Pengertian Bisnis Dalam Islam
Kebahagiaan merupakan tujuan utama kehidupan manusia. Manusia akan memperoleh kebahagiaan ketika seluruh kebutuhan dan keinginan terpenuhi, baik dalam aspek material maupun spiritual.
Setiap manusia memerlukan harta untuk mencukupi segala kebutuhan hidupnya. Karenanya, manusia akan selalu berusaha memperoleh harta kekayaan itu. Salah satunya melalui bekerja, sedangkan salah satu dari ragam bekerja adalah berbisnis.
Berbisnis dalam pandangan Islam merupakan aspek kehidupan yang dikelompokkan kedalam masalah mu’amalah, yakni masalah yang berkenaan dengan dengan hubungan yang bersifat horizontal dalam kehidupan manusia. Sekalipun sifatnya adalah hubungan yang horizontal namun sesuai dengan ajaran Islam, rambu-rambunya tetap mengacu pada Al-Qur’an dan hadits.
Dari perspektif agama, aktivitas perdagangan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh agama akan bernilai ibadah. Artinya, dengan berbisnis itu, selain mendapat keuntugan-keuntungan materil guna memenuhi kebutuhan ekonomi, pelakunya sekaligus dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Islam meliputi semua aspek kehidupan ber-muamalah dan sekaligus berupaya memberi pemahaman bahwa di manapun dalam keseharian tuntunan yang Islami selalu ada. Jadi, tidak berlebihan jika dalam praktik kita selalu berada dalam koridor tuntunan ini. Rasulullah SAW berpegang pada lima konsep dalam berbisnis atau perdagangan. Pertama, jujur, suatu sifat yang sudah melekat pada diri beliau. Kedua, yaitu ikhlas, di mana dengan keikhlasan seorang pembisnis tidak akan tunggang langgang mengejar materi belaka. Profesionalisme sebagai konsep ketiga. Seorang yang profesional akan selalu bekerja maksimal. Keempat adalah silaturahmi, yang mendasari pola hubungan beliau dengan pelanggan. Kelima adalah murah hati dalam melakukan kegiatan berbisnis.
Maka telaah terhadap berbisnis dari perspektif Islam diharapkan akan mampu menjawab dan meluruskan berbagai berbagai permasalahan dalam bidang ini. Bahwa berbisnis dengan kejujuran, keadilan, dalam bingkai ketakwaan kepada Sang Maha Pencipta, merupakan persyaratan mutlak terwujudnya praktik-praktik bisnis yang dapat mendatangkan kebaikan secara optimal kepada semua pihak yang terlibat. Berbisnis yang mendatangkan kegunaan yang lebih besar bagi kedua belah pihak yang terlibat adalah berbisnis yang dilakukan berdasarkan suka sama suka.
Aktivitas berbisnis merupakan salah satu dari aspek kehidupan yang bersifat horizontal yang dimaksud, yang menurut fikih Islam dikelompokkan ke dalam masalah mu’amalah, yakni masalah-masalah yang berkenaan dengan hubungan antarmanusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Bisnis ternyata memiliki dua dimensi, yakni dimensi duniawi dan dimensi ukhrawi. Berbisnis yang dijalankan berlandaskan nilai-nilai Islam dalam penelaahan ini dipahami sebagai yang berdimensi ukhrawi, demikian sebaliknya berdimensi duniawi apabila suatu aktivitas bisnis terlepas dari nilai-nilai Islam yang dimaksud.
Ditegaskan bahwa misi hakiki manusia lahir kedunia ini tidak lain semata-mata hanya untuk mengabdi kepada Sang Maha Pencipta. Segala aktivitas yang dilakukan ditujukan untuk kepentingan hidup di akhirat, tetapi tidak mengabaikan dunia, dalam setting ruang dan waktu yang sangat singkat, dalam akses yang sudah ditentukan, dan dengan pertanggungjawaban yang permanen, dan karena itu, semua aktivitas manusia, termasuk di dalamnya masalah berbisnis, hendaknya diselaraskan ke dalam hakikat tersebut.
Di sini terlihat betapa ajaran Islam menempatkan kegiatan usaha berbisnis sebagai salah satu bidang penghidupan yang sangat dianjurkan, tetapi tetap dengan cara-cara yang dibenarkan oleh agama. Dengan demikian, sekali lagi, usaha berbisnis akan mempunyai nilai ibadah, apabila hal tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan agama dan diletakkan ke dalam kerangka ketaatan kepada Sang Pencipta.
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa konsep berbisnis mempunyai makna eskatologis, yakni yang mencakup keselamatan dan tujuan akhir kehidupan manusia, apabila bisnis tersebut berdimensi vertikal dan sekaligus berdimensi horizontal.
Qaradhawi (2001 : 293-297) menegaskan bahwa sah dan tidaknya transaksi bisnis tergantung jujur dan tidaknya usaha berbisnis itu dilakukan.
Islam mewajibkan setiap muslim, khususnya yang memiliki tanggungan, untuk “bekerja”. Bekerja merupakan salah satu sebab pokok yang memungkinkan manusia memiliki harta kekayaan. Untuk memungkinkan manusia berusaha mencari nafkah, Allah SWT melapangkan bumi serta menyediakan berbagai fasilitas yang dapat dimanfaatkan manusia untuk mencari rezeki.
Artinya : “Allah-lah yang Telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, Kemudian dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan dia Telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan Telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan dia Telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya....”. (QS. Ibrahim : 32-34).
Artinya : “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya....”. (QS. Al-Mulk : 15).
Artinya : “Sesungguhnya kami Telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan.....”. (QS. Al-A’raf : 10).
Dari paparan di atas, bisnis Islami dapat diartikan sebagai serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah (kuantitas) kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan haram).
- Harta Dalam Bisnis Islami. Secara bahasa, sebagaimana dijelaskan dalam al-Muhith tulisan al-Fairuz Abadi, dalam bahasa Arab, harta disebut al-mal atau jamaknya al-amwal. Secara harfiyah, harta (al-mal) adalah ma malaktahu min kulli syai. Artinya, segala sesuatu yang engkau punyai. Adapun dalam istilah syar’i, harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan dalam perkara yang legal menurut hukum syara’ (hukum Islam), seperti bisnis, pinjaman, konsumsi, dan hibah (pemberian). Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa apa pun, baik barang maupun jasa, yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan dunia merupakan harta. Uang, tanah, kendaraan, rumah, perhiasan, perabotan rumah tangga, hasil perkebunan, hasil kelautan, dan pakaian termasuk dalam kategori al-amwal, harta kekayaan.
- Orientasi Syariah Sebagai Kendali Bisnis Islami. Sejalan dengan kaedah ushul “al-aslu fi al-af’al at-taqayyud bi hukmi asy-syar’i”, yang berarti bahwa hukum asal suatu perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’ : wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram, maka pelaksanaan bisnis harus tetap berpegang pada ketentuan syari’at. Dengan kata lain, syari’at merupakan nilai utama yang menjadi payung strategis maupun taktis organisasi bisnis. Dengan kendali syari’at, bisnis bertujuan untuk mencapai empat hal utama :
- Target hasil, profit-materi dan benefit-nonmateri.
- Pertumbuhan, artinya terus meningkat.
- Keberlangsungan, dalam kurun waktu selama mungkin.
- Keberkahan atau keridhaan Allah.
- Perbedaan Bisnis Islami dan Bisnis Nonislami. Bisnis Islami yang dikendalikan pleh aturan halal dan haram, baik dari cara perolehan maupun pemanfaatan harta, sama sekali berbeda dengan bisnis nonislami. Dengan landasan sekularisme yang bersendikan pada nilai-nilai material, bisnis nonislami tidak memperhatikan aturan halal dan haram dalam setiap perencanaan, pelaksanaan, dan segala usaha yang dilakukan dalam meraih tujuan-tujuan bisnis.
Dari asas sekularisme inilah, seluruh bangunan karakter bisnis nonislami diarahkan pada hal-hal yang bersifat duniawi dan menafikan nilai ruhiah serta keterikatan pelaku bisnis pada aturan yang lahir dari nilai-nilai transendental (aturan halal-haram). Kalaupun ada aturan, semata berrsifat etik yang tidak ada hubungannya dengan dosa dan pahala.
Dengan melihat karakter yang dimiliki, bisnis islami hanya akan hidup secara ideal dalam sistem dan lingkungan yang islami pula. Dalam lingkungan yang tidak islami, sebagaimana yang kini terjadi, disadari atau tidak, disengaja atau tidak, suka atau tidak, pelaku bisnis islami akan mudah sekali terseret dan sukar berkelit dalam kegiatan yang dilarang agama. Mulai dari uang pelicin saat perizinan usaha, menyimpan usaha, menyimpan uang dalam rekening koran yang berbunga, hingga iklan yang tidak senonoh dan sebaliknya.
Dasar Hukum Bisnis Dalam Islam
Bisnis dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang dibenarkan dan telah diatur dalam Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ para Ulama, dibenarkan dalam arti yang merugikan orang lain, tidak ransparan, dan praktik riba yang melanggar syari’ah, dengan mengedepankan kejujuran, transparan atau keterusterangan, saling meridhai, manajemen yang baik, dan sebagainya. Diantara ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi dasar diperbolehkan berbisnis diantaranya. Allah berfirman :
Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.(QS. Al-Baqarah : 275).
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisaa’ : 29).
Artinya : “Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”. (QS. At-Taubah: 24).
Artinya : “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”. (QS. An-Nur : 37).
Aib Barang Dalam Islam
Cacat (‘aib) adalah setiap sesuatu yang hilang darinya sifat fitrah yang baik dan mengakibatkan kurangnya harga dalam pandangan umum para pedagang, baik cacat itu besar maupun kecil, seperti buta, buta sebelah, dan juling.
Definisi cacat (‘aib) menurut ulama Syafi‟iyah adalah setiap sesuatu yang mengurangi fisik atau nilai, atau sesuatu yang menghilangkan tujuan yang benar jika ketiadaannya dalam jenis barang bersifat menyeluruh.
Sedangkan cacat (‘aib) menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah segala sesuatu yang menunjukkan adanya kekurangan dari aslinya, baik berkurangnya sedikit maupun banyak.
اَلْمُسْلِمُ اَخُوالْمُسْلِمِ لَايَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ اَخِيْهِ بَيْعًاوَفِيْهِ عَيْبٌ اِلاَّ بَيِّنَةٌ لَهُ.
(رواه ابن ماجه عن عقبةبن عامر)
Artinya : “Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain. Tidaklah halal bagi seorang muslim untuk menjual barang bagi saudaranya yang mengandung kecacatan, kecuali jika menjelaskannya terlebih dahulu”.
مَرَّالنَّبِيُّ ص.م.بِرَجُلٍ يَبِيْعُ طَعَامًافَاَدْخَلَ يَدَهُ فِيْهِ فَاِذَاهُوَمَبْلُوْلٌ فَقَالَ:مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا.
Artinya : “Suatu hari Rasulullah SAW melewati seorang pedagang makanan, kemudian beliau mencelupkan tangannya ke atas makanan tersebut, dan mengetahui makanan itu basah (basi). Bersabda, “Barang siapa yang menipu kita, ia bukan dari golongan kita”.
Aib yang menyebabkan seorang pembeli memiliki hak untuk mengembalikan barang yang dibeli adalah suatu ‘aib (cacat) yang menjadikan turunnya harga barang yang dijual, atau ‘aib yang menghilangkan tujuan yang shahih (benar) bagi si pembeli.
Pihak penjual diwajibkan menerangkan keadaan barang dan tidak menyembunyikan cacatnya kepada calon pembeli. Dari Hakim bin Hizam Nabi Muhammad SAW. Pernah menerangkan :
فَإِنْ صَدَقَاوَبَيَّنَابُوْرِكَ لَهُمَافِي بَيْعِهِمَا,وَإِنْ كَتَمَاوَكَذَبَ مُعَقَتْ بَرَكَةَبَيْعِهِمَا.
(رواه البخاري)
Artinya : “Jika keduanya benar dan menyatakan keadaan barang, keduanya diberikan keberkahan dalam jual belinya. Akan tetapi, jika keduanya menyembunyikan dan berdusta, dihapuskan keberkahan jual belinya.” (HR. Bukhari).
Adakalanya, seseorang membeli barang yang cacatnya baru diketahui beberapa waktu kemudian setelah akad jual beli berlangsung. Apabila terjadi hal demikian, pihak pembeli berhak mengembalikan barang dan menerima kembali uangnya dari pihak penjual.
Apabila barang yang cacatnya baru diketahui setelah akad jual beli terjadi, ada tiga alternatif bagi pembeli, yaitu :
- Apabila pembeli ridha, barang tetap dibeli, dan dijual dipandang sah.
- Membatalkan sama sekali akad jual beli segera setelah cacat diketahui.
- Menuntut ganti rugi dari pihak penjual, seimbang dengan cacat barang atau menerima potongan harga sebanding dengan cacatnya.
Sayyid Sabiq mengatakan, ada dua kemungkinan terlanjurnya pembelian barang yang bercacat, yaitu: Pertama, karena memang pihak penjual tidak mengetahui bahwa barang yang telah dibelinya cacat karena isinya tersembunyi dalam kulit atau bungkusan yang rapat; dan Kedua, karena ada unsur kesengajaan menipu dengan menyembunyikan cacat barang.
SUMBER :
- Yusanto, Menggagas Bisnis Islami, (Jakarta : Gema Insani Press, 2002)
- Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2001)
- Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2010)
No comments:
Post a Comment