Pengertian Ila’

Monday, September 17, 2018

Pengertian Penyesuaian Perkawinan

Pengertian Penyesuaian Perkawinan

Hurlock (dalam Vika, 2014)mendefinisikan penyesuaian perkawinan sebagai proses adaptasi antara suami dan istri,dimana suami dan istri tersebut dapat mencegah terjadinya konflik dan menyelesaikan konflik dengan baik melalui proses penyesuaian diri.

Spanier (dalam Donna, 2010) mengatakan bahwa penyesuaian perkawinan adalah keterampilan sosial yang diperlukan bagi pasangan yang meraih kebahagiaan atau kepuasan perkawinan.

Sedangkan menurut Lasswel & Lasswel(dalam Puspita sari, 2015), berpendapat bahwa konsep penyesuaian perkawinan mengandung dua pengertian yang tersirat, yaitu adanya hubungan mutualisme (saling menguntungkan) antara pasangan suami istri untuk memberi dan menerima (menunaikan kewajiban dan menerima hak), serta adanya proses saling belajar antara dua individu untuk mengakomodasi kebutuhan, keinginan dan harapannya dengan kebutuhan, keinginan dan harapan dari pasangannya.

Atwater (dalam Christina dan Matulessy, 2016), menambahkan penyesuaian perkawinan merupakan perubahan dan penyesuaian dalam kehidupan perkawinan yang meliputi beberapa aspek dalam kehidupan perkawinan, seperti penyesuaian terhadap hidup bersama, penyesuaian peran baru,penyesuaian terhadap komunikasi dan penyelesaian konflik, serta penyesuaian terhadap hubungan seksual dalam perkawinandan penyesuaian terhadap kewarganegaraan.

Aspek-aspek Penyesuaian Perkawinan

Empat aspek dalam penyesuaian perkawinan menurut Duvall & Miller (dalam Puspita sari, 2015) yang dapat mempengaruhi keberhasilan suami dan istri dalam melakukan penyesuaian perkawinan diantaranya adalah :
  1. Dyadic consensus atau kesepakatan. Dyadic consensus adalah kesepahaman atau kesepakatan antar pasangan dalam berbagai masalah dalam perkawinan seperti keuangan, rekreasi, keagamaan.Perkawinan mempertemukan dua orang dengan ciri-ciri pribadi, nilai-nilai yangdianut, dan berbagai karakteristik pribadi yang berbeda. Kedua individu yang berbedaini akan menghadapi konflik-konflik dalam berbagai aspek kehidupan perkawinan mereka, sehubungan dengan perbedaan diantara mereka.Kesepakatan yang terjalin dalam perkawinan akan menemukan berbagai permasalahan-permasalahan yang harus diputuskan, seperti mengatur anggaran belanja dan bagaimana membagi tugas-tugas rumah tangga, dan pasangan akan menyadari bahwa mereka mempunyai perbedaan perspektif terhadap berbagai hal(Arnold & Parker dalam Puspitasari, 2015).
  2. Dyadic cohesion atau kedekatan. Dyadic cohesion atau kedekatan adalah seberapa banyak pasangan melakukan berbagai kegiatan secara berasama-sama dan menikmati kebersamaan yang ada.Banyaknya waktu yang dihabiskan bersama akan mempengaruhi kepuasaan individu terhadap perkawinan.Jhonson (dalam Puspita sari, 2015 ) menyatakan bahwa sumber kedekatan bagi suami dan istri yaitu ketikasuami dan istri dapat berbagi tentang pengalaman-pengalaman di antara pasangan yang berlangsung selama bertahun-tahun, baik itu pengalaman kegagalan atau pengalaman kesuksesan.
  3. Dyadic satisfaction atau kepuasan. Dyadic satisfaction atau derajat kepuasan dalam hubungan adalah bagaimana suami dan istri mampu melaksanakan peran dalam rumah tangga dengan baik.Blumstein (dalam Puspitasari, 2015).menyatakan bahwa pasangan yang baru menikah akan melakukan proses identity bargaining dimana wanita atau pria akan saling menyesuaikan diri kembali dengan pasangannya ketika menemukan hal yang tidak sesuai dengan apayang diharapkan oleh wanita atau pria kepada pasangannya.
  4. Affectional expression atau ekspresi. Afeksi adalah kesepahaman dalam menyatakan perasaan dan hubungan seks maupun masalah yang ada mengenai hal-hal tersebut. Bagi beberapa orang tidak mudah untuk membiarkan orang lain mengetahui siapa mereka, apa yang merekarasakan atau apa yang mereka pikirkan. Mereka mungkin takut jika orang lain benar-benar mengetahui bagaimana diri mereka, sehingga ada rasa takut dalam diri mereka untuk ditolak oleh lingkungan dan orang-orang yang dicintainya.Oleh karena itu mereka berhati-hati terhadap dirinya dan pasangannya dengan membatasi pikiran dan perasaan-perasaan yang dikemukakan pada pasangannya(Knox dalam Puspita sari, 2015).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyesuaian Perkawinan

Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi empat pokok yang paling umum dan paling penting bagi kebahagiaan perkawinan (Hurlock, 1991 ) :
  1. Penyesuaian diri dengan pasangan. Masalah penyesuaian yang paling pokok yang pertama kali dihadapi oleh keluarga baru adalah penyesuaian terhadap pasangannya (istri atau suaminya). Hubungan interpersonal memainkan peran yang penting dalam perkawinan yang pentingnya sama dengan hubungan persahabatan dan hubungan bisnis. Bagaimana juga dalam kasus perkawinan, hubungan interpersonal jauh lebih sulit untuk di sesuaikan daripada dalam kehidupan bisnis, sebab dalam perkawinan terdapat keruwetan oleh berbagai faktor yang tidak biasa timbul dalam bidang kehidupan individual. Makin banyak pengalaman dalam hubungan interpersonal antara pria dan wanita dan wanita yang diperoleh pada masa lalu, makin besar pengertian wawasan sosial yang telah mereka kembangkan dan semakin besar kemauan mereka untuk bekerja sama dengan sesamanya serta semakin baik mereka menyesuaikan diri satu sama lain dalam perkawinan. 
  2. Penyesuaian seksual. Masalah penyesuaian utama yang kedua dalam perkawinan adalah penyesuaian seksual. Masalah ini merupakan salah satu masalah yang paling sulit dalam perkawinan dan salah satu penyebab yang mengakibatkan pertengkaran dan ketidak bahagiaan perkawinan apabila kesepakatan ini tidak dapat dicapai dengan memuaskan. Biasanya pasangan tersebut belum mempunyai cukup pengalaman awal, yang berhubungan dengan penyesuaian ini daripada orang-orang lain dan mereka mungkin tidak mampu mengendalikan emosi mereka.
  3. Penyesuaian Keuangan. Masalah penyesuaian ketiga dalam perkawinan adalah keuangan. Uang dan kurangnya uang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap penyesuaian diri orang dewasa dengan perkawinan. Dewasa ini sebagai akibat dari pengalaman pre-marital banyak istri yang tersinggung karena tidak dapat mengendalikan uang yang dipergunakan untuk melangsungkan keluarga dan mereka merasa sulit untuk menyesuaikan keuangan dengan pendapatan suaminya setelah terbiasa membelanjakan uang sesuka hati. Situasi keuangan keluarga dapat digunakan untuk mengatasi masalah penyesuaian status perkawinan khususnya untuk dua hal penting. Pertama percekcokan mungkin berkembang apabila sang istri berharap suaminya dapat menangani sebagian dari tugasnya. Pada masa awal perkawinan potongan untuk tabungan pegawai dan upah pembantu rumah tangga dirasa sangat mahal. Keluarga baru biasanya tidak ingin hidup bermewah-mewah karena pendapatannya tidak memungkinkan untuk itu, maka istri menginginkan agar suaminya dapat mengerjakan beberapa tugas rumah tangga secara adil. Hal ini biasanya justru menimbulkan percekcokan terutama pada waktu suaminya menetapkan bahwa ”urusan rumah tangga adalah pekerjaan wanita” .Apabila istrinya marah dan berkata “suaminya mempunyai syndrome malas”, ini juga merupakan sumber ketidak serasian.
  4. Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan. Masalah penyesuaian penting yang keempat dalam hidup perkawinan adalah penyesuaian diri dengan keluarga dan anggota keluarga pasangan. Dengan perkawinan setiap orang dewasa akan secara otomatis memperoleh sekelompok keluarga. Mereka itu adalah anggota keluaga pasangan dengan usia yang berbeda,yang kerap kali mempunyai minat dan nilai yang berbeda dari segi pendidikan,budaya dan latar belakang sosial. Suami dan istri tersebut harus mempelajarinya dan menyesuaikan diri dengannya bila mereka tidak ingin hubungan mereka tegang dengan sanak saudara mereka. Bukan sama sekali tidak umum khususnya apabila pasangan suami dan istri masih baru nikah dan tidak mengalami karena keluarga pihak pasangan mereka mengendalikan mereka, terutama jika mereka sebagian atau seluruhnya bertanggungjawab untuk menanggung mereka. Sebaliknya, pasangan itu lebih tualebih banyak pengalaman dan mapan dalam keuangan maka keluarga dari pihak pasangan tidak mungkin mencampuri hidup mereka.
Kondisi-Kondisi Yang Berpengaruh terhadap Kesulitan Dalam Penyesuaian Perkawinan

Selain empat pokok faktor-faktor yang mempengaruhi dalam melakukan penyesuaian perkawinan diatas juga terdapat kondisi-kondisi yang membuat suami dan istri untuk melakukan penyesuaian perkawinan (Hurlock dalam Puspita sari, 2015):
  1. Persiapan yang terbatas untuk perkawinan. Persiapan yang terbatas dari suami-istri dalam keterampilan rumah tangga,mengasuh anak, serta manajemen uang membuat pasangan kesulitan dalam penyesuaian perkawinannya.
  2. Peran dalam perkawinan. Kecendrungan terhadap perubahan peran dalam perkawinan bagi pria dan wanita,kemudian konsep yang berbeda tentang peran yang dianut kelas sosial dan kelompok religious yang berbeda,membuat penyesuaian perkawinan lebih sulit dari pada masa lalu ketika peran sudah ditentukan.
  3. Kawin muda. Perkawinan dan kedudukan sebagai orang tua sebelum pasangan muda yang menyelesaikan pendidikan dan belum mandiri secara ekonomi membuat mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mempunyai pengalaman yang dipunyai kesempatan untuk mempunyai pengalaman yang dipunyai teman-teman mereka.
  4. Konsep yang tidak realistis tentang perkawinan. Orang dewasa yang bekerja disekolah dan perguruan tinggi, dengan sedikit atau tanpa pengalaman kerja, cenderung mempunyai konsep yang tidak realistis tentang makna perkawinan berkenaan dengan pekerjaan, deprivasi,pembelanjaan uang, atau perubahan dalam pola hidup.
  5. Perkawinan campur. Penyesuaian terhadap kedudukan sebagai orang tua dan dengan para saudara dari pihak istri dan sebaliknya,jauh lebih sulit dalam perkawinan antar agama daripada bila keduanya berasal dari latar belakang budaya (agama) yang sama.
  6. Masa pacaran yang singkat. Priode atau masa pacaran yang lebih singkat berdampak pada setidaknya waktu bagi pasangan untuk memecahkan banyak masalah tentang penyesuaian sebelum mereka melangsungkan perkawinan. Grover (dalam Donna, 2010) menyatakan ada pengaruh yang sangat tinggi antara lamanya waktu pacaran dengan kepuasan perkawinan yang merupakan indikator dari penyesuaian perkawinan yang baik.
  7. Konsep perkawinan yang romantic. Banyak orang dewasa yang mempunyai konsep perkawinan yang romantis yang berkembang pada masa remaja. Pada saat pacaran masing-masing pasangan merasakan adanya suatu keadaan yang romantik dan mereka menganggap bahwa keadaan itu akan selalu ada ketika mereka telah melangsungkan perkawinan. Namun, banyak pasangan menemukan bahwa perkawinan yang romantis dan bulan madu tidak akan abadi selamanya(Turner & Hems dalam Donna, 2010).
Perkawinan di Minang kabau

Menurut Amir (2003) Berpilin duanya antara adat dan agama islam di Minang kabau membawa konsekuensi sendiri. Baik ketentuan adat maupun ketentuan agama dalam mengatur hidup dan kehidupan masyarakat Minang tidak dapat diabaikan, khususnya dalam pelaksanaan perkawinan. Kedua aturan itu harus dipelajari dan dilaksanakan dengan cara serasi, seiring dan sejalan. Pelanggaran, apalagi pendobrakan, terhadap salah satu ketentuan adat maupun ketentuan agama islam dalam masalah perkawinan akan membawa konsekuensi yang pahit sepanjang hayat dan bahkan berkelanjutan pada keturunan.

Hukuman yang dijatuhkan masyarakat adat dan agama, walau tak pernah di undangkan sangat berat. Kadangkala jauh lebih berat daripada hukuman yang dijatuhkan pengadilan agama maupun pengadilan negara. Hukuman itu tidak kentara dalam bentuk pengucilan dan pengasingan dari pergaulan masyarakat Minang. Oleh karena itu, dalam perkawinan, orang Minang selalu berusaha memenuhi semua syarat perkawinan yang lazim di Minang kabau(Amir, 2003).

Syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari (dalam Amir, 2003) adalah sebagai berikut:
  1. Kedua calon mempelai harus beragama islam;
  2. Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari suku yang sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari atau luhak yang lain;
  3. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak;
  4. Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.

Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi semua syarat diatas dapat dianggap perkawinan sumbang atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat Minang. Selain dari itu, masih ada tata krama dan upacara adat dan ketentuan agama Islam yang harus dipenuhi seperti tata krama jopuik manjopuik, pinang meminang, batuka tando, akad nikah, baralek gadang, jalang manjalang, dan sebagainya. Tata krama dan upacara adat perkawinan inipun tak mungkin diremehkan karena semua orang Minang menganggap bahwa perkawinan itu sesuatu yang agung, yang kini diyakini hanya sekali seumur hidup(Amir, 2003).

Perkawinan Ideal Menurut Adat Minang kabau

Menurut Akbar Dkk (2008) Masyarakat Minang kabau dengan sistim matri lineal dalam kehidupan yang komunal menempatkan perkawinan seorang laki-laki dengan seorang perempuan menjadi persoalan dan urusan kerabat, mulai dari mencari pasangan, membuat persetujuan, pertunangan dan sampai ke jenjang upacara perkawinan. Perkawinan bukanlah masalah sepasang insan yang hendak membentuk keluarga atau membentuk rumah tangga saja. Oleh karena sebab itu, dalam falsafah Minang kabau telah menjadikan semua orang hidup bersama-sama, maka rumah tangga menjadi urusan bersama, sehingga masalah pribadi dalam hubungan suami istri tidak terlepas dari masalah bersama. Perkawinan yang dilakukan di Minang kabau secara detail menurut Akbar Dkk (2008) adalah:
  1. Perkawinan antar keluarga dekat. Perkawinan yang dilakukan antara anak dengan kemenakan, lazim disebut orang sebagai pulang ka mamak atau pulang kabako. Pulang ka mamak berarti mengawini anak mamak, sedangkan pulang kabako berarti mengawini kemenakan ayah. Perkawinan anak mamak ini untuk mempererat hubungan kedua keluarga. Selain itu perkawinan cross-cousin mempunyai keuntungan lain dari segi harta benda. Hal ini dinyatakan dalam pepatah “anak di pangku kamanakan dibimbing”. Seorang bapak tidak hanya bertanggung jawab kepada kesejahteraan anaknya tetapi juga betanggung jawab atas kebaikan kemenakannya. Karena itu tidak mengherankan kalau seorang laiki-laki harus membagi waktunya untuk bekerja di rumah kemenakannya dan di rumah anaknya.
  2. Perkawinan ambil-mengambil. Perkawinan mengambil antara kakak beradik laki-laki dan perempuan A menikah secara bersilang dengan kakak beradik laki-laki perempuan B. Tujuan perkawinan ambil-mengambil itu selain untuk mempererat hubungan kekerabatan antar beripar-bisan, juga untuk memudahkan memperoleh suami yang pantas bagi anak kemenakannya. Mencarikan suami untuk seorang anak gadis memanglah tidak mudah, lebih-lebih di wilayah yang memakai adat-istiadat uang jemputan atau uang hilang. Dengan sistim ambil-mengambil itulah masalah uang jemputan atau hilang dapat diatasi.
  3. Perkawinan yang dilakukan orang sakampung. Dalam mencari menantu dari pihak si gadis merupakan suatu idaman setiap orang untuk mendapatkan menantu terpandang dalam masyarakat. Pada suatu nagari atau kampung untuk mencari menantu yang terpandang selalu dilakukan yang terdekat atau sekampung/ senagari disebut juga dengan kemanakan dibawah lutut.
Sistem Dan Seluk Beluk Perkawinan

Menurut Yaswirman (2013) tujuan pokok perkawinan dalam islam adalah menghubungkan kasih sayang antara laki-laki dengan perempuan melalui akad nikah. Karena itu ia sangat bersifat individual, tidak mengharapkan keikutsertaan pihak lain dalam keluarga. Kalau sistem perkawinan menurut adat Minang kabau menganut consanguinal (mengutamakan kepentingan kelompok/ kaum), maka sistem perkawinan islam menganut congjungal (mengutamakan kepentingan kedua calon suami istri. Keluarga inti dalam perkawinan Islam adalah suami istri bersama anak-anak. Sementara ibu dan ayah, termasuk ibu dan ayah mertuaberada di keluarga inti dan di sebut sebagai pihak ketiga. Salah satu hikmah ucapan ijab oleh wali perempuan ketika akad nikah adalah penyerahan anaknya secara penuh kepada calon suaminya. Maka secara tidak langsung orang tua atau wali sudah berada di luar keluarga inti.

Hukum islam tidak menggariskan perlunya persetujuan kaum atau kerabat kedua belah pihak untuk menentukan sah atau tidaknya, diteruskan atau dibatalkannya perkawinan. Ketentuan yang mutlak adalah tidak ada pemaksaan bagi yang akan dikawinkan. Oleh karena keluarga inti dalam islam hanya ayah, ibu dan anak-anak, maka fungsi kerabat lain tidak mengikat atau tidak menentukan diteruskan atau dibatalkan akad. Jika kedua belah pihak sudah mempunyai pertimbangan yang matang, maka pihak kerabat pada dasarnya tidak berhak mencegahnya, kecuali ada dugaan jika perkawinan itu dilanjutkan akan terjadi hal-hal yang bisa merusak sendi-sendi rumah tangga mereka. (Yaswirman, 2013)

Pengertian Pulang Kabako

Pulang Kabakoadalah perkawinan yang dilakukan antara anak dan kemenakan atau lazim disebut sebagai Pulang ke mamak. Pulang ke mamak berarti mengawini anak mamak, sedangkan Pulang Kabako mengawini kemenakan ayah (Navis dalam Sari Dkk, 2011).

Menurut Sari Dkk (2011) perkawinan Pulang Kabako artinya perkawinan yang dilakukan oleh anak laki-laki dengan anak perempuan saudara laki-laki ibunya (anak paman/anak mamak) atau seorang anak laki-laki melakukan perkawinan dengan anak saudara perempuan bapaknya. Jenis perkawinan ini lebih dikenal dengan istilah Bako Baki. Adat tidak memberi ketentuan khusus masalah Pulang Kabako ini, apabila mereka mempunyai hubungan Bako dan Baki, anak laki-laki telah sanggup untuk memberi nafkah,baik nafkah lahir maupun nafkah batin dan telah sesuai dengan ketentuan hukum perkawinan yang berlaku, maka seorang kemenakan laki-laki dengan berbagai alasan dan pertimbangan diminta oleh pamannya untuk dinikahi dengan anak perempuannya.

No comments:

Post a Comment