Pengertian Hukum Waris
Setiap manusia pasti mengalami peristiwa kelahiran dan akan mengalami kematian. Peristiwa kelahiran seseorang, tentunya menimbulkan akibat-akibat hukum, seperti timbulnya hubungan hokum dengan masyarakat sekitarnya, dan timbulnya hak dan kewajiban pada dirinya. Peristiwa kematian pun akan menimbulkan akibat hukum kepada orang lain, terutama pada pihak keluarganya dan pihak-pihak tertentu yang ada hubungannya dengan orang tersebut semasa hidupnya.
Secara ketentuan Umum, Hukum Waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Pada dasarnya hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan atau harta benda saja yang dapat diwaris.
Beberapa pengecualian, seperti hak seorang bapak untuk menyangkal sahnya seorang anak dan hak seorang anak untuk menuntut supaya dinyatakan sebagai anak sah dari bapak atau ibunya (kedua hak itu adalah dalam lapangan hukum kekeluargaan), dinyatakan dalam undang-undang diwarisi oleh ahli warisnya.
Pasal 830 menyebutkan, “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”. Jadi, harta peninggalan baru terbuka jika si pewaris telah meninggal dunia saat ahli waris masih hidup ketika harta warisan terbuka.
Dalam hal ini, ada ketentuan khusus dalam Pasal 2 KUHPer, yaitu anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah lahir, setiap kali kepentingan si anak menghendakinya. Bila telah mati sewaktu dilahirkan, dia dianggap tidak pernah ada.
Hukum waris menurut, fiqih mawaris adalah fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagian-bagian yang wajib diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.
Dalam bahasa Arab berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau (dari suatu kaum kepada kaum lain) disebut Al-mirats, sedangkan makna Al-mirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta, tanah atau apa saja yang berupa hak milik legal menurut syar’i.
Secara etimologi kata “faraid” merupakan jama‟ dari „furud‟ dengan makna maf’ul mafrud berarti sesuatu yang ditentukan jumlah.
Secara istilah disebut “hak-hak kewarisan yang jumlahnya telah ditentukan secara pasti dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi” Al-tirkah tarikah atau tirkah, dalam pengertian bahasa, seperti dengan mirats atau harta yang ditinggalkan. Karenanya, harta yang ditinggalkan oleh seorang pemilik harta mawarits sesudah meninggalnya, harta yang ditinggalkan oleh seorang pemilik harta mawarits sesudah meninggalnya, untuk waritsnya, dinamakan tarikah dari mati (tarikatul mayiti).
Dalam ketentuan umum Pasal 171 KHI sebagai berikut: menyatakan bahwa Hukum waris menurut KHI adalah hukum yang mengatur pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.
Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang, diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum waris. Untuk pengertian hukum “waris” sampai saat ini baik para ahli hukum Indonesia maupun didalam kepustakaan ilmu hukum Indonesia, belum terdapat keseragaman pengertian, sehingga istilah untuk hukum waris masih beragam.
Misalnya saja, Wirjono Prodjodokoro,menggunakan istilah “hukum warisan”., dan istilah “hukum kewarisan” dan Soepomo menyebutnya istilah “hukum waris”.
Pada Tahun 1991 diterbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya ditulis KHI). KHI merupakan salah satu bentuk Ijtihad para ulama dalam menentukan Hukum waris Islam sebagai hukum positif di Indonesia.
Ketentuan mengenai Kewarisan Islam diatur pada Buku II KHI Pasal 171 sampai dengan Pasal 209.
Menurut KHI Pasal 171 e Kompilasi Hukum Islam harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz) Pembayaran hutang dan pemberian untukkerabat.
Menurut Muhammad Ali Ash-Shabuni Harta bawaan atau harta peninggalan adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia, baik berbentuk benda (harta bergerak) dan hak-hak kebendaan serta hak-hak yang bukan hak kebendaan.
Sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris, terlebih dahulu harus dikeluarkan hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan si mayit, yang terdiri dari :
- Zakat atas harta peninggalan.
- Biaya pemeliharaan mayat.
- Biaya hutang-hutang yang masih ditagih oleh kreditor (pemberi pinjaman) hal ini sejalan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad yang artinya berbunyi sebagai berikut: “ Jiwa orang mukmin disangkutkan dengan utangnya, sehingga utang itu dilunasi”.
- Wasiat.Menurut syara’ wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik itu berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat tersebut mati. Dan (Sebagian fuqaha mengartikan bahwa wasiat itu adalah pemberian hak milik secara sukarela yang dilaksanakan setelah pemberinya mati).
Secara Terminologis, Waris adalah Ungkapan yang dipergunakan oleh Alqur’an untuk menunjukkan adanya kewarisan dapat dilihat pada tiga jenis, yakni al-irts, al-faraidh dan al-tirkah.
- Al-Irts. Al-Irts dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar dari kata waritsa, yaritsu, irtsan. Bentuk mashdarnya bukan saja kata irtsan, melainkan termasuk juaga kata warisan, turatsan, dan wiratsatan. Kata-kata itu berasal dari kata asli waritsa, yang berakar kata dari huruf-huruf waw, ra, dan tsa yang bermakna dasar perpindahan harta milik, atau perpindahan pusaka.
- Al-Faraidh. Al-Faraidh dalam bahasa Arab adalah bentuk plural dari kata tunggal faradha, yang berakar kata dari huruf-huruf fa, ra, dan dha. Dan tercatat 14 kali dalam Alqur’an, dalam berbagai konteks kata. Karena itu, kata tersebut mengandung beberapa makna dasar, yakni suatu ketentuan untuk maskawin, menurunkan Alqur’an, penjelasan, penghalalan, ketetapan yang pasti. Dan bahkan di lain ayat, ia mungandung makna tidak tua.
- Al-Tirkah. Al-Tirkah dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar dari kata tunggal taraka, yang berakar kata dari huruf-huruf ta, ra, dan ka. Dan tercatat 28 kali dalam Alqur’an dalam berbagai konteks kata. Oleh karena itu, kata tersebut, mengandung beberapa makna dasar yakni membiarkan, menjadi, mengulurkan lidah, meninggalkan agama, dan harta peninggalan.
Sumber Dan Dalil Hukum Waris
Dalam syariat Islam, sumber hukum yang mengatur tentang warisan (Wasiat) dapat ditemui dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 180, Dan surat Al-Maidah ayat 106.
Artinya:" diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang Dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu[454], jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) Kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun Dia karib kerabat, dan tidak (pula) Kami Menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya Kami kalau demikian tentulah Termasuk orang-orang yang berdosa".
Serta, sumber–sumber hukum yang dijadikan dasar dalam pembagian warisan yaitu, Al-Qur’an menjelaskan ketentuan-ketentuan pembagian warisan secara jelas antara lain, dalam surat Al-Baqarah ayat 188:
Artinya:” Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.
Selanjutnya di jelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 7:
Artinya:”Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
Al- hadist adalah, merupakan sumber hukum Islam yang kedua yang banyak menerangkan tentang kewarisan. Seperti hadist nabi muhammad SAW yang diriwayatkan oleh ibnu abbas dan abu hurairah.
عن بن ا عبآس قل: قل رسو ل الله صلى الله عليه و سلم الحقواالفراءض با هلها فما بقى فهو لاولى رخل ذكر
Artinya : “Dari Ibnu abbas r.a berkata rasullullah saw. Bersabda : bagi kan harta warisan kepada ahli waris (yang berhak, dzawil furuudh) sedang sisanya untuk keluarga laki-laki yang terdekat (a’shabah).
عن ابى هرير ةعن النبى صلى الله عليه و سلم ا نه قا ل من تر ك مالا فللو رثة و من ترك كلا فاينا
Artinya : “Dari abu hurairah r.a., dari nabi saw., sabdanya : “siapa yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahliwarisnya : dan siapa yang meninggalkan keluarga yang tersia-sia, maka itu menjadi tanggung jawab kita “.
Ayatdan hadist, di atas menjelaskan tentang hukum kewarisan Islam dan bagaimana Allah SWT, meminta kalian untuk berlaku adil terhadap anak, soalnya dimasa kaum jahiliyah hanya memberikan warisan seluruh nya kepada anak laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak mendapat bagian sedikitpun.
Oleh sebab itu, Allah SWT meminta untuk membagikan warisan kepada semua anak meskipun dengan bagian yang berbeda pada masing-masingnya. Perbedaan ini tidak lain karena anak laki-laki memerlukan biaya lebih untuk menafkahi keluarga untuk usaha berdagang dan lainnya, serta akan bersusah payah menghidupi keluarganya kelak. Hal inilah yang membuatnya menjadi pantas mendapat bagian dua kali lebih banyak dari anak perempuan.
Rukun Ahli waris Dan Sebab Penghalang Pewarisan
Untuk terjadinya pewarisan, diperlukan tiga rukun dalam pewarisan, yaitu :
- Ahli waris, yaitu orang yang dihubungkan kepada si mati dengan salah satu sebab-sebab pewarisan.
- Pewaris, yaitu si mati, baik mati haqiqi maupun hukum, seperti yang telah hilang, yang oleh hakim dinyatakan telah meninggal dunia.
- Warisan, dinamakan juga dengan tirkah atau mirats, yaitu harta atau hak yang dari si pewaris kepada ahli waris. Ketiga rukun diatas berkaitan antara satu dengan lainnya, ketiganya harus ada dalam setiap pewarisan. Dengan kata lain pewarisan tidak mungkin terjadi manakala salah satu di antara ketiga unsur di dalam tidak ada.
Sebagaimana rukun pewarisan, syarat pewarisan pun ada tiga yaitu :
- Meninggalnya pewaris dengan sebenarnya maupun secara hukum, seperti keputusan hakim atas kematian orang yang mafqud (hilang).
- Hidupnya ahli waris setelah kematian si pewaris, walaupun secara hukum seperti anak dalam kandungan.
- Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang pewarisan.
- Laki-laki menjadi ahli waris:
Orang yang berhak menerima waris dari golongan laki-laki ada sepuluh:
- Anak Laki-laki.
- Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu) terus ke bawah.
- Ayah.
- Datuk dan terus ke atas.
- Saudara Laki-laki dan terus ke atas.
- Anak Laki-laki saudara laki-laki dan terus kebawah.
- Paman (adik laki-laki dari ayah).
- Anak laki-laki dari paman tersebut, dan seterusnya sampai jauh.
- Suami.
- Laki-laki yang memerdekakan (Al-Mu’tiq).
- Perempuan menjadi ahli waris:
Perempuan yang menjadi ahli waris ada tujuh:
- Anak perempuan.
- Anak perempuan dari anak laki-laki.
- Ibu.
- Nenek perempuan.
- Saudara perempuan.
- Isteri.
- Perempuan yang memerdekakan (Al-Mutiqah).
Sebab dan penghalang Pewarisan
- Sebab-sebabPewarisan. Pewarisan merupakan pengalihan hak dan kewajiban, dari orangyang meninggal dunia kepada ahli warisnya dalam memiliki dan memanfaatkan harta peninggalan. Pewarisan tersebut baru terjadi manakalah ada sebab-sebab yang mengikat pewaris dengan ahli warisnya. Adapun sebab-sebab tersebut adalah :
- Perkawinan, Salah seorang suami atau isteri secara hukum mendapatkan bagian yang telah ditentukan kadarnya (furudhul muqaddarah) dari isteri atau suaminya, setengah, seperempat atau seperdelapan. Suami isteri tersebut disebut ahli waris (ahs-habul furudh) sababiyah.
- Kekerabatan, yaitu hubungan nasabiyah antara pewaris dengan ahli waris. Kekerabatan ini terdiri atas al-furu’ (keturunan kebawah), al-Ushul (keturunan ke atas), dan al-Hawasyi (keturunan menyamping).
- Wala’, yaitu kekerabatan secara hukum yang ditetapkan oleh Syari’ antara orang yang memerdekakan budak dengan budaknya disebabkan adanya pembebasan budak, atau antara seseorang dengan seorang lainnya disebabkan adanya akad muwalah atau muhalafah.
- Penghalang Pewarisan. Yang dimaksud dengan penghalang pewarisan adalah hal-hal, keadaan atau pekerjaan, yang menyebabkan seseorang yang seharusnya mendapat warisan tidak mendapatkannya. Hal-hal yang dapat menggugurkan/ menghilangkan hak seseorang tersebut adalah : Sebab-sebab yang menghalangi mendapatkan warisan Ahli waris laki-laki maupun perempuan tersebut terhalang mendapat pusaka jika terdapat salah satu sebab :
- Perbedaan agama ; Orang Islam tidak dapat pusaka dari orang yang tidak beragama Islam, demikian sebaliknya.
- Pembunuh ; orang yang membunuh ahli warisnya, tidak berhak menerima pusaka dari yang dibunuhnya.
- Orang yang jadi budak tidak mendapat pusaka dari orang yang merdeka.
Perbudakan, pembunuhan dan berlainan agama sebagai penghalang pewarisan telah menjadi kesepakatan para fuqaha. Sedangkan berlainan negara sebagai penghalang masih diperselisihkan.
Yusuf Musa, tidak memasukkan perbudakan sebagai penghalang pewarisan. Sebab, baik secara perbuatan maupun secara peraturan perundang-undanngan (Kitab Undang-undang Hukum Warisan Mesir, pen.) perbudakan itu tidak ada.
Namun demikian para Faradhiyun telah menyepakati perbudakan sebagai penghalang pewarisan berdasarkan adanya nash sharih, yakni: Firman Allah swt. Dalam Al-Qur’an surat An- Nahl ayat 75: Artinya:”Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu Dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, Adakah mereka itu sama? segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui.
Penghalang ahli waris yang lebih jauh dari simati terhalang oleh ahli waris yang terdekat dengannya. Misalnya cucu laki-laki tidak mendapat pusaka jika simati. Datuk laki-laki tidak mendapat pusaka jika ada ayah simati.
Golongan Ahli Waris
Ahli waris terbagi dua golongan, yaitu:
- Dzu fardlin. Dzu fardlin artinya yang mempunyai pembagian tertentu. Pembagian tertentu menurut Al-Qur’an ada enam :
- 1/2 (setengah).
- 1/4 (seperempat).
- 1/8 (seperdelapan).
- 1/3 (sepertiga).
- 2/3 (dua pertiga).
- 1/6 (seperenam).
- ‘Ashabah. ‘Ashabah adalah orang yang berhak mendapat pusaka dan pembagiannya tidak ditetapkan dalam salah satu enam macam pembagian tersebut diatas. Ahli waris ‘ashabah menerima pusaka saalah satu diantara dua, yaitu menerima seluruh pusaka atau menerima sisa pusaka. Jika ahli waris dzu fardlin tidak ada, ia menerima seluruh pusaka, tetapi kalau ada dzu fardlin ia menerima sisa pusaka setelah ahli waris dzu fardlin mengambil bagiannya.
SUMBER :
- Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris (Bandung: Pustaka Setia, Tahun .2009)
- Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT Grafindo Persada)
- Effendi Perangin, Hukum Waris, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001)
- Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia., (Cetakan ke III, Jakarta: Akademika Pressindo). Tahun. 2000.
- Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam,(Jakarta: Akademika Peressindo). Tahun. 2000
- Ali Farman, Kewarisan Dalam Al-quran (Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir Tematik), (Jakarta:PT Grafindo Persada, 1995)
- Ma’mur Daud, Terjemahan Hadis Sahih Muslim, (Jakarta:Pa Wijaya 1984, jilid 3)
- Moh. Rifa’i ,Ilmu Fiqh Islam Lengkap. (Semarang : Karya Toha Putra..Tahun. 1978)
- Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, fiqh Mawaris (Hukum Kewarisan Islam),(Jakarta : Gaya Media Pratama, Tahun. 2002.)
No comments:
Post a Comment