad SAW ditawari kerajaan, harta, wanita oleh kaum Quraisy agar beliau meninggalkan tugas ilahinya menyiarkan agama Islam, beliau menjawab:

Demi Allah…wahai paman, seandainya mereka dapat meletakkan matahari di tangan kanan ku dan bulan di tangan kiri ku agar aku meninggalkan tugas suci ku, maka aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkan (Islam) atau aku hancur karena-Nya

Meski kaum kafir Quraisy mengancam membunuh Nabi, namun Nabi tidak gentar dan tetap menjalankan amanah yang dia terima. Seorang Muslim harusnya bersikap amanah seperti Nabi.

4. Karakter Mahabbah

Istilah mahabbah berasal dari kata "ahabba, yuhibbu, mahabbatan" yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam.

Mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk kedalam diri yang mencintai. Al mahabbah dapat pula berarti Al Waduud yakni yang sangat kasih atau penyayang.Dalam kajian tasawuf, mahabbah berarti mencintai Allah dan mengandung arti patuh kepada-Nya dan membenci sikap yang melawan kepada-Nya, mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Allah SWT serta menyerahkan seluruh diri kepada-nya.

Dalam kajian tasawuf arti mahabbah sangat mendalam, dimana bagi siapun yang mampu mencapainya maka ia akan dimuliakan oleh Allah Ta’ala yaitu mahabbah yang berarti mencintai Allah yang didalamnya mengandung arti patuh kepada-Nya dan membenci sikap yang melawan kepada-Nya, mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Allah SWT serta menyerahkan seluruh diri kepada-Nya.

Tujuan mahabbah adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dirasakan oleh jiwa.Selain itu juga mahabbah merupakan hal keadaan mental seperti senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Mahabbah berlainan dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi bagi para sufi dalam perjalanan mendekatkan diri pada Allah SWT.

Al mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik dalam kedudukan maupun pengertiannya. Ma’rifah adalah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (alQalb), maka mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta(roh). Rasa cinta itu tumbuh karena pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan sudah sangat jelas mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai.Oleh karena itu, menurut Al Ghazali mahabbah itu manifestasi dari ma’rifah kepada Tuhan.Dengan demikian kedudukan mahabbah lebih tinggi dari ma’rifah.

Amalan Hikmah Mahabbah (pengasihan) adalah amalan hikmah yang bertujuan untuk memunculkan perasaan cinta hati seseorang. Anda akan mendapatkan pengasihan atau cinta dari orang lain. Bisa berarti bertujuan untuk mendapatkan pacar, jodoh, pasangan idaman, menjaga keharmonisan hubungan dengan keluarga, pasangan, relasi kerja atau bisa juga untuk mendapatkan kasih sayang dari bos / atasan / pimpinan anda.

Amalan Hikmah Mahabbah bisa juga untuk mengatasi masalah cinta seperti perselingkuhan, mengembalikan cinta pasangan yang bosan dengan Anda, mengunci hati suami/istri agar hanya mencintai Anda seumur hidup dan mengatasi masalah cinta lainnya.InsyaAllah, seberat apapun masalah cinta yang Anda hadapi, bisa terselesaikan asalkan Anda punya niat baik.

Perlu ditegaskan bahwa Amalan Hikmah Mahabbah merupakan amalan yang aman dan halal sesuai syariat Islam. Mahabbah sangat penting untuk Anda miliki karena pada dasarnya ilmu ini adalah untuk kebaikan.

“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”( QS Yasin :36)

Untuk masalah cinta dan mendapatkan jodoh, dengan Amalan Hikmah Mahabbah maka cukup Anda tidak perlu sakit hati lagi. Anda bisa mendapatkan dan mempertahankan cinta dari pria atau wanita yang Anda cintai dengan segera. Untuk Anda yang letih dengan pengejaran, penolakan atau pemutusan sepihak. Atau Anda ingin memiliki pacar atau pasangan hidup sesuai harapan Anda. Insya Allah dengan mengamalkan Amalan Hikmah Mahabbah ini dapat membantu anda.

Untuk ketentraman keluarga, dengan Amalan Hikmah Mahabbah, maka dalam keluarga Anda tidak akan ada perselisihan dan pertengkaran yang membuat keluarga goyah. Keluarga akan tentram, rukun harmonis. Untuk Anda yang sering berkonflik dengan saudara, suami, istri, mertua atau ipar Anda.Atau didalam keluarga besar Anda ada perselisihan dari yang kecil sampai yang (sedikit) besar. Insya Allah dengan mengamalkan Amalan Hikmah Mahabbah ini dapat membantu anda.

Manfaat Amalan Hikmah Mahabbah ini, antara lain :
  1. Untuk pengasihan, daya tarik, penakluk segala hati orang, dan kewibawaan atau kharismatik
  2. Mempunyai energi secara halus untuk menaklukkan siapapun dengan energi pengasih (daya tarik) serta ia menjadi orang yang berwibawa dan dihormati banyak orang
  3. Amalan Hikmah Mahabbah sebagai ikhtiar batin untuk menjaga cinta kasih Anda
  4. Mendapatkan berkah yang menjaga, memelihara cinta serta persahabatan Anda dengan orang yang Anda sayangi atau cintai. Insya Allah atas rahmat dari Allah SWT cinta alami akan menyatu dan bersemi sepanjang masa hidup Anda
  5. Amalan Hikmah Mahabbah daya tarik nya dalam menaklukkan hati luar biasa
  6. Keluarga menjadi rukun harmonis, tentram. Rumah tangga menjadi damai, rezeki lancar serta ibadah kepada Allah SWT tenang. Memperbaiki keturunan menjadi soleh solekhah
  7. Mengharmoniskan hubungan sosial dengan orang lain, misalnya tetangga, teman kerja, orang tua atau mertua pun insya Allah akan mendapatkan keberkahannya juga menjadi rukun, tentram dalam ridho Allah SWT
  8. Kehidupan keluarga atau rumah tangga Anda menjadi sakinah mawaddah warohmah. Semua orang yang berumah tangga pastinya akan sangat ingin bisa menikmati hidup berbahagia yaitu rumah tangga sakinah mawaddah warohmah
  9. Kedamaian hati, kebahagiaan serta kesejahteraan di dalam rumah tangga sangat diidam-idamkan semua orang. Tercapainya cita-cita bersama suami atau istri serta adanya keturunan yang baik, dan hidup tentram serta berkecukupan.
5. Kesimpulan

Kata adil secara bahasa artinya sama berat, tidak berat sebelah, atau tidak memihak. Secara istilah, adil diartikan dengan sikap menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dengan demikian, adil tidak selalu berarti memberikan sesuatu kepada orang lain dengan jumlah sama persis.

Amanah mempunyai arti khusus numum. Pengertian amanah yang khsusus adalah pengembalian harta benda atau yang lain nya kepada orang yang menitipkan atau mempercayakan benda tersebut. Orang yang diberikepercayaan harus memelihara dan bertanggungjawab terhadap barang itu serta tidak berhak bertindak terhadap barang tersebut. Jika pemilik barang tersebut meminta kembali barang nya ia harus segera mengembalikannya. Adapun amanah dalam arti umum lebih luas dari pada yang khusus.

Mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk kedalam diri yang mencintai. Al mahabbah dapat pula berarti Al Waduud yakni yang sangat kasih atau penyayang.Dalam kajian tasawuf, mahabbah berarti mencintai Allah dan mengandung arti patuh kepada-Nya dan membenci sikap yang melawan kepada-Nya, mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Allah SWT serta menyerahkan seluruh diri kepada-nya.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
  • Simuh, Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996
  • Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Manajemen Syariah; Sebuah Kajian Historis dan Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafido Persada, 2006
  • Harun Nasution, Filsafat Dan Mistisme Dalam Islam,Jakarta:Bulan Bintang,1999
  • Amin Syukur,Tasawuf Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
  • Sholihin, Dr.M.Ag.,Akhlak Tasawuf, Nuansa,Bandung, 2005
  • Mustafa, Drs., Akhlak Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 1999
  • Http///Adil Dalam Kehidupan.Com,28-02-2018
  • Http/// Prilaku Adil, 28-02-2018

Thursday, May 21, 2020

Karya Al-Asy’ari

AHLI SUNNAH WAL-JAMA’AH : ASY’ARIAH DAN MUTURIDIAH

Aliran Asy’ariah

Riwayat Al-asy’ari

Namanya Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy’ari, dilahirkan di kota basrah (Irak) pada tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M, keturuna Abu Musa al-Asy’ari. Seorang sahabat dan perantara dalam sengketa antara Ali dan Mu’awiyah. Pada waktu kecilnya, al-Asy’ari berguru pada seorang tokoh Mu’tazilah yakni Abu Ali al-Jubbai, untuk mempelajari ajaran-ajaran Mu’tazilah dan memahaminya. Aliran ini dianutnya sampai ia berusia 40 tahun dan semasa hidupnya digunakan untuk mengarang buku-buku Mu’tazilahan.

Ketika berusia 40 tahun, ia mengasingkan diri dari orang banyak di rumahnya selama 15 hari. Kemudian ia pergi ke mesjid besar Basrah untuk menyatakan di depan orang banyak, bahwa ia mula-mula memeluk paham aliran Mu’tazilah, antara lain tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala, manusia sendiri yang menciptakan pekerjaan-pekerjaan dan keburukan. Kemudian ia mengatakan sebagai berikut : ”Saya tidak lagi mengikuti paham-paham Mu’tazilah tersebut dan saya harus menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahannya”.

Al-Asy’ari meninggalkan aliran Mu’tazilah karena ia melihat ada perpecahan di kalangan kaum muslimin yang bisa melemahkan mereka, kalau tidak segera diakhiri. Al-asy’ari sangat mengkhawatirkan, kalau Al-quran dan hadis-hadis Nabi akan menjadi korban faham-faham aliran Mu’tazilah yang menurut pendapatnya tidak dapat dibenarkan karena hanya didasarkan atas kekuatan akal pikiran.

Ada beberapa faktor yang menguntungkan bagi Al-Asy’ari, sehingga ia dapat mengalahkan aliran mu’tazilah. Faktor-faktor itu antara lain :
  1. Kaum muslimin pada waktu itu sudah bosan menghadapi dan mendengarkan perbedaan sekitar persoalan Al-quran yang dicetuskan oleh aliran Mu’tazilah, sehingga mengakibatkan ketidak senangan mereka terhadap aliran tersebut.
  2. Al-Asy’ari adalah seorang yang ahli dalam perdebatan dan mempunyai ilmu yang cukup mendalam, terkenal pula sebagai orang yang shaleh dan taqwa, sehingga ia bisa menarik orang banyak dan mendapat kepercayaan mereka.
  3. Sejak masa al-mutawakkil, pemerintahan telah meninggalkan aliran Mu’tazilah. Kebanyakan orang dimanapun juga, selalu mengikuti sikap pemerintahnya dan takut memeluk sesuatu paham yang tidak disukai oleh pemerintah itu.Oleh karena itu aliran Mu’tazilah mereka tinggalkan.
  4. Al-Asy’ari mempunyai pengikut-pengikut yang kuat yang selalu menyebarkan ajaran-ajarannya. Karena kedudukan mereka yang besar di kalangan masyarakat, maka orang banyak lebih tertarik kepada aliran Asy’ariah.
  5. Pemerintahan Banu Buwaihi yang bercorak Syi’ah yang menjadi tulang punggung aliran Mu’tazilah telah digantikan oleh pemerintahan Saljuk Turki yang bercorak Sunni dan membantu aliran Ahlussunnah, yang mempunyai seorang menteri yang pandai dan kuat yaitu Nizamul Mulk. Diantara usahanya ialah mendirikan sekolah dan mengumpulkan orang-orang pandai untuk mengajarkan mazhab Ahlussunnah, sedangkan mazhab-mazhab lainnya tidak diajarkan. Dengan demikian, maka gerakan Syi’ah dan Mu’tazilah menjadi surut dengan sendirinya.

Karya Al-Asy’ari

Cara pemikiran Al-Asy’ari adalah berdasarkan atas pemikiran akal dan argumentasi pikiran. Ia menentang dengan kerasnya mereka yang mengatakan bahwa pemakaian akal pikiran dalam soal-soal agama merupakan suatu kesalahan. Imam Al-Asy’ari di kenal sebagai seorang muslim yang ikhlas membela kepercayaan dan mempercayai isi Al-quran dan Hadis dengan menempatkannya sebagai dasar (pokok), disamping menggunakan akal pikiran,dimana tugasnya tidak lebih daripada memperkuat Nash-nash tersebut.

Karangan-karangannya yang terkenal dan sampai pada umat islam ada tiga, yaitu :
  1. Mawalatul Islamiyyin
  2. Al-Ibanah ‘an Usulid Diyanah
  3. Al-Luma’
Tokoh-Tokoh Aliran Asy’ariah

Suatu unsur utama bagi kemajuan aliran Asy’ariah ialah karena aliran ini mempunyai tokoh-tokoh yang cerdas dan terkenal. Tokoh-tokoh tersebut antara lain :
  1. Al-Baqillani
  2. Ibnu Faurak
  3. Ibnu Ishak Al-Isfaraini
  4. Abdul Kahir al-Bagdadi
  5. Imam al-Haramain al-Juwaini
  6. Abdul-Mudzaffar al-Isfaraini
  7. Al-Ghazali
  8. Ibnu Tumart
  9. As-Syihristani
  10. Ar-Razi
  11. Al-Iji
  12. As-Sanusi
Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ari

Tuhan dan Sifat-sifat-Nya

Perbedaan pendapat dikalangan mutakalimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan dengan kelompok mujassimah dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-quran, antara lain Wujud, Qidam, Baqa, Qudrat, Iradat dan lain-lain. Di lain pihak,ia berhadapan dengan kelompok mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensi-Nya.

Menghadapi dua kelompok tersebut, Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, dan ini tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis. Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.

Kekuasaan tuhan dan perbuatan manusia

Pendapat Al-asy’ari dalam soal ini juga berada di tengah-tengah antara aliran Jabariah dan aliran Mu’tazilah. Menurut aliran Mu’tazilah, manusia itulah yang mengerjakan perbuatannya dengan suatu kekuasaan yang diberikan Tuhan kepadanya. Menurut aliran jabariah manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tidak memperoleh sesuatu, bakan manusia laksana daun yang bergerak kesana kemari mengikuti arah angin yang meniupnya. Kemudian muncullah al-asy’ari yang mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu tetapi berkuasa memperoleh sesuatu perbuatan.

Melihat tuhan pada hari kiamat

Menurut aliran Mu’tazilah Tuhan tidak dapat di lihat dengan mata kepala, mereka mena’wilkan ayat-ayat yang mengatakan adanya ru’yat, disamping menolak hadis-hadis Nabi yang mengatakan ru’yat, karena tingkatan hadis tersebut menurut mereka adalah Ahad (hadis perseorangan). Menurut golongan Musyabbihah, Tuhan dapat dilihat dengan cara tertentu dan pada arah tertentu pula. Sedangkan Al-asy’ari berpendapat bahwa tuhan dapat dilihat , tetapi tidak menurut cara tertentu dan tidak pula pada arah tertentu.

Dosa Besar

Aliran mu’tazilah mengatakan apabila seseorang berbuat dosa besar tidak bertaubat dari dosanya itu, meskipun ia mempunyai iman dan ketaatan, tidak akan keluar dari neraka. Aliran murjiah mengatakan siapa yang beriman kepada Tuhan dan mengikhlaskan diri kepada-Nya, maka bagaimanapun besar dosa yang dikerjakannya, namun tidak akan mempengaruhi imannya. Sedangkan aliran Al-asy’ari mengatakan bahwa orang mu’min yang mengesakan Tuhan tetapi fasik, terserah kepada Tuhan, apaakah akan diampuni-Nya dan langsung masuk surga, ataukah dijatuhi siksa-siksa karena kefasikannya , tetapi kemudian dimasukkan-Nya kedalam surga.

Aliran Muturidiah

Riwayat Al-Muturidi

Nama aliran Muturidiah diambil dari pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad, kelahiran Maturid kota kecil di daerah Samarkand di wilayah Asia Tengah, kurang lebih pada pertengahan abad ketiga Hijriah dan ia meninggal dunia di kota Samarkand pada tahun 333H/944 M.

Ia mencari ilmu pada pertiga terakhir dari abad ketiga H, dimana aliran mu’tazilah sudah mulai mengalami kemunduran.diantara gurunya ialah Nasr bin Yahya al-Balakhi (wafat 268 H). Pada masanya negeri tempat ia dibesarkan menjadi arena perdebatan aliran fiqih Hanafiah dengan aliran fiqh Syafiiyah , bahkan upacara-upacara kematian pun tidak terlepas dari perdebatan semacam itu, sebagaimana terjadi juga perdebatan antara para fuqaha dan ahli-ahli hadis di satu pihak dengan aliran mu’tazilah di pihak lain soal-soal theology islam.

Karir pendidikan Al-Muturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat Islam,yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya ialah Kitab tauhid, Makhaz asy-syara’i, Al-jadl, Ushul fi ushul ad-din.

Dalam bidang fiqih, al-muturidi mengikuti mazhab hanafi, dan ia sendiri banyak mendalami soal-soal teology islam dan menyebelah kepada aliran fuqaha dan muhadisin, seperti yang dilakukan oleh al-asy’ari juga, meskipun dalam pendapat-pendapatnya tidak terikat dengan aliran tersebut. Meskipun metode yang dipakai oleh al-muturidi berbeda dengan al-asy’ari, namun hasil pemikirannya banyak yang sama.

Untuk mengetahui sistem pemikiran al-muturidi, kita tidak bisa meninggalkan pikiran-pikiran al-asy’ari dan aliran mu’tazilah, sebab ia tidak bisa terlepas dari suasana masanya. Baik al-asy’ari maupun al-muturidi kedua-duanya hidup semasa dan mempunyai tujuan yang sama, yaitu membendung dan melawan aliran mu’tazilah.

Pemikiran-pemikiran al-muturidi sebenarnya berisikan pikiran-pikiran Abu hanifah. Pertalian antara kedua tokoh tersebut dikuatkan oleh pengakuan al-muturidi sendiri, bahwa ia menerima (mempelajari) buku-buku Abu hanifah dengan suatu silsilah nama-nama yang dimulai dari gurunya dan seterusnya sampai kepada pengarangnya sendiri.

Kebanyakan ulam-ulama muturidiah terdiri dari orang-orang pengikut aliran fiqih hanifah, seperti Fachruddin al-Bazdawi, at-taftazani, an-nasafi, ibnu hammam dan lain-lainnya.

Doktrin-doktrin Teologi Al-Muturidi

Akal dan Wahyu

Dalam pemikiran teologinya, Al-muturidi mendasarkan pada Al-quran dan akal. Dalam hal ini, ia sama dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Muturidi, mengetahui tuhan dan kewajiban mengetahui tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-quran yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan Allah.

Dalam masalah baik dan buruk, Al-Muturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan antara yang baik dan buruk, namun terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian,wahyu diperlukan untuk dijadikan sebagai pembimbing, Al-Muturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu :
  1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
  2. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu.
  3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
Perbuatan Manusia

Menurut Al-Muturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya.Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya, Dalam hal ini, Al-muturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia.

Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan

Telah diuraikan bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatunya, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut Al-muturidi bukan berarti bahwa Tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang-wenang serta sekehendak-Nya semata.Hal ini karena qudrat tuhan tidak sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.

Sifat Tuhan

Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, terdapat persamaan antara pemikiran Al-muturidi dan Al-Asy’ariah. Keduanya berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama’,bashar dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian Al-muturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-asy’ari. Al-asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan Al-muturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya.

Melihat Tuhan

Al-muturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat tuhan. Hal ini diberitakan oleh Al-quran, antara lain firman Allah dalam surat Al-qiyamah ayat 22 dan 23.

Artinya : 22.Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. 23.Kepada Tuhannyalah mereka melihat.

Al-muturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat tuhan, kelak diakhirat tidak dalam bentuknya , karena keadaan akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.

Kalam Tuhan

Menurut Al-muturidi, Mu’tazilah memandang Al-quran sebagai yang tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata, sedangkan Al-asy’ari memandangnya dari segi makna abstrak. Kalam Allah menurut mu’tazilah bukan merupakan sifat-Nya dan bukan pula dari dzat-Nya. Al-quran sebagai sabda Tuhan bukan sifat, tetapi perbuatan yang diciptakan Tuhan dan tidak bersifat kekal. Pendapat ini diterima oleh Al-muturidi, hanya saja Al-muturidi lebih suka menggunakan istilah hadis sebagai pengganti untuk Al-quran. Dalam konteks ini, pendapat Al-Asy’ari juga memiliki kesamaan dengan pendapat Al-muturidi, karena yang dimaksud Al-asy’ari dengan sabda adalah makna abstrak tidak lain dari kalam nafsi menurut Al-muturidi dan itu memang sifat kekal Tuhan.

Pengutusan Rasul

Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban yang dibebankan kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban lainnya dan syariat yang dibebankan kepada manusia. Oleh karena itu, menurut Al-muturidi akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi, pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.

Pelaku dosa besar (Murtakib Al-Kabir)

Al-muturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neaka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurut Al-muturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman.

Riwayat Al-asy’ari

AHLI SUNNAH WAL-JAMA’AH : ASY’ARIAH DAN MUTURIDIAH

Aliran Asy’ariah

Riwayat Al-asy’ari

Namanya Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy’ari, dilahirkan di kota basrah (Irak) pada tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M, keturuna Abu Musa al-Asy’ari. Seorang sahabat dan perantara dalam sengketa antara Ali dan Mu’awiyah. Pada waktu kecilnya, al-Asy’ari berguru pada seorang tokoh Mu’tazilah yakni Abu Ali al-Jubbai, untuk mempelajari ajaran-ajaran Mu’tazilah dan memahaminya. Aliran ini dianutnya sampai ia berusia 40 tahun dan semasa hidupnya digunakan untuk mengarang buku-buku Mu’tazilahan.

Ketika berusia 40 tahun, ia mengasingkan diri dari orang banyak di rumahnya selama 15 hari. Kemudian ia pergi ke mesjid besar Basrah untuk menyatakan di depan orang banyak, bahwa ia mula-mula memeluk paham aliran Mu’tazilah, antara lain tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala, manusia sendiri yang menciptakan pekerjaan-pekerjaan dan keburukan. Kemudian ia mengatakan sebagai berikut : ”Saya tidak lagi mengikuti paham-paham Mu’tazilah tersebut dan saya harus menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahannya”.

Al-Asy’ari meninggalkan aliran Mu’tazilah karena ia melihat ada perpecahan di kalangan kaum muslimin yang bisa melemahkan mereka, kalau tidak segera diakhiri. Al-asy’ari sangat mengkhawatirkan, kalau Al-quran dan hadis-hadis Nabi akan menjadi korban faham-faham aliran Mu’tazilah yang menurut pendapatnya tidak dapat dibenarkan karena hanya didasarkan atas kekuatan akal pikiran.

Ada beberapa faktor yang menguntungkan bagi Al-Asy’ari, sehingga ia dapat mengalahkan aliran mu’tazilah. Faktor-faktor itu antara lain :
  1. Kaum muslimin pada waktu itu sudah bosan menghadapi dan mendengarkan perbedaan sekitar persoalan Al-quran yang dicetuskan oleh aliran Mu’tazilah, sehingga mengakibatkan ketidak senangan mereka terhadap aliran tersebut.
  2. Al-Asy’ari adalah seorang yang ahli dalam perdebatan dan mempunyai ilmu yang cukup mendalam, terkenal pula sebagai orang yang shaleh dan taqwa, sehingga ia bisa menarik orang banyak dan mendapat kepercayaan mereka.
  3. Sejak masa al-mutawakkil, pemerintahan telah meninggalkan aliran Mu’tazilah. Kebanyakan orang dimanapun juga, selalu mengikuti sikap pemerintahnya dan takut memeluk sesuatu paham yang tidak disukai oleh pemerintah itu.Oleh karena itu aliran Mu’tazilah mereka tinggalkan.
  4. Al-Asy’ari mempunyai pengikut-pengikut yang kuat yang selalu menyebarkan ajaran-ajarannya. Karena kedudukan mereka yang besar di kalangan masyarakat, maka orang banyak lebih tertarik kepada aliran Asy’ariah.
  5. Pemerintahan Banu Buwaihi yang bercorak Syi’ah yang menjadi tulang punggung aliran Mu’tazilah telah digantikan oleh pemerintahan Saljuk Turki yang bercorak Sunni dan membantu aliran Ahlussunnah, yang mempunyai seorang menteri yang pandai dan kuat yaitu Nizamul Mulk. Diantara usahanya ialah mendirikan sekolah dan mengumpulkan orang-orang pandai untuk mengajarkan mazhab Ahlussunnah, sedangkan mazhab-mazhab lainnya tidak diajarkan. Dengan demikian, maka gerakan Syi’ah dan Mu’tazilah menjadi surut dengan sendirinya.

Karya Al-Asy’ari

Cara pemikiran Al-Asy’ari adalah berdasarkan atas pemikiran akal dan argumentasi pikiran. Ia menentang dengan kerasnya mereka yang mengatakan bahwa pemakaian akal pikiran dalam soal-soal agama merupakan suatu kesalahan. Imam Al-Asy’ari di kenal sebagai seorang muslim yang ikhlas membela kepercayaan dan mempercayai isi Al-quran dan Hadis dengan menempatkannya sebagai dasar (pokok), disamping menggunakan akal pikiran,dimana tugasnya tidak lebih daripada memperkuat Nash-nash tersebut.

Karangan-karangannya yang terkenal dan sampai pada umat islam ada tiga, yaitu :
  1. Mawalatul Islamiyyin
  2. Al-Ibanah ‘an Usulid Diyanah
  3. Al-Luma’
Tokoh-Tokoh Aliran Asy’ariah

Suatu unsur utama bagi kemajuan aliran Asy’ariah ialah karena aliran ini mempunyai tokoh-tokoh yang cerdas dan terkenal. Tokoh-tokoh tersebut antara lain :
  1. Al-Baqillani
  2. Ibnu Faurak
  3. Ibnu Ishak Al-Isfaraini
  4. Abdul Kahir al-Bagdadi
  5. Imam al-Haramain al-Juwaini
  6. Abdul-Mudzaffar al-Isfaraini
  7. Al-Ghazali
  8. Ibnu Tumart
  9. As-Syihristani
  10. Ar-Razi
  11. Al-Iji
  12. As-Sanusi
Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ari

Tuhan dan Sifat-sifat-Nya

Perbedaan pendapat dikalangan mutakalimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan dengan kelompok mujassimah dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-quran, antara lain Wujud, Qidam, Baqa, Qudrat, Iradat dan lain-lain. Di lain pihak,ia berhadapan dengan kelompok mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensi-Nya.

Menghadapi dua kelompok tersebut, Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, dan ini tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis. Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.

Kekuasaan tuhan dan perbuatan manusia

Pendapat Al-asy’ari dalam soal ini juga berada di tengah-tengah antara aliran Jabariah dan aliran Mu’tazilah. Menurut aliran Mu’tazilah, manusia itulah yang mengerjakan perbuatannya dengan suatu kekuasaan yang diberikan Tuhan kepadanya. Menurut aliran jabariah manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tidak memperoleh sesuatu, bakan manusia laksana daun yang bergerak kesana kemari mengikuti arah angin yang meniupnya. Kemudian muncullah al-asy’ari yang mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu tetapi berkuasa memperoleh sesuatu perbuatan.

Melihat tuhan pada hari kiamat

Menurut aliran Mu’tazilah Tuhan tidak dapat di lihat dengan mata kepala, mereka mena’wilkan ayat-ayat yang mengatakan adanya ru’yat, disamping menolak hadis-hadis Nabi yang mengatakan ru’yat, karena tingkatan hadis tersebut menurut mereka adalah Ahad (hadis perseorangan). Menurut golongan Musyabbihah, Tuhan dapat dilihat dengan cara tertentu dan pada arah tertentu pula. Sedangkan Al-asy’ari berpendapat bahwa tuhan dapat dilihat , tetapi tidak menurut cara tertentu dan tidak pula pada arah tertentu.

Dosa Besar

Aliran mu’tazilah mengatakan apabila seseorang berbuat dosa besar tidak bertaubat dari dosanya itu, meskipun ia mempunyai iman dan ketaatan, tidak akan keluar dari neraka. Aliran murjiah mengatakan siapa yang beriman kepada Tuhan dan mengikhlaskan diri kepada-Nya, maka bagaimanapun besar dosa yang dikerjakannya, namun tidak akan mempengaruhi imannya. Sedangkan aliran Al-asy’ari mengatakan bahwa orang mu’min yang mengesakan Tuhan tetapi fasik, terserah kepada Tuhan, apaakah akan diampuni-Nya dan langsung masuk surga, ataukah dijatuhi siksa-siksa karena kefasikannya , tetapi kemudian dimasukkan-Nya kedalam surga.

Aliran Muturidiah

Riwayat Al-Muturidi

Nama aliran Muturidiah diambil dari pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad, kelahiran Maturid kota kecil di daerah Samarkand di wilayah Asia Tengah, kurang lebih pada pertengahan abad ketiga Hijriah dan ia meninggal dunia di kota Samarkand pada tahun 333H/944 M.

Ia mencari ilmu pada pertiga terakhir dari abad ketiga H, dimana aliran mu’tazilah sudah mulai mengalami kemunduran.diantara gurunya ialah Nasr bin Yahya al-Balakhi (wafat 268 H). Pada masanya negeri tempat ia dibesarkan menjadi arena perdebatan aliran fiqih Hanafiah dengan aliran fiqh Syafiiyah , bahkan upacara-upacara kematian pun tidak terlepas dari perdebatan semacam itu, sebagaimana terjadi juga perdebatan antara para fuqaha dan ahli-ahli hadis di satu pihak dengan aliran mu’tazilah di pihak lain soal-soal theology islam.

Karir pendidikan Al-Muturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat Islam,yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya ialah Kitab tauhid, Makhaz asy-syara’i, Al-jadl, Ushul fi ushul ad-din.

Dalam bidang fiqih, al-muturidi mengikuti mazhab hanafi, dan ia sendiri banyak mendalami soal-soal teology islam dan menyebelah kepada aliran fuqaha dan muhadisin, seperti yang dilakukan oleh al-asy’ari juga, meskipun dalam pendapat-pendapatnya tidak terikat dengan aliran tersebut. Meskipun metode yang dipakai oleh al-muturidi berbeda dengan al-asy’ari, namun hasil pemikirannya banyak yang sama.

Untuk mengetahui sistem pemikiran al-muturidi, kita tidak bisa meninggalkan pikiran-pikiran al-asy’ari dan aliran mu’tazilah, sebab ia tidak bisa terlepas dari suasana masanya. Baik al-asy’ari maupun al-muturidi kedua-duanya hidup semasa dan mempunyai tujuan yang sama, yaitu membendung dan melawan aliran mu’tazilah.

Pemikiran-pemikiran al-muturidi sebenarnya berisikan pikiran-pikiran Abu hanifah. Pertalian antara kedua tokoh tersebut dikuatkan oleh pengakuan al-muturidi sendiri, bahwa ia menerima (mempelajari) buku-buku Abu hanifah dengan suatu silsilah nama-nama yang dimulai dari gurunya dan seterusnya sampai kepada pengarangnya sendiri.

Kebanyakan ulam-ulama muturidiah terdiri dari orang-orang pengikut aliran fiqih hanifah, seperti Fachruddin al-Bazdawi, at-taftazani, an-nasafi, ibnu hammam dan lain-lainnya.

Doktrin-doktrin Teologi Al-Muturidi

Akal dan Wahyu

Dalam pemikiran teologinya, Al-muturidi mendasarkan pada Al-quran dan akal. Dalam hal ini, ia sama dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Muturidi, mengetahui tuhan dan kewajiban mengetahui tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-quran yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan Allah.

Dalam masalah baik dan buruk, Al-Muturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan antara yang baik dan buruk, namun terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian,wahyu diperlukan untuk dijadikan sebagai pembimbing, Al-Muturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu :
  1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
  2. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu.
  3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
Perbuatan Manusia

Menurut Al-Muturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya.Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya, Dalam hal ini, Al-muturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia.

Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan

Telah diuraikan bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatunya, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut Al-muturidi bukan berarti bahwa Tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang-wenang serta sekehendak-Nya semata.Hal ini karena qudrat tuhan tidak sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.

Sifat Tuhan

Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, terdapat persamaan antara pemikiran Al-muturidi dan Al-Asy’ariah. Keduanya berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama’,bashar dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian Al-muturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-asy’ari. Al-asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan Al-muturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya.

Melihat Tuhan

Al-muturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat tuhan. Hal ini diberitakan oleh Al-quran, antara lain firman Allah dalam surat Al-qiyamah ayat 22 dan 23.

Artinya : 22.Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. 23.Kepada Tuhannyalah mereka melihat.

Al-muturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat tuhan, kelak diakhirat tidak dalam bentuknya , karena keadaan akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.

Kalam Tuhan

Menurut Al-muturidi, Mu’tazilah memandang Al-quran sebagai yang tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata, sedangkan Al-asy’ari memandangnya dari segi makna abstrak. Kalam Allah menurut mu’tazilah bukan merupakan sifat-Nya dan bukan pula dari dzat-Nya. Al-quran sebagai sabda Tuhan bukan sifat, tetapi perbuatan yang diciptakan Tuhan dan tidak bersifat kekal. Pendapat ini diterima oleh Al-muturidi, hanya saja Al-muturidi lebih suka menggunakan istilah hadis sebagai pengganti untuk Al-quran. Dalam konteks ini, pendapat Al-Asy’ari juga memiliki kesamaan dengan pendapat Al-muturidi, karena yang dimaksud Al-asy’ari dengan sabda adalah makna abstrak tidak lain dari kalam nafsi menurut Al-muturidi dan itu memang sifat kekal Tuhan.

Pengutusan Rasul

Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban yang dibebankan kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban lainnya dan syariat yang dibebankan kepada manusia. Oleh karena itu, menurut Al-muturidi akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi, pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.

Pelaku dosa besar (Murtakib Al-Kabir)

Al-muturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neaka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurut Al-muturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman.

Aliran Asy’ariah

AHLI SUNNAH WAL-JAMA’AH : ASY’ARIAH DAN MUTURIDIAH

Aliran Asy’ariah

Riwayat Al-asy’ari

Namanya Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy’ari, dilahirkan di kota basrah (Irak) pada tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M, keturuna Abu Musa al-Asy’ari. Seorang sahabat dan perantara dalam sengketa antara Ali dan Mu’awiyah. Pada waktu kecilnya, al-Asy’ari berguru pada seorang tokoh Mu’tazilah yakni Abu Ali al-Jubbai, untuk mempelajari ajaran-ajaran Mu’tazilah dan memahaminya. Aliran ini dianutnya sampai ia berusia 40 tahun dan semasa hidupnya digunakan untuk mengarang buku-buku Mu’tazilahan.

Ketika berusia 40 tahun, ia mengasingkan diri dari orang banyak di rumahnya selama 15 hari .Kemudian ia pergi ke mesjid besar Basrah untuk menyatakan di depan orang banyak, bahwa ia mula-mula memeluk paham aliran Mu’tazilah, antara lain tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala, manusia sendiri yang menciptakan pekerjaan-pekerjaan dan keburukan. Kemudian ia mengatakan sebagai berikut : ”Saya tidak lagi mengikuti paham-paham Mu’tazilah tersebut dan saya harus menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahannya”.

Al-Asy’ari meninggalkan aliran Mu’tazilah karena ia melihat ada perpecahan di kalangan kaum muslimin yang bisa melemahkan mereka, kalau tidak segera diakhiri. Al-asy’ari sangat mengkhawatirkan, kalau Al-quran dan hadis-hadis Nabi akan menjadi korban faham-faham aliran Mu’tazilah yang menurut pendapatnya tidak dapat dibenarkan karena hanya didasarkan atas kekuatan akal pikiran.

Ada beberapa faktor yang menguntungkan bagi Al-Asy’ari, sehingga ia dapat mengalahkan aliran mu’tazilah. Faktor-faktor itu antara lain : 1. Kaum muslimin pada waktu itu sudah bosan menghadapi dan mendengarkan perbedaan sekitar persoalan Al-quran yang dicetuskan oleh aliran Mu’tazilah, sehingga mengakibatkan ketidak senangan mereka terhadap aliran tersebut. 2. Al-Asy’ari adalah seorang yang ahli dalam perdebatan dan mempunyai ilmu yang cukup mendalam, terkenal pula sebagai orang yang shaleh dan taqwa, sehingga ia bisa menarik orang banyak dan mendapat kepercayaan mereka. 3. Sejak masa al-mutawakkil, pemerintahan telah meninggalkan aliran Mu’tazilah. Kebanyakan orang dimanapun juga, selalu mengikuti sikap pemerintahnya dan takut memeluk sesuatu paham yang tidak disukai oleh pemerintah itu.Oleh karena itu aliran Mu’tazilah mereka tinggalkan. 4. Al-Asy’ari mempunyai pengikut-pengikut yang kuat yang selalu menyebarkan ajaran-ajarannya. Karena kedudukan mereka yang besar di kalangan masyarakat, maka orang banyak lebih tertarik kepada aliran Asy’ariah. 5. Pemerintahan Banu Buwaihi yang bercorak Syi’ah yang menjadi tulang punggung aliran Mu’tazilah telah digantikan oleh pemerintahan Saljuk Turki yang bercorak Sunni dan membantu aliran Ahlussunnah, yang mempunyai seorang menteri yang pandai dan kuat yaitu Nizamul Mulk. Diantara usahanya ialah mendirikan sekolah dan mengumpulkan orang-orang pandai untuk mengajarkan mazhab Ahlussunnah, sedangkan mazhab-mazhab lainnya tidak diajarkan. Dengan demikian, maka gerakan Syi’ah dan Mu’tazilah menjadi surut dengan sendirinya.

Karya Al-Asy’ari

Cara pemikiran Al-Asy’ari adalah berdasarkan atas pemikiran akal dan argumentasi pikiran. Ia menentang dengan kerasnya mereka yang mengatakan bahwa pemakaian akal pikiran dalam soal-soal agama merupakan suatu kesalahan. Imam Al-Asy’ari di kenal sebagai seorang muslim yang ikhlas membela kepercayaan dan mempercayai isi Al-quran dan Hadis dengan menempatkannya sebagai dasar (pokok), disamping menggunakan akal pikiran,dimana tugasnya tidak lebih daripada memperkuat Nash-nash tersebut.

Karangan-karangannya yang terkenal dan sampai pada umat islam ada tiga, yaitu : 1. Mawalatul Islamiyyin 2. Al-Ibanah ‘an Usulid Diyanah 3. Al-Luma’
Tokoh-Tokoh Aliran Asy’ariah

Suatu unsur utama bagi kemajuan aliran Asy’ariah ialah karena aliran ini mempunyai tokoh-tokoh yang cerdas dan terkenal. Tokoh-tokoh tersebut antara lain : 1. Al-Baqillani 2. Ibnu Faurak 3. Ibnu Ishak Al-Isfaraini 4. Abdul Kahir al-Bagdadi 5. Imam al-Haramain al-Juwaini 6. Abdul-Mudzaffar al-Isfaraini 7. Al-Ghazali 8. Ibnu Tumart 9. As-Syihristani 10. Ar-Razi 11. Al-Iji 12. As-Sanusi
Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ari

Tuhan dan Sifat-sifat-Nya

Perbedaan pendapat dikalangan mutakalimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan dengan kelompok mujassimah dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-quran, antara lain Wujud, Qidam, Baqa, Qudrat, Iradat dan lain-lain. Di lain pihak,ia berhadapan dengan kelompok mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensi-Nya.

Menghadapi dua kelompok tersebut, Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, dan ini tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis. Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.

Kekuasaan tuhan dan perbuatan manusia

Pendapat Al-asy’ari dalam soal ini juga berada di tengah-tengah antara aliran Jabariah dan aliran Mu’tazilah. Menurut aliran Mu’tazilah, manusia itulah yang mengerjakan perbuatannya dengan suatu kekuasaan yang diberikan Tuhan kepadanya. Menurut aliran jabariah manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tidak memperoleh sesuatu, bakan manusia laksana daun yang bergerak kesana kemari mengikuti arah angin yang meniupnya. Kemudian muncullah al-asy’ari yang mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu tetapi berkuasa memperoleh sesuatu perbuatan.

Melihat tuhan pada hari kiamat

Menurut aliran Mu’tazilah Tuhan tidak dapat di lihat dengan mata kepala, mereka mena’wilkan ayat-ayat yang mengatakan adanya ru’yat, disamping menolak hadis-hadis Nabi yang mengatakan ru’yat, karena tingkatan hadis tersebut menurut mereka adalah Ahad (hadis perseorangan). Menurut golongan Musyabbihah, Tuhan dapat dilihat dengan cara tertentu dan pada arah tertentu pula. Sedangkan Al-asy’ari berpendapat bahwa tuhan dapat dilihat , tetapi tidak menurut cara tertentu dan tidak pula pada arah tertentu.

Dosa Besar

Aliran mu’tazilah mengatakan apabila seseorang berbuat dosa besar tidak bertaubat dari dosanya itu, meskipun ia mempunyai iman dan ketaatan, tidak akan keluar dari neraka. Aliran murjiah mengatakan siapa yang beriman kepada Tuhan dan mengikhlaskan diri kepada-Nya, maka bagaimanapun besar dosa yang dikerjakannya, namun tidak akan mempengaruhi imannya. Sedangkan aliran Al-asy’ari mengatakan bahwa orang mu’min yang mengesakan Tuhan tetapi fasik, terserah kepada Tuhan, apaakah akan diampuni-Nya dan langsung masuk surga, ataukah dijatuhi siksa-siksa karena kefasikannya , tetapi kemudian dimasukkan-Nya kedalam surga.

Aliran Muturidiah

Riwayat Al-Muturidi

Nama aliran Muturidiah diambil dari pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad, kelahiran Maturid kota kecil di daerah Samarkand di wilayah Asia Tengah, kurang lebih pada pertengahan abad ketiga Hijriah dan ia meninggal dunia di kota Samarkand pada tahun 333H/944 M.

Ia mencari ilmu pada pertiga terakhir dari abad ketiga H, dimana aliran mu’tazilah sudah mulai mengalami kemunduran.diantara gurunya ialah Nasr bin Yahya al-Balakhi (wafat 268 H). Pada masanya negeri tempat ia dibesarkan menjadi arena perdebatan aliran fiqih Hanafiah dengan aliran fiqh Syafiiyah , bahkan upacara-upacara kematian pun tidak terlepas dari perdebatan semacam itu, sebagaimana terjadi juga perdebatan antara para fuqaha dan ahli-ahli hadis di satu pihak dengan aliran mu’tazilah di pihak lain soal-soal theology islam.

Karir pendidikan Al-Muturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat Islam,yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya ialah Kitab tauhid, Makhaz asy-syara’i, Al-jadl, Ushul fi ushul ad-din.

Dalam bidang fiqih, al-muturidi mengikuti mazhab hanafi, dan ia sendiri banyak mendalami soal-soal teology islam dan menyebelah kepada aliran fuqaha dan muhadisin, seperti yang dilakukan oleh al-asy’ari juga, meskipun dalam pendapat-pendapatnya tidak terikat dengan aliran tersebut. Meskipun metode yang dipakai oleh al-muturidi berbeda dengan al-asy’ari, namun hasil pemikirannya banyak yang sama.

Untuk mengetahui sistem pemikiran al-muturidi, kita tidak bisa meninggalkan pikiran-pikiran al-asy’ari dan aliran mu’tazilah, sebab ia tidak bisa terlepas dari suasana masanya. Baik al-asy’ari maupun al-muturidi kedua-duanya hidup semasa dan mempunyai tujuan yang sama, yaitu membendung dan melawan aliran mu’tazilah.

Pemikiran-pemikiran al-muturidi sebenarnya berisikan pikiran-pikiran Abu hanifah. Pertalian antara kedua tokoh tersebut dikuatkan oleh pengakuan al-muturidi sendiri, bahwa ia menerima (mempelajari) buku-buku Abu hanifah dengan suatu silsilah nama-nama yang dimulai dari gurunya dan seterusnya sampai kepada pengarangnya sendiri.

Kebanyakan ulam-ulama muturidiah terdiri dari orang-orang pengikut aliran fiqih hanifah, seperti Fachruddin al-Bazdawi, at-taftazani, an-nasafi, ibnu hammam dan lain-lainnya.

Doktrin-doktrin Teologi Al-Muturidi

Akal dan Wahyu

Dalam pemikiran teologinya, Al-muturidi mendasarkan pada Al-quran dan akal. Dalam hal ini, ia sama dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Muturidi, mengetahui tuhan dan kewajiban mengetahui tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-quran yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan Allah.

Dalam masalah baik dan buruk, Al-Muturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan antara yang baik dan buruk, namun terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian,wahyu diperlukan untuk dijadikan sebagai pembimbing, Al-Muturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu : 1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu. 2. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu. 3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
Perbuatan Manusia

Menurut Al-Muturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya.Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya, Dalam hal ini, Al-muturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia.

Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan

Telah diuraikan bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatunya, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut Al-muturidi bukan berarti bahwa Tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang-wenang serta sekehendak-Nya semata.Hal ini karena qudrat tuhan tidak sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.

Sifat Tuhan

Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, terdapat persamaan antara pemikiran Al-muturidi dan Al-Asy’ariah. Keduanya berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama’,bashar dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian Al-muturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-asy’ari. Al-asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan Al-muturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya.

Melihat Tuhan

Al-muturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat tuhan. Hal ini diberitakan oleh Al-quran, antara lain firman Allah dalam surat Al-qiyamah ayat 22 dan 23.

Artinya : 22.Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. 23.Kepada Tuhannyalah mereka melihat.

Al-muturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat tuhan, kelak diakhirat tidak dalam bentuknya , karena keadaan akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.

Kalam Tuhan

Menurut Al-muturidi, Mu’tazilah memandang Al-quran sebagai yang tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata, sedangkan Al-asy’ari memandangnya dari segi makna abstrak. Kalam Allah menurut mu’tazilah bukan merupakan sifat-Nya dan bukan pula dari dzat-Nya. Al-quran sebagai sabda Tuhan bukan sifat, tetapi perbuatan yang diciptakan Tuhan dan tidak bersifat kekal. Pendapat ini diterima oleh Al-muturidi, hanya saja Al-muturidi lebih suka menggunakan istilah hadis sebagai pengganti untuk Al-quran. Dalam konteks ini, pendapat Al-Asy’ari juga memiliki kesamaan dengan pendapat Al-muturidi, karena yang dimaksud Al-asy’ari dengan sabda adalah makna abstrak tidak lain dari kalam nafsi menurut Al-muturidi dan itu memang sifat kekal Tuhan.

Pengutusan Rasul

Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban yang dibebankan kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban lainnya dan syariat yang dibebankan kepada manusia. Oleh karena itu, menurut Al-muturidi akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi, pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.

Pelaku dosa besar (Murtakib Al-Kabir)

Al-muturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neaka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurut Al-muturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman.