Pengertian Ila’

Wednesday, September 19, 2018

Aspek dalam Psychological Capital

Pengertian Psychological Capital

Menurut Luthans, dkk (2007) Psychological Capital adalah keadaan psikologis positif dari individu yang berkembang dan ditandai oleh:
  1. memiliki keyakinan (self-efficacy) untuk mengambil dan memberikan usaha agar berhasil dalam melaksanakan tugas yang menantang,
  2. membuat atribusi positif (optimism) tentang kesuksesan dimasa kini dan masa yang akan datang,
  3. tekun dalam mencapai tujuan dan, bila perlu, mencari jalan lain (hope) agar tujuan dapat tercapai, dan
  4. ketika dihadapkan masalah dan kesulitan, dapat bertahan dan bangkit kembali dan bahkan lebih dalam (resiliency) meraih kesuksesan.

Norman dkk (dalam Krasikova, dkk, 2015) mengatakan psychological capital dikonseptualisasikan sebagai inti membangun sifat yang lebih baik yang berhubungan dengan kriteria dari efek dalam dan luar diri individu dari komponen individu yaitu efficacy, optimism, hope, dan resilience.

Lutans dan Youssef (dalam Dirzyte, 2013) mengatakan psychological capital dipandang sebagai sumber daya yang meliputi manusia (pengalaman, pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan) dan modal social (hubungan, jaringan), hal ini berkaitan dengan “siapa anda saat ini dan ditempat ini” dan “anda bias menjadi siapa” dalam waktu proksimal jika sumber daya psikologis dikembangkan dan dipelihara ditempat kerja.

Prayogo (2012) psychological capital merupakan suatu kapasitas yang terbarukan, saling melengkapi, dan saling bersinergis. Individu yang memiliki psychological capital yang tinggi akan menjadi individu yang fleksibel dan adaptif untuk bertindak dengan kepasitas yang berbeda untuk memenuhi tuntutan secara dinamis.

Psychological capital merupakan salah satu pandangan yang muncul akibat adanya kebutuhan para praktisi dalam organisasi untuk menemukan pendekatan baru dalam praktek psikologis di ranah pekerjaan dimana pendekatan psikologis negatif dirasa membuat para pekerja hanya memenuhi kebutuhan pribadinya saja dan melalui pendekatan psikologis negatif tersebut hanya menyelesaikan permasalahan jangka pendek saja (Luthans, dkk, 2007). Seiring perkembangan zaman, muncul pendekatan psikologis yang positif yang dikembangkan oleh Seligman (dalam Luthans, Youssef, dan Avolio, 2007), para peneliti kemudian menemukan suatu pendekatan baru yang dapat meminimalisir kekurangan dari pendekatan psikologis negatif yaitu, Positive Organizational Scolarships pada level organisasi dan Positive Organizational Behavior pada level individu. Psychological capital merupakan bagian dari Positive Organizational Behavior.

Berdasarkan definisi dari para ahli, maka dapat di tarik kesimpulan bahwa psychological capital merupakan suatu keadaan di dalam diri individu yang berkembang dengan positif yang memiliki karakteristik yaitu self-efficacy, hope,optimism, dan resiliency. Keempat karakteristik tersebut diyakini mampu berkontribusi positif dalam diri seseorang sehingga dapat berkinerja optimal didalam maupun diluar organisasi.

Aspek-aspek dalam Psychological Capital

Berikut merupakan aspek-aspek dalam psychological capital menurut Luthans, Youssef, dan Avolio (2007) adalah sebagai berikut:
  1. Efficacy . Efficacy adalah suatu keyakinan atau kepercayaan diri seseorang mengenai kemampuannya dalam mengerahkan motivasi, sumber-sumber kognisi dan melakukan sejumlah tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan dalam melaksanankan tugas pada konteks tertentu. Orang-orang dengan efficacy yang tinggi memiliki karakteristik,
    • memiliki target yang tinggi untuk diri sendiri dan secara sadar memilih tugas yang sulit, 
    • menyukai dan mengembangkan diri dengan adanya tantangan,
    • memiliki motivasi pribadi yang tinggi,
    • memberikan usaha untuk mencapai tujuan, dan
    • ketika menemui kesulitan mereka bertahan. Kelima karakteristik tersebut orang-orang dengan efficacy yang tinggi akan dapat berkembang secara independen dan menjalankan tugas secara efektif. Eefficacy dapat dikembangkan melalui beberapa cara yaitu dengan memberikan kesempatan untuk merasakan keberhasilan tertentu, dengan adanya perasaan mendapatkan sesuatu keberhasilan yang berulang-ulang membuat efficacy seseorang akan meningkat. Cara selanjutnya adalah menggunakan metode vicarious learning/modeling dimana cara ini akan membuat seseorang mampu mengobservasi orang lain dan mempelajari cara-cara orang lain mendapatkan kesuksesan serta mempelajari kesalahan-kesalahan yang dilakukan orang lain sehingga dapat meningkatkan efficacy orang tersebut. Cara selanjutnya adalah mendapatkan persuasi social ataupun umpan balik yang positif, contohnya “kamu pasti bisa..”, sehingga dapat meningkatkan efficacy seseorang.
  2. Hope. Hope adalah keadaan psikologis positif yang didasarkan pada kesadaran yang saling mempengaruhi antara agency (energi untuk mencapai tujuan) dan path ways (perencanaan untuk mencapai tujuan), dengan kata lain, hope merupakan suatu kognitif atau proses berpikir dimana individu mampu menyusun kenyataan dengan tujuan dan harapan yang menarik atau menantang dan pada akhirnya mendapatkannya dengan cara determinasi self-directed, energi, dan persepsi kontrol internal. Pekerja/karyawan yang memiliki hope yang tinggi memiliki karakteristik pemikir yang independen, memiliki locus of control internal, memiliki control penuh untuk mengatur energi yang digunakan dalam mencapai tujuan, dan selalu mencari alternatif pilihan ketika menghadapi kesulitan.
  3. Optimism. Definisi dari optimism dalam psychologicah capital adalah sebuah gambaran dalam psikologi positif sebagai harapan masa depan yang positif dan terbuka pada perkembangan. Optimism dalam psychological capital adalah cara menginterpretasikan kejadian negatif disebabkan oleh hal-hal luar diri, bersifat sementara, dan terjadi hanya pada situasi tertentu saja, dan merpakan cara menginterpretasikan kejadian positif sebagai kejadian yang disebabkan oleh diri sendiri, bersifat menetap, dan dapat terjadi dalam berbagai situasi. Optimism merupakan model pemikiran dimana individu mengatribusikan kejadian positif ke dalam diri sendiri, bersifat permanent, dan penyebabnya bersifat pervasiv, dan dilain hal menginterpretasikan kejadian negatif kepada aspek eksternal, bersifat sementara atau temporer, dan merupakan faktor yang disebabkan oleh situasi tertentu. Individu dengan optimism yang tinggi akan mampu merasakan implikasi secara kognitif dan emosional ketika mendapatkan kesuksesan. Individu tersebut juga dapat menentukan nasibnya sendiri tanpa diremehkan orang lain. Individu yang dengan optimism yang tinggi juga memberikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang terkait ketika individu tersebut menapai kesuksesan.
  4. Resiliency. Resiliency adalah kemampuan untuk “memantul kembali” atau bangkit kembali dari kesulitan, konflik, kegagalan, bahkan pada peristiwa positif, kemajuan, dan peningkatan tanggung jawab. Resiliency merupakanfenomena yang ditandai dengan pola adaptasi positif dalam konteks kesulitan yang signifikan atau risiko. Resiliency tidak hanya kemampuan untuk bangkit kembali dari keterpurukan, tetapi juga sangat positif, menantangperistiwa dan kemauan untuk melampaui batas normal,untuk melampaui titik ekuilibrium. Terdapat beberapa faktor yang menghambat resiliency seperti factor resiko dan nilai-nilai, Selain faktor yang dapat menghambat, ada juga factor pendukung dari resiliency yaitu faktor nilai tambahan, interaktif, dan sinergis. Resiliency dapat dikembangkan dengan cara membangun kesadaran seseorang mengenai talenta, kemampuan, dan jaringan yang dimilikinya.
Cara Mengembangkan Psychological Capital

Psychological Capital seseorang dapat dikembangkan dan ditingkatkan berdasarkan masing-masing aspeknya.
  1. Efficacy. Efficacy dapat dikembangkan dengan memperhatikAn pendekatan yang disusun Bandura (dalam Luthans, dkk, 2007) sebagai berikut;
    1. Pengalaman ahli atau pencapaian performa, Hal ini sangat potensial untuk mengembangkan kepercayaan diri karena melibatkan informasi langsung terkait sukses. Bagaimanapun, pencapaian tidak secara langsung membangun kepercayaan diri. Proses situasional, seperti tugas yang kompleks, dan proses kognitif, seperti persepsi terhadap kemampuan seseorang, sama-sama berpengaruh terhadap perkembangan percaya diri.
    2. Pengalaman atas nama orang lain atau memperagakan, Jika seseorang melihat orang lain seperti diri mereka berhasil dengan usaha yang dipertahankan, mereka akan mulai percaya bahwa diri mereka juga memiliki kapasitas untuk berhasil,
    3. Persuasi sosial, Seorang individu yang kompeten dapat membantu mengembangkan kepercayaan diri orang lain dengan mempersuasi atau meyakinkan.
    4. Rangsangan atau motivasi fisik dan psikis, Orang-orang sering kali bergantung pada apa yang mereka rasakan, baik secara fisik maupun psikis, untuk mengukur kapabilitas mereka. Bagaimanapun, kondisi fisik dan mental yang sempurna dapat menyebabkan tumbuhnya kepercayaan diri .
  2. Hope. Snyder, dkk (dalam Luthans, 2007) menyampaikan cara mengembangkan harapan (hope) sebagai berikut:
    1. Mengatur dan menglarifikasi target pribadi dan organisasi yang spesifik dan menantang.
    2. Melakukan “metode langkah” untuk memecah target menjadi sublangkah yang dapat diatur sehingga dapat menandai peningkatan dan membuat pengalaman langsung terkait setidaknya kemenangan dan kesuksesan kecil.
    3. Mengembangkan setidaknya satu alternatif atau jalan kemungkinan untuk target yang telah disusun dengan disertai rencana tindakan.
    4. Akui kesenangan dalam proses bekerja untuk menggapai target, dan jangan hanya fokus pada pencapaian akhir.
    5. Bersiap dan bersedialah untuk menekuni rintangan dan permasalahan.
    6. Bersiap dan terampil mengetahui kapan dan jalan alternatif mana yang bisa dipilih ketika rute utama menuju pencapaian target tidak lagi dapat dilakukan atau tidak lagi produktif.
    7. Bersiap dan pintar dalam mengetahui kapan dan bagaimana menarget kembali untuk menghindari jebakan atau harapan yang salah.
  3. Optimism. Untuk mengembangkan optimisme, Schulman (dalam Luthans, 2004) menjelaskan langkah-langkah berikut:
    1. Identifikasi keyakinan menaklukkan diri ketika dihadapkan pada sebuah tantangan,
    2. Evaluasi keakuratan keyakinan,
    3. Sekali keyakinan yang tidak berfungsi secara normal tereduksi, ganti dengan keyakinan yang lebih membangun dan akurat yang telah dikembangkan.
  4. Resiliency. Reivich & Shatte (dalam Luthans, 2004) menjelaskan cara pengembangan resiliensi dengan tahapan berikut:
    1. Hindari jebakan pemikiran negatif ketika suatu hal mulai memburuk,
    2. Uji keakuratan keyakinan terhadap permasalahan dan bagaimana mencari solusi jitu,
    3. Tetapkan ketenangan dan kefokusan ketika emosi dan stres menyerbu.

No comments:

Post a Comment