Pengertian Ila’

Saturday, April 6, 2019

Hakikat Sastra

Pengertian Citra Perempuan

Sebelum peneliti menjelaskan mengenai citra perempuan, peneliti akan menjelaskan terlebih dahulu arti citra. Citra artinya rupa, gambaran, dapat berupa gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, atau kesan mental. Nurgiyantoro (2010:304) menyatakan bahwa “citra merupakan sebuah gambaran pengalaman indera yang diungkapkan lewat kata-kata, gambaran berbagai pengalaman yang dibangkitkan oleh kata-kata pencitraan”.

Pencitraan adalah proses atau cara membentuk citra mental pribadi atau gambaran sesuatu. Abrams dan Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2010:304) menyatakan bahwa “pencitraan merupakan kumpulan citra, the collection of images, yang dipergunakan untuk melukiskan objek dan kualitas tanggapan indera yang dipergunakan dalam karya sastra, baik dengan deskripsi secara harfiah maupun secara kias”. Macam-macam pencitraan itu sendiri meliputi kelima jenis indera manusia yaitu citraan penglihatan (visual), pendengaran (auditoris), gerakan (kinestetik), rabaan (taktil termal), dan penciuman (olfaktori), namun pemanfaatannya dalam sebuah karya sastra tidak sama intensitasnya (Nurgiyantoro, 2010:304).

Citra perempuan diartikan sebagai semua wujud gambaran mental spiritual dan tingkah laku keseharian perempuan yang menunjukkan wajah dan ciri khas perempuan. Sampai saat ini paham yang sulit dihilangkan adalah terjadinya hegemoni pria terhadap wanita. Paham tentang wanita sebagai orang yang lemah lembut, permata, bunga, dan sebaliknya pria sebagai orang yang cerdas, aktif dan sejenisnya selalu mewarnai karya sastra. Citra wanita dan pria tersebut sekakan-akan telah mengakar dibenak penulis sastra (Endraswara, 2008:143). Humm (dalam Anwar, 2009:9) mengansumsikan bahwa “wanita sesungguhnya hanya tahu tentang dirinya melalui definisi kultural tentang feminitas yang didikte oleh kebudayaan partriarkhi”. Sedangkan feminisme memandang perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam gerakan terlepas dibawah naungan seorang laki-laki (Wiyatmi, 2013:95).

Hampir seluruh karya sastra, baik yang dihasilkan oleh penulis pria maupun wanita, dominasi pria selalu lebih kuat. Figur pria terus menjadi the athority, sehingga mengasumsikan bahwa wanita adalah impian semata (Endraswara, 2008:143). Atas dasar itu lah, peneliti tertarik untuk menganalisis atau menggali lebih jauh konstruksi gender dalam novel Cinta Suci Zahrana sebagai objek penelitian, karena peneliti perlu tahu dan menjelaskan bagaimana perjuangan seorang wanita agar lepas dari keterjajahan kaum laki-laki dan menjelaskan bahwa wanita tidak selalu berada dibawah kerja keras seorang laik-laki dan wanita mampu meraih cita-citanya sesuai dengan apa yang diinginkannya sejak awal dan wanita juga mampu untuk berperan ganda yaitu sebagai istri dan sebagai wanita karier atau wanita yang berpendidikan.

Menurut Sugihastuti (dalam Wiyatmi, 2013:22) “citra wanita dibedakan menjadi dua yaitu citra diri wanita dan citra sosial wanita.
  1. Citra Diri Wanita. Menurut Sugihastuti (dalam Wiyatmi, 2013:22) “Citra diri wanita merupakan dunia yang typis, yang khas dengan segala macam tingkah lakunya. Citra diri wanita merupakan keadaan dan pandangan wanita yang berasal dari dalam dirinya sendiri, yang meliputi aspek fisik dan aspek psikis". Citra diri wanita terwujud sebagai sosok individu yang mempunyai pendirian dan pilihan tersendiri atas berbagai aktivitasnya berdasarkan kebutuhan-kebutuhan pribadi maupun sosialnya.
    • Citra Fisik Wanita. Secara fisik,wanita dewasa merupakan sosok individu hasil bentukan proses biologis dan bayi perempuan, yang dalam perjalanan usianya mencapai taraf dewasa. Secara fisik, wanita berbeda dengan pria, antara lain ditunjukkan oleh fisik yang lembut, lincah, lemah, berkerudung dan lain sebagainya.
    • Citra Psikis Wanita. Jika ditinjau dari aspek psikisnya, wanita juga makhluk psikologis, makhluk yang berfikir, berperasaan, dan beraspirasi (Sugihastuti dalam Wiyatmi, 2013:22). Aspek psikis wanita tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebut feminitas. Dari aspek psikis terlihat bahwa wanita dilahirkan secara biopsikologis berbeda dengan laki-laki, hal ini juga mempengaruhi pengembangan dirinya. Pengembangan dirinya tersebut bermula dari lingkungan keluarga, keluarga hasil perkawinannya. Aspek psikis wanita saling berpengaruh dengan aspek fisik dan keduanya merupakan aspek yang mempengaruhi citra diri wanita. Kejiwaan wanita dewasa dalam aspek psikis mempengaruhi citra diri wanita, semakin bertumbuh baik wanita akan semakin berkembang pula psikis mereka untuk menjadi dewasa. Citra diri wanita tidak bisa lepas dari aspek psikis dan fisik. Adanya perbedaan bentuk fisik antara wanita dan laki-laki mempengaruhi pola berfikir dan pola kehidupan wanita. Aspek psikis menunjukkan bahwa wanita memiliki pemikiran-pemikiran untuk berkembang, berinspirasi, dan memiliki perasaan untuk merasakan keadaan dalam dirinya ataupun di luar dirinya.
  2. Citra Sosial Wanita. Sugihastuti (dalam Wiyatmi, 2013:22) “Citra sosial wanita merupakan citra wanita yang erat hubungannya dengan norma dan sitem nilai yang berlaku dalam satu kelompok masyarakat, tempat wanita menjadi anggota dan berhasrat mengadakan hubungan antarmanusia”. Kelompok masyarakat itu adalah kelompok keluarga dan kelompok masyarakat luas. Jika dilihat dari dalam keluarga, misalnya wanita berperan sebagai istri, ibu dan sebagai anggota keluarga yang masing-masing peran mendatangkan konsekuensi sikap sosial, yaitu satu dengan lainnya saling berkaitan. Citra sosial wanita juga merupakan masalah pengalaman diri, seperti dicitrakan dalam citra diri wanita dan citra sosialnya, pengalaman-pengalaman inilah yang menentukan interaksi sosial wanita dalam masyarakat atas pengalaman diri itulah maka wanita bersikap termasuk kedalam sikapnya terhadap laki-laki. Hal penting yang mengawali citra sosial wanita adalah citra dirinya. Sugihastuti (dalam Wiyatmi, 2013:22) “Citra wanita dalam aspek sosial dibedakan menjadi dua, yaitu citra wanita dalam keluarga dan citra wanita dalam masyarakat”.
    • Citra Wanita dalam Keluarga. Sebagai wanita dewasa, seperti tercitrakan dalam aspek fisik dan psikisnya, salah satu peran yang menonjol daripadanya adalah peran wanita dalam keluarga. Citra wanita dalam aspek keluarga digambarkan sebagai wanita dewasa, seorang istri dan seorang ibu rumah tangga.
    • Citra Wanita dalam Masyarakat. Sugihastuti (dalam Wiyatmi, 2013:22) “Selain peran dalam keluarga, citra sosial wanita juga berperan dalam masyarakat. Manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya memerlukan manusia lain. Demikian juga bagi wanita, hubungannya dengan manusia lain itu dapat bersifat khusus maupun umum, tergantung pada bentuk sifat hubungan itu sendiri. Hubungan manusia dalam masyarakat dimulai dari hubungannya antar orang termasuk hubungan antar wanita dengan seorang pria”. Citra sosial wanita menunjukkan bagaimana wanita berperan dalam kehidupannya, yaitu berperan dalam keluarga dan masyarakat. Wanita mengambil bagian dalam keluarga sebagai ibu, kakak, adik, dan istri, sedangkan dalam masyarakat wanita tidak dapat hidup sendiri dan memerlukan orang lain. Jika dilihat dari penjelasan diatas bahwa citra wanita terbangun dari berbagai aspek yaitu aspek fisik, aspek psikis, keluarga dan masyarakat.
Pendekatan Feminisme

Dasar pemikiran dalam penelitian sastra berperspektif feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan seperti tercermin dalam karya sastra. Peran dan kedudukan perempuan tersebut akan menjadi sentral pembahasan dalam penelitian ini. Peneliti akan memperhatikan dominasi laki-laki atau gerakan perempuan. Feminisme adalah pendekatan yang umumnya membahas tentang wanita. Feminisme mempunyai banyak pengertian.

Menurut feminisme marxis (dalam Anwar, 2009:13), wanita justru membutuhkan pengetahuan yang lebih luas mengenai berbagai aturan permainan dalam seni yang terdapat dalam kesadaran sosial mereka. Wanita membutuhkan kritik feminis untuk menentang berbagai bentuk institusi sastra dan relasi-relasi kesasteraan yang ada antara pengarang dan pembaca, artinya melalui feminisme wanita dapat menginterogasi dan mengasosiasikan kembali berbagai masalah penciptaan nilai dalam sastra.

Menurut Humm (dalam Wiyatmi, 2012:12) “Feminisme menggabungkan doktrin persamaan hak bagi perempuan yang menjadi gerakan yang terorganisasi untuk mencapai hak asasi perempuan, dengan sebuah ideologi transformasi sosial yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi perempuan”. Pemikiran dan gerakan feminisme lahir untuk mengakhiri dominasi laki-laki terhadap perempuan yang terjadi di dalam masyarakat (Ruthven dalam Wiyatmi, 2012:12-13). Kemudian adapun feminisme menurut Goefe (dalam Sugihastuti dan Septiawan, 2010:93) feminisme ialah “teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial: atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan”. Jika dilihat dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa Feminisme merupakan ideologi pembebasan perempuan dengan keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan yang disebabkan oleh perbedaan jenis kelaminnya. Salah satu alasan yang mendukung dalam hal ini adalah kenyataan bahwa feminisme tidak hanya memperjuangkan masalah gender, tetapi juga masalah kemanusiaan.

Pendekatan Strukturalisme

Menurut Endraswara (2008:49) “strukturalis pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Dalam pandangan ini karya sastra diasumsikan sebagai fenomena yang memiliki struktur yang yang saling terkait satu sama lain”. Kodrat struktur itu akan bermakna apabila dihubungkan dengan struktur lain. Struktur tersebut memiliki bagan yang kompleks, sehingga pemaknaan harus diarahkan ke dalam hubungan antar unsur secara keseluruhan. Keseluruhan akan lebih berarti dibanding bagian atau fragmen struktur.

Sedangkan menurut Junus (dalam Endraswara, 2018:49) “strukturalisme memang sering dipahami sebagai bentuk. Karya sastra adalah bentuk. Karena itu, strukturalisme sering dianggap sekadar formalisme modern”. Jadi, dapat disimpulkan bahwa strukturalisme merupakan cabang penelitian sastra yang tidak bisa lepas dari aspek-aspek linguistik, strukturalisme hadir sebagai upaya melengkapi penelitian sastra.

Kritik Sastra Feminis

Kritik sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra yang memanfaatkan kerangka teori feminisme dalam menginterpretasi dan memberikan evaluasi terhadap karya sastra. Sebelum memahami lebih lanjut bagaimana karakteristik kritik sastra feminis, sebelumnya perlu diuraikan pengertian kritik sastra terlebih dahulu, khususnya dalam kerangka keilmuan sastra. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam pengertian sehari-hari kata kritik dapat diartikan sebagai penilaian terhadap suatu fenomena yang terjadi di dalam masyarakat.

Sastra (karya sastra) merupakan karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahan sastra adalah bahasa yang sudah berarti. Dalam karya sastra, arti bahasa ditentukan oleh konvensi sastra atau disesuaikan dengan konvensi sastra. Jadi, dalam sastra arti bahasa ditingkatkan menjadi arti sastra atau makna meskipun tidak lepas sama sekali dari arti bahasanya (Pradopo, 2003:121).

Menurut Wellek (dalam Wiyatmi 2012:02) “Kritik sastra adalah studi karya sastra yang konkret dengan penekanan pada penilaiannya”. Penadapat tersebut senada dengan pendapat Abrams (dalam Wiyatmi, 2012:03) yang menyatakan bahwa “kritik sastra adalah studi yang berkenaan dengan pembatasan, pengkelasan, penganalisisan, dan penilaian karya sastra”. Kritik sastra adalah ilmu sastra untuk “menghakimi” karya sastra guna untuk memberikan penilaian, dan memberikan keputusan bermutu atau tidak suatu karya sastra yang sedang dihadapi oleh kritikus (Pradopo dalam Wiyatmi, 2012:03). Beberapa batasan pengertian kritik sastra tersebut menunjukkan kepada kita bahwa kritik sastra merupakan suatu cabang studi sastra yang langsung berhubungan dengan karya sastra dengan melalui interpretasi (penafsiran), analisis (penguraian), dan penilaian (evaluasi).

Jehlen (dalam Anwar, 2009:48) menjelaskan bahwa “kritik sastra feminis terus memahami tulisan-tulisan wanita dalam perubahannya secara historis dan kultural yang dihubungkan dengan struktur teks yang diidentifikasi sebagai suatu upaya wanita untuk mengemukakan aspirasi feminisnya dalam sastra“. Kolodny (dalam Anwar, 2009:43) menegaskan bahwa “tugas utama kritik feminis adalah mencari perbedaan-perbedaan pengalaman yang mendasari penggunaan-penggunaan imaji dalam merepresentasikan wanita”. Metode kritik feminis harus mencari kenyataan yang ada dibalik fiksi (cerita rekaan). Maksudnya sebelum menganalisis cerita fiksi, penulis harus terlebih dahulu mencari atau mengamati fakta atau kenyataan disekitar lingkungan yang ada dan berhubungan dengan apa yang akan di teliti atau di analisis, sehingga penelitian tersebut dapat berwujud nyata, untuk itu kritik feminis harus berpijak secara hati-hati sebelum menyatakan bahwa pengarang wanita yang mempersepsi kenyataan atau karakter wanita adalah suatu penyimpangan (Anwar, 2009:43). Jadi kesimpulan dari kritik sastra feminisme secara sederhana adalah sebuah kritik sastra yang memandang sastra dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan manusia. Kritik sastra feminis juga mempermasalahkan asumsi tentang perempuan yang berdasarkan pemahaman tertentu yang selalu dikaitkan dengan kodrat perempuan yang kemudian menimbulkan isu tertentu tentang perempuan.

No comments:

Post a Comment