Pengertian Ila’

Tuesday, November 6, 2018

EFISIENSI PENDIDIKAN

Pada hakikatnya masalah efisiensi adalah masalah pengelolaan pendidikan, terutama dalam pemanfaatan dana dan sumber daya manusia. Efesiensi artinya dengan menggunakan tenaga dan biaya sekecil-kecilnya dapat diperoleh hasil yang sebesar-besarnya. Jadi, sistem pendidikan yang efesien ialah dengan tenaga dan dana yang terbatas dapat di hasilkan sejumlah besar lulusan yang berkualitas tinggi. Oleh sebab itu, keterpaduan pengelolaan pendidikan harus tampak diantara semua unsur dan unit, baik antar sekolah negeri maupun swasta, pendidikan sekolah maupun luar sekolah, antara lembaga dan unit jajaran depertemen pendidikan dan kebudayaan. Para ahli banyak mengatakan bahwa sistem pendidiakn sekarang ini masih kurang efisien. Hal ini tampak dari banyaknya anak yang drop-out, banyak anak yang belum dapat pelayanan pendidikan, banyak anak yang tinggal kelas, dan kurang dapat pelayanan yang semestinya bagi anak-anak yang lemah maupun yang luar biasa cerdas dan genius. Oleh karena itu, harus berusaha untuk menemukan cara agar pelaksanaan pendidikan menjadi efisien. Masalah efisiensi pendidikan mempersoalkan bagaimana suatu sistem pendidikn mendayagunakan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan. Jika penggunaannya hemat dan tepat sasaran dikatakan efisiensinya tinggi. Beberapa masalah efisiensi pendidikan yang penting adalah:
  1. Bagaimana tenaga kependidikan difungsikan.
  2. Bagaimana prasarana dan sarana pendidikan digunakan.
  3. Bagaimana pendidikan diselenggarakan.
  4. Masalah efisiensi dalam memfungsikan tenaga.
Masalah ini meliputi pengangkatan, penempatan, dan pengembanagan tenaga kependidikan. Masalah pengangkatan terletak pada kesenjanagn antara stok tenaga yang tesedia dengan jatah pengangkatan yang sangat terbatas. Pada masa 5 tahun terakgir ini jatah pengangkatan setiap tahunnya hanya sekitar 20 % dari kebutuhan tenaga lapangan. Sedangkan persediaan tenaga siap di angkat lebih bear daripada kbutuhan di lapangan. Dengan demikian berarti lebih dari 80% tenaga yang tersedia tidak segera difungsikan. Ini terjadi kemubadziran yang terselubung, karena biaya investasi pengadaan tenaga tidak segera terbayar kembali melalui pengabdian. Dan tenaga kependidikan khususnya guru tidak disiapkan untk berwirausaha.

Masalah penempatan guru, khususnya guru bidang penempatan studi, sering mengalami kepincanagn, tidak disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Suatu sekolah menerima guru baru dalam bidang studi yang sudah cukup atau bahkan sudah kelebihan, sedang guru bidang studi yang dibutuhkan tidak diberikan karena terbatasnya jatah pengangkatan sehingga di tempatkan didaerah sekolah-sekolah tertentu seorang guru bidang studi harus merangkap mengajarkan bidang studi diluar kewenangannya, meskipun persediaan tenaga yang direncanakan secara makro telah mencukupi kebutuhan, namun mengalami masalah penempatan karena terbatasnya jumlah yang dapat diangkat dan sulitnya menjaring tenaga kerja yang tesedia didaerah terpencil. Masalah pengembanagan tenaga kependidikan di lapangan biasanya terlambat, khususnya pada saat menyongsong hadirnya kurikulum baru. Setiap pembaruan kurikulum menuntut adanya penyesuaian dari para pelaksana lapangan. Dapat dikatakan umumnya penanganan pengembanagn tenaga pelaksana di lapangan sangat lambat. Padahal proses pembekalan untuk dapat siap melaksanakan kurikulum baru sangat memakan waktu. Akibatnya terjadi kesenjangan antara saat di rencanakan berlakunya kurikulum dengan saat mulai dilaksanakan.dan pendidikan berlangsung kurang efisien dan efektif.

Monday, November 5, 2018

Konflik Dalam Mengemudi

Pengertian Aggressive Driving

Menurut Tasca (dalam utari, 2016), suatu perilaku mengemudi dikatakan agresif jika dilakukan secara sengaja, cenderung meningkatkan risiko tabrakan dan dimotivasi oleh ketidaksabaran, kekesalan, permusuhan atau upaya untuk menghemat waktu.

Aggressive driving dapat melibatkan berbagai perilaku berbeda termasuk perilaku membuntuti, mengklakson, melakukan gerakan kasar, mengedipkan lampu jauh disuasana lalu lintas tenang (Houston, dkk.; dalam utari, 2016).

Menurut James & Nahl (2000), aggressive driving mengacu kepada perilaku kesembronoan, seperti menerobos lampu merah atau kekerasan pada pengemudi lain. Kebiasaan mengemudi agresif yang mendarah daging, meliputi semua aspek mengemudi, apakah itu pengkritik yang kronis, pemaki, mengemudi dijalur gerbong, pengisi celah, mengemudi yang terlalu dekat dengan pengemudi lain, mengemudi terlalu cepat, atau keseluruhannya.

Freud (dalam James & Nahl, 2000), mengembangkan teori Darwin dari aggresi manusia, masih popular hingga saat ini, yang memperlihatkan kemarahan sebagai insting biologis. Agresi dan kekerasan memaksa destruktif diridalam perjuangan bawaan antara hidup dan mati.Agresivitas dan ketegasan jelas berbeda maksudnya, tetapi terkadang mereka sulit untuk membedakan perilaku.Dalam masyarakat, kompetisi dan ketidaksetujuan sering digunakan sebagai mekanisme untuk membangun identitas.Teori biologis dari agresivitas juga telah digunakan untuk merealisasikan perilaku mengemudi agresif.

Menurut Philippe, dkk. (2009), gairah seseorang juga dapat mempengaruhi aggressive driving.Ada dua jenis gairah yang diteliti olehnya, yaitu gairah obsesi dan gairah harmoni.

Dari beberapa definisi yang diungkapkan oleh para ahli mengenai aggressive driving, maka dapat disimpulkan bahwa aggressive driving merupakan suatu perilaku dalam mengemudi yang mengacu pada perilaku kesembronoan dan kekerasan, yang dilakukan dengan sengaja dimotivasi oleh ketidaksabaran, kekesalan, permusuhan atau upaya untuk menghemat waktu yang dipengaruhi oleh emosi yang terganggu yang menghasilkan perilaku yang mengakibatkan risiko terhadap orang lain melibatkan berbagai perilaku berbeda termasuk perilaku membuntuti, mengklakson, melakukan gerakan kasar, mengedipkan lampu jauh disuasana lalu lintas tenang.

Bentuk Perilaku Aggreassive Driving

James & Nahl (2000) menyebutkan beberapa bentuk perilaku lain yang dilakukan oleh aggreassive driver, yaitu:
  1. Making obscene gestures, yaitu membuat isyarat yang tidak sopan yang ditujukan kepada pengendara lain.
  2. Passing on the shoulder, yaitu mengemudi terlalu merapat kebahu jalan.
  3. Failing to yield to merging traffic, yaitu kurangnya rasa mengalah pengemudi untuk mengantri pada saat jalan sedang macet.
  4. Flashing high beams at other drivers, yaitu mengedip-ngedipkan lampu jauh pada pengemudi lain.
  5. Speeding up to yellow light, yaitu mempercepat kendaraan saat lampu kuning menyala.
  6. Changing lane without signaling, yaitu mengganti jalur tanpa memberi tanda kepada kendaraan lain.
  7. Blocking the lane, yaitu menghalangi jalan orang lain.
  8. Honking the horn, yaitu membunyikan klakson.
  9. Going over speed limit, yaitu mengemudi diatas batas kecepatan.
  10. Tailgating, yaitu mengemudi dengan jarak yang sangat dekat dengan orang didepan agar pengemudi didepan melaju lebih cepat.
Aspek Konflik Dalam Mengemudi

James & Nahl (2000) menyebutkan beberapa aspek konflik dalam mengemudi yang dilakukan sebagai stressor,yaitu:
  1. Immobility. Sebagian besar tubuh tetap diam dan pasif selama mengemudi, tidak seperti berjalan, diamana seluruh tubuh mengerahkan usaha dan tetap berlanjut dengan aktif.Ketegangan cenderung terbentuk saat tubuh secara fisik terbatasi.
  2. Restriction. Dicegah untuk maju saat yang diinginkan dapat membangkitkan frustasi, dan bersamaan dengan itu kegelisahan dan keinginankuat untuk melepaskan diri dari ratifikasi tersebut.
  3. Regulation. Mengemudi merupakan aktivitas yang diatur dengan tinggi.Pengemudi dihukum untuk mengatur kekerasan.Peraturan ini, meskipun diperbolehkan dan jelas dibutuhkan, terasa seperti pemaksaan dan membangkitkan banyak pemberontakan, yang mana meminta mereka untuk mengabaikan aturan yang terlihat menjadi salah atau tidak masuk akal.
  4. Lack of personal control. Kurangnya control pribadi atas kejadian lalulintas ini membuat frustasi dan sering menyebabkan pelampiasan kemarahan kepada siapapun disekitarnya, biasanya pengemudi lain atau penumpang.
  5. Being put in danger. Lalu lintas padat yang dipenuhi dengan pengemudi yang tidak sabar dan agresif dapat menjadi menyeramkan dan menimbulkan perseteruan, dalam beberapa waktu.
  6. Territoriality. Mobil kita adalah kastil kita dan ruang disekitar mobil adalah wilayah kita. Ketika ada pengemudi lain yang menyerbu wilayah kita dan mengancam kastil kita, kita sering merespon dengan permusuhan, ketika dengan gerakan berperang dan reaksi yang agresif untuk kejadian rutin.
  7. Diversity. Adanya perbedaan dalam masyarakat kurang terprediksi karena pengemudi dengan keahlian yang berbeda dan tujuan tidak berperilaku menurut norma yang diharapkan.
  8. Multitasking. Peningkatan komplesitas dashboard dan aktivitas mobil lainnya seperti berbicara ditelepon atau mengecek email menantang kemampuan kita untuk tetap waspada dan fokus dibelakang kemudi.
  9. Denial. Ketika penumpang mengeluh atau ketika pengemudi lain terancam oleh kesalahan peengemudi lainnya, ada kecenderungan yang kuat dari individu untuk menyangkal kesalahan dan melihat keluhan sebagai sesuatu yang berlebihan, perseteruan atau tidak beralasan. Penyangkalan ini disebabkan karena kita merasa marah dan benar sendiri cukup untuk menghukum dan membalas.
  10. Negativity. Budaya saling permuduhan antar pengemudi memperlihatkan kehidupan emosional yang positif dan negatif dibelakang kemudi.
  11. Self_serving. Kejadian dalam mengemudi tidaklah netral, seseorang selalu dianggap bersalah. Kecenderungan untuk menyalahkan orang lain adalah alami, tetapi mempengaruhi memori dari apa yang terjadi dan kita dengan mudah kehilangan objektivitas dan menilai dalam perselisihan.
  12. Venting. Budaya kita memungkinkan dan bahkan mendorong seseorang untuk melampiaskan kemarahan.Hal tersebut seharusnya menjadi sehat untuk “melepaskan” bukannya menyimpannya di dalam.Tetapi melampiaskan memiliki logika sendiri dan pelampiasan kemarahan cenderung untuk berkembang sampai pecah menjadi permusuhan yang terbuka.
  13. Unpredictability. Lingkungan mengemudi membutuhkan penyesuaian emosional yang konstan terhadap kejadian tak terduga, membosankan, brutal, dan berbahaya
  14. Isolation. pengemudi tidak dapat berkomunikasi. Tidak ada cara mudah untuk mengatakan,”oops, maaf!” sebagaimana yang kita lakukan di antrian bank.
  15. Emotional challenges. Banyak dari pengemudi yang tidak profesional tidak cukup latihan dalam keahlian kognitif dan afektif. Keahlian kognitif merupakan kebiasaan yang baik dari pikiran dan menilai dalam situasi yang menantang..keahlian afektif merupakan kebiasaan yang baik dari sikap dan memotivasi dalam situasi yang menantang. Pengemudi sering kali kurangnya keahlian untuk mengatasi emosi dalam mengemudi.

Bentuk Perilaku Aggreassive Driving

Pengertian Aggressive Driving

Menurut Tasca (dalam utari, 2016), suatu perilaku mengemudi dikatakan agresif jika dilakukan secara sengaja, cenderung meningkatkan risiko tabrakan dan dimotivasi oleh ketidaksabaran, kekesalan, permusuhan atau upaya untuk menghemat waktu.

Aggressive driving dapat melibatkan berbagai perilaku berbeda termasuk perilaku membuntuti, mengklakson, melakukan gerakan kasar, mengedipkan lampu jauh disuasana lalu lintas tenang (Houston, dkk.; dalam utari, 2016).

Menurut James & Nahl (2000), aggressive driving mengacu kepada perilaku kesembronoan, seperti menerobos lampu merah atau kekerasan pada pengemudi lain. Kebiasaan mengemudi agresif yang mendarah daging, meliputi semua aspek mengemudi, apakah itu pengkritik yang kronis, pemaki, mengemudi dijalur gerbong, pengisi celah, mengemudi yang terlalu dekat dengan pengemudi lain, mengemudi terlalu cepat, atau keseluruhannya.

Freud (dalam James & Nahl, 2000), mengembangkan teori Darwin dari aggresi manusia, masih popular hingga saat ini, yang memperlihatkan kemarahan sebagai insting biologis. Agresi dan kekerasan memaksa destruktif diridalam perjuangan bawaan antara hidup dan mati.Agresivitas dan ketegasan jelas berbeda maksudnya, tetapi terkadang mereka sulit untuk membedakan perilaku.Dalam masyarakat, kompetisi dan ketidaksetujuan sering digunakan sebagai mekanisme untuk membangun identitas.Teori biologis dari agresivitas juga telah digunakan untuk merealisasikan perilaku mengemudi agresif.

Menurut Philippe, dkk. (2009), gairah seseorang juga dapat mempengaruhi aggressive driving.Ada dua jenis gairah yang diteliti olehnya, yaitu gairah obsesi dan gairah harmoni.

Dari beberapa definisi yang diungkapkan oleh para ahli mengenai aggressive driving, maka dapat disimpulkan bahwa aggressive driving merupakan suatu perilaku dalam mengemudi yang mengacu pada perilaku kesembronoan dan kekerasan, yang dilakukan dengan sengaja dimotivasi oleh ketidaksabaran, kekesalan, permusuhan atau upaya untuk menghemat waktu yang dipengaruhi oleh emosi yang terganggu yang menghasilkan perilaku yang mengakibatkan risiko terhadap orang lain melibatkan berbagai perilaku berbeda termasuk perilaku membuntuti, mengklakson, melakukan gerakan kasar, mengedipkan lampu jauh disuasana lalu lintas tenang.

Bentuk Perilaku Aggreassive Driving

James & Nahl (2000) menyebutkan beberapa bentuk perilaku lain yang dilakukan oleh aggreassive driver, yaitu:
  1. Making obscene gestures, yaitu membuat isyarat yang tidak sopan yang ditujukan kepada pengendara lain.
  2. Passing on the shoulder, yaitu mengemudi terlalu merapat kebahu jalan.
  3. Failing to yield to merging traffic, yaitu kurangnya rasa mengalah pengemudi untuk mengantri pada saat jalan sedang macet.
  4. Flashing high beams at other drivers, yaitu mengedip-ngedipkan lampu jauh pada pengemudi lain.
  5. Speeding up to yellow light, yaitu mempercepat kendaraan saat lampu kuning menyala.
  6. Changing lane without signaling, yaitu mengganti jalur tanpa memberi tanda kepada kendaraan lain.
  7. Blocking the lane, yaitu menghalangi jalan orang lain.
  8. Honking the horn, yaitu membunyikan klakson.
  9. Going over speed limit, yaitu mengemudi diatas batas kecepatan.
  10. Tailgating, yaitu mengemudi dengan jarak yang sangat dekat dengan orang didepan agar pengemudi didepan melaju lebih cepat.
Aspek Konflik Dalam Mengemudi

James & Nahl (2000) menyebutkan beberapa aspek konflik dalam mengemudi yang dilakukan sebagai stressor,yaitu:
  1. Immobility. Sebagian besar tubuh tetap diam dan pasif selama mengemudi, tidak seperti berjalan, diamana seluruh tubuh mengerahkan usaha dan tetap berlanjut dengan aktif.Ketegangan cenderung terbentuk saat tubuh secara fisik terbatasi.
  2. Restriction. Dicegah untuk maju saat yang diinginkan dapat membangkitkan frustasi, dan bersamaan dengan itu kegelisahan dan keinginankuat untuk melepaskan diri dari ratifikasi tersebut.
  3. Regulation. Mengemudi merupakan aktivitas yang diatur dengan tinggi.Pengemudi dihukum untuk mengatur kekerasan.Peraturan ini, meskipun diperbolehkan dan jelas dibutuhkan, terasa seperti pemaksaan dan membangkitkan banyak pemberontakan, yang mana meminta mereka untuk mengabaikan aturan yang terlihat menjadi salah atau tidak masuk akal.
  4. Lack of personal control. Kurangnya control pribadi atas kejadian lalulintas ini membuat frustasi dan sering menyebabkan pelampiasan kemarahan kepada siapapun disekitarnya, biasanya pengemudi lain atau penumpang.
  5. Being put in danger. Lalu lintas padat yang dipenuhi dengan pengemudi yang tidak sabar dan agresif dapat menjadi menyeramkan dan menimbulkan perseteruan, dalam beberapa waktu.
  6. Territoriality. Mobil kita adalah kastil kita dan ruang disekitar mobil adalah wilayah kita. Ketika ada pengemudi lain yang menyerbu wilayah kita dan mengancam kastil kita, kita sering merespon dengan permusuhan, ketika dengan gerakan berperang dan reaksi yang agresif untuk kejadian rutin.
  7. Diversity. Adanya perbedaan dalam masyarakat kurang terprediksi karena pengemudi dengan keahlian yang berbeda dan tujuan tidak berperilaku menurut norma yang diharapkan.
  8. Multitasking. Peningkatan komplesitas dashboard dan aktivitas mobil lainnya seperti berbicara ditelepon atau mengecek email menantang kemampuan kita untuk tetap waspada dan fokus dibelakang kemudi.
  9. Denial. Ketika penumpang mengeluh atau ketika pengemudi lain terancam oleh kesalahan peengemudi lainnya, ada kecenderungan yang kuat dari individu untuk menyangkal kesalahan dan melihat keluhan sebagai sesuatu yang berlebihan, perseteruan atau tidak beralasan. Penyangkalan ini disebabkan karena kita merasa marah dan benar sendiri cukup untuk menghukum dan membalas.
  10. Negativity. Budaya saling permuduhan antar pengemudi memperlihatkan kehidupan emosional yang positif dan negatif dibelakang kemudi.
  11. Self_serving. Kejadian dalam mengemudi tidaklah netral, seseorang selalu dianggap bersalah. Kecenderungan untuk menyalahkan orang lain adalah alami, tetapi mempengaruhi memori dari apa yang terjadi dan kita dengan mudah kehilangan objektivitas dan menilai dalam perselisihan.
  12. Venting. Budaya kita memungkinkan dan bahkan mendorong seseorang untuk melampiaskan kemarahan.Hal tersebut seharusnya menjadi sehat untuk “melepaskan” bukannya menyimpannya di dalam.Tetapi melampiaskan memiliki logika sendiri dan pelampiasan kemarahan cenderung untuk berkembang sampai pecah menjadi permusuhan yang terbuka.
  13. Unpredictability. Lingkungan mengemudi membutuhkan penyesuaian emosional yang konstan terhadap kejadian tak terduga, membosankan, brutal, dan berbahaya
  14. Isolation. pengemudi tidak dapat berkomunikasi. Tidak ada cara mudah untuk mengatakan,”oops, maaf!” sebagaimana yang kita lakukan di antrian bank.
  15. Emotional challenges. Banyak dari pengemudi yang tidak profesional tidak cukup latihan dalam keahlian kognitif dan afektif. Keahlian kognitif merupakan kebiasaan yang baik dari pikiran dan menilai dalam situasi yang menantang..keahlian afektif merupakan kebiasaan yang baik dari sikap dan memotivasi dalam situasi yang menantang. Pengemudi sering kali kurangnya keahlian untuk mengatasi emosi dalam mengemudi.

Pengertian Aggressive Driving

Pengertian Aggressive Driving

Menurut Tasca (dalam utari, 2016), suatu perilaku mengemudi dikatakan agresif jika dilakukan secara sengaja, cenderung meningkatkan risiko tabrakan dan dimotivasi oleh ketidaksabaran, kekesalan, permusuhan atau upaya untuk menghemat waktu.

Aggressive driving dapat melibatkan berbagai perilaku berbeda termasuk perilaku membuntuti, mengklakson, melakukan gerakan kasar, mengedipkan lampu jauh disuasana lalu lintas tenang (Houston, dkk.; dalam utari, 2016).

Menurut James & Nahl (2000), aggressive driving mengacu kepada perilaku kesembronoan, seperti menerobos lampu merah atau kekerasan pada pengemudi lain. Kebiasaan mengemudi agresif yang mendarah daging, meliputi semua aspek mengemudi, apakah itu pengkritik yang kronis, pemaki, mengemudi dijalur gerbong, pengisi celah, mengemudi yang terlalu dekat dengan pengemudi lain, mengemudi terlalu cepat, atau keseluruhannya.

Freud (dalam James & Nahl, 2000), mengembangkan teori Darwin dari aggresi manusia, masih popular hingga saat ini, yang memperlihatkan kemarahan sebagai insting biologis. Agresi dan kekerasan memaksa destruktif diridalam perjuangan bawaan antara hidup dan mati.Agresivitas dan ketegasan jelas berbeda maksudnya, tetapi terkadang mereka sulit untuk membedakan perilaku.Dalam masyarakat, kompetisi dan ketidaksetujuan sering digunakan sebagai mekanisme untuk membangun identitas.Teori biologis dari agresivitas juga telah digunakan untuk merealisasikan perilaku mengemudi agresif.

Menurut Philippe, dkk. (2009), gairah seseorang juga dapat mempengaruhi aggressive driving.Ada dua jenis gairah yang diteliti olehnya, yaitu gairah obsesi dan gairah harmoni.

Dari beberapa definisi yang diungkapkan oleh para ahli mengenai aggressive driving, maka dapat disimpulkan bahwa aggressive driving merupakan suatu perilaku dalam mengemudi yang mengacu pada perilaku kesembronoan dan kekerasan, yang dilakukan dengan sengaja dimotivasi oleh ketidaksabaran, kekesalan, permusuhan atau upaya untuk menghemat waktu yang dipengaruhi oleh emosi yang terganggu yang menghasilkan perilaku yang mengakibatkan risiko terhadap orang lain melibatkan berbagai perilaku berbeda termasuk perilaku membuntuti, mengklakson, melakukan gerakan kasar, mengedipkan lampu jauh disuasana lalu lintas tenang.

Bentuk Perilaku Aggreassive Driving

James & Nahl (2000) menyebutkan beberapa bentuk perilaku lain yang dilakukan oleh aggreassive driver, yaitu:
  1. Making obscene gestures, yaitu membuat isyarat yang tidak sopan yang ditujukan kepada pengendara lain.
  2. Passing on the shoulder, yaitu mengemudi terlalu merapat kebahu jalan.
  3. Failing to yield to merging traffic, yaitu kurangnya rasa mengalah pengemudi untuk mengantri pada saat jalan sedang macet.
  4. Flashing high beams at other drivers, yaitu mengedip-ngedipkan lampu jauh pada pengemudi lain.
  5. Speeding up to yellow light, yaitu mempercepat kendaraan saat lampu kuning menyala.
  6. Changing lane without signaling, yaitu mengganti jalur tanpa memberi tanda kepada kendaraan lain.
  7. Blocking the lane, yaitu menghalangi jalan orang lain.
  8. Honking the horn, yaitu membunyikan klakson.
  9. Going over speed limit, yaitu mengemudi diatas batas kecepatan.
  10. Tailgating, yaitu mengemudi dengan jarak yang sangat dekat dengan orang didepan agar pengemudi didepan melaju lebih cepat.
Aspek Konflik Dalam Mengemudi

James & Nahl (2000) menyebutkan beberapa aspek konflik dalam mengemudi yang dilakukan sebagai stressor,yaitu:
  1. Immobility. Sebagian besar tubuh tetap diam dan pasif selama mengemudi, tidak seperti berjalan, diamana seluruh tubuh mengerahkan usaha dan tetap berlanjut dengan aktif.Ketegangan cenderung terbentuk saat tubuh secara fisik terbatasi.
  2. Restriction. Dicegah untuk maju saat yang diinginkan dapat membangkitkan frustasi, dan bersamaan dengan itu kegelisahan dan keinginankuat untuk melepaskan diri dari ratifikasi tersebut.
  3. Regulation. Mengemudi merupakan aktivitas yang diatur dengan tinggi.Pengemudi dihukum untuk mengatur kekerasan.Peraturan ini, meskipun diperbolehkan dan jelas dibutuhkan, terasa seperti pemaksaan dan membangkitkan banyak pemberontakan, yang mana meminta mereka untuk mengabaikan aturan yang terlihat menjadi salah atau tidak masuk akal.
  4. Lack of personal control. Kurangnya control pribadi atas kejadian lalulintas ini membuat frustasi dan sering menyebabkan pelampiasan kemarahan kepada siapapun disekitarnya, biasanya pengemudi lain atau penumpang.
  5. Being put in danger. Lalu lintas padat yang dipenuhi dengan pengemudi yang tidak sabar dan agresif dapat menjadi menyeramkan dan menimbulkan perseteruan, dalam beberapa waktu.
  6. Territoriality. Mobil kita adalah kastil kita dan ruang disekitar mobil adalah wilayah kita. Ketika ada pengemudi lain yang menyerbu wilayah kita dan mengancam kastil kita, kita sering merespon dengan permusuhan, ketika dengan gerakan berperang dan reaksi yang agresif untuk kejadian rutin.
  7. Diversity. Adanya perbedaan dalam masyarakat kurang terprediksi karena pengemudi dengan keahlian yang berbeda dan tujuan tidak berperilaku menurut norma yang diharapkan.
  8. Multitasking. Peningkatan komplesitas dashboard dan aktivitas mobil lainnya seperti berbicara ditelepon atau mengecek email menantang kemampuan kita untuk tetap waspada dan fokus dibelakang kemudi.
  9. Denial. Ketika penumpang mengeluh atau ketika pengemudi lain terancam oleh kesalahan peengemudi lainnya, ada kecenderungan yang kuat dari individu untuk menyangkal kesalahan dan melihat keluhan sebagai sesuatu yang berlebihan, perseteruan atau tidak beralasan. Penyangkalan ini disebabkan karena kita merasa marah dan benar sendiri cukup untuk menghukum dan membalas.
  10. Negativity. Budaya saling permuduhan antar pengemudi memperlihatkan kehidupan emosional yang positif dan negatif dibelakang kemudi.
  11. Self_serving. Kejadian dalam mengemudi tidaklah netral, seseorang selalu dianggap bersalah. Kecenderungan untuk menyalahkan orang lain adalah alami, tetapi mempengaruhi memori dari apa yang terjadi dan kita dengan mudah kehilangan objektivitas dan menilai dalam perselisihan.
  12. Venting. Budaya kita memungkinkan dan bahkan mendorong seseorang untuk melampiaskan kemarahan.Hal tersebut seharusnya menjadi sehat untuk “melepaskan” bukannya menyimpannya di dalam.Tetapi melampiaskan memiliki logika sendiri dan pelampiasan kemarahan cenderung untuk berkembang sampai pecah menjadi permusuhan yang terbuka.
  13. Unpredictability. Lingkungan mengemudi membutuhkan penyesuaian emosional yang konstan terhadap kejadian tak terduga, membosankan, brutal, dan berbahaya
  14. Isolation. pengemudi tidak dapat berkomunikasi. Tidak ada cara mudah untuk mengatakan,”oops, maaf!” sebagaimana yang kita lakukan di antrian bank.
  15. Emotional challenges. Banyak dari pengemudi yang tidak profesional tidak cukup latihan dalam keahlian kognitif dan afektif. Keahlian kognitif merupakan kebiasaan yang baik dari pikiran dan menilai dalam situasi yang menantang..keahlian afektif merupakan kebiasaan yang baik dari sikap dan memotivasi dalam situasi yang menantang. Pengemudi sering kali kurangnya keahlian untuk mengatasi emosi dalam mengemudi.

Aggressive Driving

Pengertian Aggressive Driving

Menurut Tasca (dalam utari, 2016), suatu perilaku mengemudi dikatakan agresif jika dilakukan secara sengaja, cenderung meningkatkan risiko tabrakan dan dimotivasi oleh ketidaksabaran, kekesalan, permusuhan atau upaya untuk menghemat waktu.

Aggressive driving dapat melibatkan berbagai perilaku berbeda termasuk perilaku membuntuti, mengklakson, melakukan gerakan kasar, mengedipkan lampu jauh disuasana lalu lintas tenang (Houston, dkk.; dalam utari, 2016).

Menurut James & Nahl (2000), aggressive driving mengacu kepada perilaku kesembronoan, seperti menerobos lampu merah atau kekerasan pada pengemudi lain. Kebiasaan mengemudi agresif yang mendarah daging, meliputi semua aspek mengemudi, apakah itu pengkritik yang kronis, pemaki, mengemudi dijalur gerbong, pengisi celah, mengemudi yang terlalu dekat dengan pengemudi lain, mengemudi terlalu cepat, atau keseluruhannya.

Freud (dalam James & Nahl, 2000), mengembangkan teori Darwin dari aggresi manusia, masih popular hingga saat ini, yang memperlihatkan kemarahan sebagai insting biologis. Agresi dan kekerasan memaksa destruktif diridalam perjuangan bawaan antara hidup dan mati.Agresivitas dan ketegasan jelas berbeda maksudnya, tetapi terkadang mereka sulit untuk membedakan perilaku.Dalam masyarakat, kompetisi dan ketidaksetujuan sering digunakan sebagai mekanisme untuk membangun identitas.Teori biologis dari agresivitas juga telah digunakan untuk merealisasikan perilaku mengemudi agresif.

Menurut Philippe, dkk. (2009), gairah seseorang juga dapat mempengaruhi aggressive driving.Ada dua jenis gairah yang diteliti olehnya, yaitu gairah obsesi dan gairah harmoni.

Dari beberapa definisi yang diungkapkan oleh para ahli mengenai aggressive driving, maka dapat disimpulkan bahwa aggressive driving merupakan suatu perilaku dalam mengemudi yang mengacu pada perilaku kesembronoan dan kekerasan, yang dilakukan dengan sengaja dimotivasi oleh ketidaksabaran, kekesalan, permusuhan atau upaya untuk menghemat waktu yang dipengaruhi oleh emosi yang terganggu yang menghasilkan perilaku yang mengakibatkan risiko terhadap orang lain melibatkan berbagai perilaku berbeda termasuk perilaku membuntuti, mengklakson, melakukan gerakan kasar, mengedipkan lampu jauh disuasana lalu lintas tenang.

Bentuk Perilaku Aggreassive Driving

James & Nahl (2000) menyebutkan beberapa bentuk perilaku lain yang dilakukan oleh aggreassive driver, yaitu:
  1. Making obscene gestures, yaitu membuat isyarat yang tidak sopan yang ditujukan kepada pengendara lain.
  2. Passing on the shoulder, yaitu mengemudi terlalu merapat kebahu jalan.
  3. Failing to yield to merging traffic, yaitu kurangnya rasa mengalah pengemudi untuk mengantri pada saat jalan sedang macet.
  4. Flashing high beams at other drivers, yaitu mengedip-ngedipkan lampu jauh pada pengemudi lain.
  5. Speeding up to yellow light, yaitu mempercepat kendaraan saat lampu kuning menyala.
  6. Changing lane without signaling, yaitu mengganti jalur tanpa memberi tanda kepada kendaraan lain.
  7. Blocking the lane, yaitu menghalangi jalan orang lain.
  8. Honking the horn, yaitu membunyikan klakson.
  9. Going over speed limit, yaitu mengemudi diatas batas kecepatan.
  10. Tailgating, yaitu mengemudi dengan jarak yang sangat dekat dengan orang didepan agar pengemudi didepan melaju lebih cepat.
Aspek Konflik Dalam Mengemudi

James & Nahl (2000) menyebutkan beberapa aspek konflik dalam mengemudi yang dilakukan sebagai stressor,yaitu:
  1. Immobility. Sebagian besar tubuh tetap diam dan pasif selama mengemudi, tidak seperti berjalan, diamana seluruh tubuh mengerahkan usaha dan tetap berlanjut dengan aktif.Ketegangan cenderung terbentuk saat tubuh secara fisik terbatasi.
  2. Restriction. Dicegah untuk maju saat yang diinginkan dapat membangkitkan frustasi, dan bersamaan dengan itu kegelisahan dan keinginankuat untuk melepaskan diri dari ratifikasi tersebut.
  3. Regulation. Mengemudi merupakan aktivitas yang diatur dengan tinggi.Pengemudi dihukum untuk mengatur kekerasan.Peraturan ini, meskipun diperbolehkan dan jelas dibutuhkan, terasa seperti pemaksaan dan membangkitkan banyak pemberontakan, yang mana meminta mereka untuk mengabaikan aturan yang terlihat menjadi salah atau tidak masuk akal.
  4. Lack of personal control. Kurangnya control pribadi atas kejadian lalulintas ini membuat frustasi dan sering menyebabkan pelampiasan kemarahan kepada siapapun disekitarnya, biasanya pengemudi lain atau penumpang.
  5. Being put in danger. Lalu lintas padat yang dipenuhi dengan pengemudi yang tidak sabar dan agresif dapat menjadi menyeramkan dan menimbulkan perseteruan, dalam beberapa waktu.
  6. Territoriality. Mobil kita adalah kastil kita dan ruang disekitar mobil adalah wilayah kita. Ketika ada pengemudi lain yang menyerbu wilayah kita dan mengancam kastil kita, kita sering merespon dengan permusuhan, ketika dengan gerakan berperang dan reaksi yang agresif untuk kejadian rutin.
  7. Diversity. Adanya perbedaan dalam masyarakat kurang terprediksi karena pengemudi dengan keahlian yang berbeda dan tujuan tidak berperilaku menurut norma yang diharapkan.
  8. Multitasking. Peningkatan komplesitas dashboard dan aktivitas mobil lainnya seperti berbicara ditelepon atau mengecek email menantang kemampuan kita untuk tetap waspada dan fokus dibelakang kemudi.
  9. Denial. Ketika penumpang mengeluh atau ketika pengemudi lain terancam oleh kesalahan peengemudi lainnya, ada kecenderungan yang kuat dari individu untuk menyangkal kesalahan dan melihat keluhan sebagai sesuatu yang berlebihan, perseteruan atau tidak beralasan. Penyangkalan ini disebabkan karena kita merasa marah dan benar sendiri cukup untuk menghukum dan membalas.
  10. Negativity. Budaya saling permuduhan antar pengemudi memperlihatkan kehidupan emosional yang positif dan negatif dibelakang kemudi.
  11. Self_serving. Kejadian dalam mengemudi tidaklah netral, seseorang selalu dianggap bersalah. Kecenderungan untuk menyalahkan orang lain adalah alami, tetapi mempengaruhi memori dari apa yang terjadi dan kita dengan mudah kehilangan objektivitas dan menilai dalam perselisihan.
  12. Venting. Budaya kita memungkinkan dan bahkan mendorong seseorang untuk melampiaskan kemarahan.Hal tersebut seharusnya menjadi sehat untuk “melepaskan” bukannya menyimpannya di dalam.Tetapi melampiaskan memiliki logika sendiri dan pelampiasan kemarahan cenderung untuk berkembang sampai pecah menjadi permusuhan yang terbuka.
  13. Unpredictability. Lingkungan mengemudi membutuhkan penyesuaian emosional yang konstan terhadap kejadian tak terduga, membosankan, brutal, dan berbahaya
  14. Isolation. pengemudi tidak dapat berkomunikasi. Tidak ada cara mudah untuk mengatakan,”oops, maaf!” sebagaimana yang kita lakukan di antrian bank.
  15. Emotional challenges. Banyak dari pengemudi yang tidak profesional tidak cukup latihan dalam keahlian kognitif dan afektif. Keahlian kognitif merupakan kebiasaan yang baik dari pikiran dan menilai dalam situasi yang menantang..keahlian afektif merupakan kebiasaan yang baik dari sikap dan memotivasi dalam situasi yang menantang. Pengemudi sering kali kurangnya keahlian untuk mengatasi emosi dalam mengemudi.