Pengertian Ila’

Wednesday, November 14, 2018

Nilai dalam Kehidupan Manusia

Pengertian Nilai Dakwah

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, nilai dapat diartikan sebagai harga atau jika dikaitkan dengan budaya berarti konsep abstrak yang mendasar, sangat penting dan bernilai bagi kehidupan manusia. Menurut Onong Uchjana Effendy, nilai adalah pandangan, cita-cita, adat kebiasaan, dan lain-lain yang menimbulkan tanggapan emosional pada seseorang atau masyarakat tertentu. Sementara menurut Fraenkel, nilai merupakan sebuah ide atau konsep mengenai sesuatu yang dianggap penting dalam kehidupan ketika seseorang menilai sesuatu, maka orang tersebut menganggap nilai itu penting, bermanfaat atau berharga.

Sedangkan dakwah, ditinjau dari etimologi atau bahasa, kata dakwah berasal dari bahasa arab yaitu دعا - يد عؤ- د عؤة yang berarti mengajak, memanggil, menghimbau. Secara istilah para ahli memiliki tafsiran yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang mereka di dalam memberikan pengertian dakwah. Berikut ini dikutip beberapa pendapat, diantaranya:
  1. Syaikh Ali Mahfudz, dakwah adalah mendorong manusia untuk melaksanakan kebaikan dan mengikuti petunjuk serta memerintah berbuat makruf dan mencegah dari perbuatan munkar agar mereka memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
  2. Al-Bahy al-Khuli, dahwah adalah mengubah situasi kepada yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap individu maupun masyarakat.
  3. Prof. Toha Yahya Omar, M.A, dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan, untuk keselamatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.
Dengan mengetahui hakikat dakwah, maka dapat dirumuskan pengertian dakwah Islam yakni proses mengajak dan mempengaruhi orang menuju jalan Allah yang dilakukan umat Islam secara sitemik. Dari pengertian tersebut jelas menunjukkan bahwa kegiatan dakwah membutuhkan pengorganisasian yang sistemik dan modern serta dapat dikembangkan dengan kajian epistemologinya baik menyangkut strategi, prinsip dasar, metode, standar keberhasilan, dan evaluasi pelaksanaannya.

Jika pengertian nilai tersebut di atas dikaitkan dengan dakwah, maka akan dikenal dengan nilai dakwah, yakni nilai-nilai Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Hadis. Nilai-nilai dakwah bukanlah suatu “barang yang mati”, melainkan nilai dinamis yang disesuaikan dengan semangat zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada di masyarakat.

Pembagian Nilai-nilai Dakwah

Nilai-nilai mengacu kepada sikap yang berkaitan dengan tujuan yang diinginkan dan keadaaan yang akan dicapai yaitu secara ideal untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar manusia serta keuntungan lainnya bagi orang secara individu maupun kolektif. Beberapa nilai-nilai dakwah universal yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan umat, di antaranya sebagai berikut:
  1. Kedisiplinan. Disiplin bukan hanya milik tentara atau polisi saja, tetapi menjadi milik semua orang yang ingin sukses.Kedisiplinan tidak diartikan dengan kehidupan yang kaku dan susah tersenyum. Kedisiplinan terkait erat dengan manajemen waktu, bagaimana waktu yang diberikan oleh Tuhan selama 24 jam dalam sehari dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk meraih kesuksesan di dunia dan akhirat.. Dalam ajaran ibadah shalat dan puasa, kita dilatih betul bagaimana menjadi orang yang disiplin dalam memanfaatkan waktu. Tidak bisa kita melaksanakan shalat diluar waktu yang telah ditentukan, begitu juga dengan puasa, ada aturan main yang sudah jelas waktunya. Pembelajaran dan pembiasaan diajarkan oleh Tuhan untuk memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya mestinya dapat berpengaruh terhadap kedisiplinan dalam menjalani hidupnya.
  2. Kejujuran. Rasulullah merupakan teladan utama dalam kejujuran dan bahkan beliau memiliki sifat sidiq (jujur). Rasulullah memerintahkan umatnya untuk berlaku jujur, sebagaimana firman Allah sebagai berikut: Artinya: Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami utus) saudara mereka, Syu´aib. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)". Dan Syu´aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. (QS. Al-Qur’an ayat 84-85).Dari ayat tersebut, ada tiga hal penting yang bisa diterapkan dalam kehidupan kita untuk memberantaskan ketidakjujuran dan kejahatan lainnya yaitu: Pertama, pelurusan akidah dengan meyakini dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah semata. Iman adalah kesadaran untuk menghadirkan Allah dalam diri dan di implementasikan dalam aktivitas sehari-hari. Hati adalah tempat bersemayamnya iman. Imanlah yang menyinari hati sehingga bercahaya. Hati nurani itulah yang efektif berfungsi mengontrol fikiran, perkataan dan semua perbuatan. Kedua, berperilaku jujur dan jangan menyakiti orang lain. Kejujuran masyarakat perlu diawali dari kejujuran yang ada pada individu. Akhlak individu harus dibangun melalui pendidikan karakter oleh keluarga, sekolah dan masyarakat. Untuk itu kejujuran perlu ditanamkan sejak kecil dan menjadi pembiasaan di dalam keluarga di Indonesia. Kemudian sifat jujur yang telah dibangun oleh keluarga perlu didukung dengan sikap jujur yang ada di sekolah dan masyarakat. Ketiga, Jangan merusak bumi. Maksudnya bisa diperluas bukan hanya arti yang sebenarnya, tetapi bisa dimaksudkan jangan merusak sistem yang sudah dibangun dengan baik, akibat dari perilaku individu yang tidak jujur. Supaya kejahatan individu tidak meluas, maka perlu dibuat sistem kebijakan yang bisa memelihara kemaslahatan bersama dan perlu supremensi hukum. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi atau ketidakjujuran dan kejahatan lainnya membutuhkan oartisipasi dari seluruh masyarakat.
  3. Kerja Keras. Siapa yang sungguh-sungguh dialah yang pasti dapat (man jadda wajadda). Pepatah Arab tersebut merupakan hukum sosial yang berlaku universal bagi masyarakat, tidak mengenal etnis, agama maupun bahasa. Allah dalam beberapa ayat mendorong umat-Nya untuk bekerja keras, seperti: Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. Al-Jum’ah ayat 10). Artinya: Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. (QS. Al-Insyirah ayat 7). Nabi telah mencontohkan sejak kecil sudah bekerja keras: mengembala kambing, berdagang dan berupaya sekut tenaga untuk membebaskan umat (kaum dhuafa) dari kemiskinan, kebebasan, perbudakan, eksploitasi kaum aghniya dan sebagainya. Nabi mengingatkan kita “Yang aku khawatirkan dan takuti terhadap umatku adalah suka membusungkan dada, banyak tidur dan malas bekerja”.
  4. Kebersihan. Umat Islam sangat hapal sekali dengan hadis Nabi yang menyatakan bahwa “Kebersihan adalah sebagian dari Iman” (HR Muslim). Sayangnya, hapalan tersebut kurang diimbangi dengan praktik di lapangan. Padahal, umat Islam sering kali diperkenalkan dan dianjurkan untuk menjaga kebersihan. Setiap bahasan pertama tentang Fiqh Islam diawali dengan pembahasan tentang kebersihan seperti menghilangkan hadas besar dan kecil, menggunakan air yang bersih lagi mensucikan, berwudhu’, dan lain sebagainya. Allah SWT mengingatkan umat Islam untuk menjaga kebersihan (kesucian) jiwa dan juga kebersihan yang bersifat fisik, dengan simbol untuk membersih pakaian. Sebagaimana firman Allah sebagai berikut: Artinya: Hai orang yang berkemul (berselimut). bangunlah, lalu berilah peringatan. dan Tuhanmu agungkanlah. dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah. (QS. Al-Muddatstir ayat 1-7). Dengan demikian, menjaga kebersihan merupakan nilai dakwah universal yang dapat dilakukan oleh siapa saja, apalagi umat Islam yang jelas-jelas memiliki dasar kuat untuk menjaga kebersihan. 
  5. Kompetisi. Islam tidak melarang umatnya untuk berkompetisi, karena kompetisi merupakan salah satu motivasi psikologis yang sangat umum dimiliki oleh setiap manusia. Meskipun masing-masing individu berbeda-beda dalam tingkatan motivasinya. Al-Qur’an telah menganjurkan umat Islam untuk berkompetisi dalam peningkatan kualitas takwa, sebagaimana firman Allah SWT: Artinya: Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (surga). Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh kenikmatan. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya). Laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba. (QS. Al-Muthafiffin ayat 22-26). Kebanyakan manusia biasanya melakukan kompetisi dalam urusan materi dan dunia yang fana. Oleh karena itu, Rasulullah mengingatkan agar umat Islam tidak berkompetisi secara berlebihan dalam urusan dunia. Hal ini dapat menimbulkan konflik, dengki, rasa iri, dan menjauhkan dari ingat Allah. Masih banyak nilai-nilai dakwah yang bisa dikembangkan atau diturunkan dari sumber ajaran Islam, yakni Al-Qur’an dan al-Hadis. Nilai-nilai dakwah yang berlaku universal tersebut senantiasa disosioalisasikan kepada masyarakat sehingga nilia-nilai tersebut menjadi kebiasaan, tradisi, atau norma yang berlaku di masyarakat.
Sebenarnya jalan dakwah itu sebetulnya amat luas, melainkan kita memilih untuk sengaja menyempitkan ia. Sekiranya kita menelusuri 43 nilai-nilai ini sepanjang hayat kita, niscaya kita akan menemui pada penghujungnya dakwah para Anbiya, dakwah Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam dan dakwahnya para sohabah ridhwanullahu ajmain, di antaranya sebagai berikut: (1). Dakwah itu membina, bukan menghina. (2). Dakwah itu mendidik, bukan ‘membidik’. (3). Dakwah itu mengobati, bukan melukai. (4). Dakwah itu mengukuhkan, bukan meruntuhkan. (5). Dakwah itu saling menguatkan, bukan saling melemahkan. (6). Dakwah itu mengajak, bukan mengejek. (7). Dakwah itu menyejukkan, bukan memojokkan. (8). Dakwah itu mengajar, bukan menghajar. (9). Dakwah itu saling belajar, bukan saling bertengkar. (10). Dakwah itu menasehati, bukan mencaci maki. (11). Dakwah itu merangkul, bukan memukul. (12). Dakwah itu mengajak bersabar, bukan mengajak mencakar. (13). Dakwah itu argumentatif, bukan provokatif. (14). Dakwah itu bergerak cepat, bukan sibuk berdebat. (15). Dakwah itu realistis, bukan fantastis. (16). Dakwah itu mencerdaskan, bukan membodohkan. (17). Dakwah itu menawarkan solusi, bukan mengumbar janji. (18). Dakwah itu berlomba dalam kebaikan, bukan berlomba saling menjatuhkan. (19). Dakwah itu menghadapi masyarakat, bukan membelakangi masyarakat. (20). Dakwah itu memperbarui masyarakat, bukan membuat masyarakat baru. (21). Dakwah itu mengatasi keadaan, bukan meratapi kenyataan. (22). Dakwah itu pandai memikat, bukan mahir mengumpat. (23). Dakwah itu menebar kebaikan, bukan mengorek kesalahan. (24). Dakwah itu menutup aib dan memperbaikinya, bukan mencari-cari aib dan menyebarkannya. (25). Dakwah itu menghargai perbedaan, bukan memonopoli kebenaran. (26). Dakwah itu mendukung semua program kebaikan, bukan memunculkan keraguan. (27). Dakwah itu memberi senyum manis, bukan menjatuhkan vonis. (28). Dakwah itu berletih-letih menanggung problem umat, bukan meletihkan umat. (29). Dakwah itu menyatukan kekuatan, bukan memecah belah barisan. (30). Dakwah itu kompak dalam perbedaan, bukan ribut mengklaim kebenaran. (31). Dakwah itu siap menghadapi musuh, bukan selalu mencari musuh. (32). Dakwah itu mencari teman, bukan mencari lawan. (33). Dakwah itu melawan kesesatan, bukan mengotak-atik kebenaran. (34). Dakwah itu asyik dalam kebersamaan, bukan bangga dengan kesendirian. (35). Dakwah itu menampung semua lapisan, bukan memecah belah persatuan. (36). Dakwah itu kita mengatakan: “aku cinta kamu”, bukan “aku benci kamu”. (37). Dakwah itu kita mengatakan: “Mari bersama kami” bukan “Kamu harus ikut kami”. (38). Dakwah itu “Biaya Sendiri” bukan “Dibiayai/Disponsori”. (39). Dakwah itu “Habis berapa?” bukan “Dapat berapa ?”. (40). Dakwah itu “Memanggil/Mendatangi” bukan “Dipanggil/Panggilan”. (41). Dakwah itu “Saling Islah” bukan “Saling Salah”. (42). Dakwah itu di masjid, di sekolah, di pasar, di kantor, di parlemen, di jalanan, hingga dimana saja, bukan hanya di pengajian. (43). Dakwah itu dengan “Cara Nabi” bukan dengan “Cara Sendiri”.

Fungsi Nilai 
  1. Sebagai faktor pendorong, hal ini berkaitan dengan nilai-nilai yang berhubungan cita-cita atau harapan.
  2. Sebagai arah mengenai cara berfikir dan bertindak, panduan menentukan pilihan.
  3. Sebagai benteng perlindungan atau menjaga stabilitas budaya.
  4. Sebagai alat solidaritas di kalangan kelompok dan masyarakat.
Nilai dalam Kehidupan Manusia

Perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari sangat bermacam-macam, ada yang disengaja dan ada pula yang tidak disengaja, berdasarkan keputusan yang diambilnya. Dengan demikian, Mahmud Aziz Siregar merumuskan nilai sebagai sesuatu yang menggerakkan manusia untuk berusaha mencapai sesuatu yang berharga atau bernilai bagi kehidupan, berdasarkan logika atau kenyataan yang hendak dicapai.

Macam-macam Nilai

Menurut Prof. Notonegoro ia berpendapat bahwa nilai sosial dalam masyarakat dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :
  1. Nilai Material. Nilai material adalah nilai yang muncul dari materi atau benda yang bersangkutan. Misalnya makanan yang memiliki nilai bagi manusia sebagai memenuhi hasrat pemenuhan energi.
  2. Nilai Vital. Nilai vital adalah suatu nilai yang ada kegunaannya. Contohnya pisau yang memiliki nilai karena kegunaannya untuk memotong sesuatu, jika sebuah pisau sudah tumpul, maka nilainya akan merosot karena ia menjadi tidak berguna.
  3. Nilai Spritual. Nilai Spritual adalah nilai yang ada di dalam jiwa manusia. Nilai spritual dibagi lagi menjadi 4 nilai, yaitu:
    1. Nilai estetika, adalah nilai yang terkandung pada suatu benda berdasarkan keindahan, bagus atau jelek.
    2. Nilai moral, adalah nilai yang berdasarkan kepada baik atau buruknya suatu perbuatan seseorang berdasarkan pada nilai-nilai sosial yang bersifat universal. Nilai ini bersifat umum walaupun setiap masyarakat memiliki pedoman nilai yang berbeda. Namun dalam penerapannya bisa saja terjadi perbedaan karena ada pengaruh budaya di dalamnya.
    3. Nilai religius atau nilai kepercayaan, adalah nilai yang berdasarkan kepercayaan seseorang.
    4. Nilai logika (Kebenaran ilmu Pengetahuan), adalah tentang benar atau salah. Nilai ini bersumber berdasarkan benar atau tidaknya sesuatu berdasarkan sumber bukti atau fakta ilmiah, nilai ini dapat pula menjadikan logika sebagai sumbernya.
SUMBER :
  • Mahmud Aziz Siregar, Islam Untuk Berbagai Aspek Kehidupan, (Yogyakarta: Tiara Kencana, 1999), Cet, Ke-I
  • Alwisral Imam Zaidallah, strategi Dakwah, (Jakarta : Kalam Mulia, 2005), Cetakan ke-2
  • Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, (Jakarta : Amzah, 2013) cetak, ke- 2
  • Malayu s.p. Hasibuan, Manajemen, (Jakarta, PT. Bumi Askara, 2006) 
  • H. Ahmad Hasan Ridwan, Manajemen Baitul Mal Waamwil, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013)
  • H. Malayu S.P Hasibuan, Manajemen, (Jakarta: PT. Bumi Askara, 2006)
  • Ahmad Hasan Ridwan, Manajemen Baitul Mal wa Tamwil, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013)
  • Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: CV. Toha Putra, 1978)

No comments:

Post a Comment