Pengertian Ila’

Sunday, September 30, 2018

Kriteria Diagnosis Skizofrenia

Pengertian Skizofrenia

Menurut Kartini Kartono (2014) Skizofenia adalah kondisi psikotis dengan gangguan disintegrasi, depersonalisasi, kebelahan atau kepecahan struktur kepribadian serta regresi diri yang parah. Skizofrenia adalah penyakit kronik, parah dan menyebabkan disfungsi otak (Oxford Medical Dictionary, 2010). Menurut SANE Australia (2010) skizofrenia ini mempengaruhi fungsi otak dan mengganggu keupayaan seseorang untuk berpikir dan berprilaku normal.

Nevid, Rathus, dan Greene (2005) mengungkapkan bahwa “skizofrenia merupakan gangguan psikologis yang paling berhubungan dengan pandangan mayoritas masyarakat tentang gila atau sakit mental. Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhiotak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan perilaku yang aneh dan terganggu.Skizofrenia digambarkan sebagai individu yang bodoh, aneh, dan berbahaya (Irmansyah, 2006).

Berdasarkan uraian diatas skizofrenia adalah kondisi psikotis dengan gangguan disintegrasi, depersonalisasi, kebelahan atau kepecahan struktur kepribadian serta regresi diri yang parah sehingga menyebabkan disfungsi otak serta mengganggu keupayaan seseorang untuk berpikir dan berprilaku normal.

Simptom Fisik dan Psikis

Menurut Kartini Kartono (2014) symptom fisik dan psikis penderita gangguan skizofrenia meliputi sebagai berikut :
  1. Simptom Fisik. Yaitu gangguan motorik berupa retardasi jasmani dan lamban gerak-geraknya. Ada tingkah laku streotyps kadang-kadang ada gerak motorik yang lamban, tidak teratur dan kaku atau tingkah lakunya sering aneh-aneh (eksentrik).
  2. Simptom Psikis. Symptom psikis pada penderita gangguan skizofrenia meliputi:
    • Intelek dan ingatan jadi sangat mundur, jadi sangat introvert dan pemimpi siang.
    • Mengalami regresi atau regenerasi mental sehingga menjadi acuh tak acuh dan apatis, tanpa minat pada alam sekitar dan tanpa kontak sosial.
    • Menjadi jorok dan kotor, menipis perasaa atau afeksinya dan sering tidak tahu malu.
    • Dihinggapi mcam-macam angan-angan dan pikiran keliru seperti halusinasi dan delusi yang salah.
    • Sering mengarang kata atau istilah tanpa mengandung arti.
    • Emosinya banyak gangguan emosional.
    • Gangguan kepribadiannya breakdown mental secara total.
Kriteria Diagnosis Skizofrenia

Berdasarkan PPDGJ III kriteria dari diagnosis skizofrenia (F.20.9) adalah sebagai berikut :
  1. Bouffe Delirante (acute delusional psychosis). Konsep diagnosis skizofrenia dengan gejala akut yang kurang dari 3 bulan, criteria diagnosisnya sama dengan DSM-IV-TR 40% dari pasien yang di diagnose dengan Bouffe Delirante akan progresisf dan akhirnya diklaisfikasikan sebagai pasien skizofren.
  2. Oneiroid. Pasien dengan keadaan terperangkap dengan dunia mimpi, biasanya mengalami disorientasi waktu dan tempat. Istilah ini digunakan pada pasien yang terperangkap dalam pengalaman halusinasinya dan mengesampingkan keterlibatan dunia nyata. 
  3. Early onset schizophrenia. Skizofrenia yang gejalanya muncul pada usia kanak-kanak. Perlu dibedakan dengan retardasi mental dan autism.
  4. Late onset schizophrenia. Skizofrenia yang terjadi pada usia lanjut (>45 tahun).

Simptom Fisik dan Psikis

Pengertian Skizofrenia

Menurut Kartini Kartono (2014) Skizofenia adalah kondisi psikotis dengan gangguan disintegrasi, depersonalisasi, kebelahan atau kepecahan struktur kepribadian serta regresi diri yang parah. Skizofrenia adalah penyakit kronik, parah dan menyebabkan disfungsi otak (Oxford Medical Dictionary, 2010). Menurut SANE Australia (2010) skizofrenia ini mempengaruhi fungsi otak dan mengganggu keupayaan seseorang untuk berpikir dan berprilaku normal.

Nevid, Rathus, dan Greene (2005) mengungkapkan bahwa “skizofrenia merupakan gangguan psikologis yang paling berhubungan dengan pandangan mayoritas masyarakat tentang gila atau sakit mental. Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhiotak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan perilaku yang aneh dan terganggu.Skizofrenia digambarkan sebagai individu yang bodoh, aneh, dan berbahaya (Irmansyah, 2006).

Berdasarkan uraian diatas skizofrenia adalah kondisi psikotis dengan gangguan disintegrasi, depersonalisasi, kebelahan atau kepecahan struktur kepribadian serta regresi diri yang parah sehingga menyebabkan disfungsi otak serta mengganggu keupayaan seseorang untuk berpikir dan berprilaku normal.

Simptom Fisik dan Psikis

Menurut Kartini Kartono (2014) symptom fisik dan psikis penderita gangguan skizofrenia meliputi sebagai berikut :
  1. Simptom Fisik. Yaitu gangguan motorik berupa retardasi jasmani dan lamban gerak-geraknya. Ada tingkah laku streotyps kadang-kadang ada gerak motorik yang lamban, tidak teratur dan kaku atau tingkah lakunya sering aneh-aneh (eksentrik).
  2. Simptom Psikis. Symptom psikis pada penderita gangguan skizofrenia meliputi:
    • Intelek dan ingatan jadi sangat mundur, jadi sangat introvert dan pemimpi siang.
    • Mengalami regresi atau regenerasi mental sehingga menjadi acuh tak acuh dan apatis, tanpa minat pada alam sekitar dan tanpa kontak sosial.
    • Menjadi jorok dan kotor, menipis perasaa atau afeksinya dan sering tidak tahu malu.
    • Dihinggapi mcam-macam angan-angan dan pikiran keliru seperti halusinasi dan delusi yang salah.
    • Sering mengarang kata atau istilah tanpa mengandung arti.
    • Emosinya banyak gangguan emosional.
    • Gangguan kepribadiannya breakdown mental secara total.
Kriteria Diagnosis Skizofrenia

Berdasarkan PPDGJ III kriteria dari diagnosis skizofrenia (F.20.9) adalah sebagai berikut :
  1. Bouffe Delirante (acute delusional psychosis). Konsep diagnosis skizofrenia dengan gejala akut yang kurang dari 3 bulan, criteria diagnosisnya sama dengan DSM-IV-TR 40% dari pasien yang di diagnose dengan Bouffe Delirante akan progresisf dan akhirnya diklaisfikasikan sebagai pasien skizofren.
  2. Oneiroid. Pasien dengan keadaan terperangkap dengan dunia mimpi, biasanya mengalami disorientasi waktu dan tempat. Istilah ini digunakan pada pasien yang terperangkap dalam pengalaman halusinasinya dan mengesampingkan keterlibatan dunia nyata. 
  3. Early onset schizophrenia. Skizofrenia yang gejalanya muncul pada usia kanak-kanak. Perlu dibedakan dengan retardasi mental dan autism.
  4. Late onset schizophrenia. Skizofrenia yang terjadi pada usia lanjut (>45 tahun).

Pengertian Skizofrenia

Pengertian Skizofrenia

Menurut Kartini Kartono (2014) Skizofenia adalah kondisi psikotis dengan gangguan disintegrasi, depersonalisasi, kebelahan atau kepecahan struktur kepribadian serta regresi diri yang parah. Skizofrenia adalah penyakit kronik, parah dan menyebabkan disfungsi otak (Oxford Medical Dictionary, 2010). Menurut SANE Australia (2010) skizofrenia ini mempengaruhi fungsi otak dan mengganggu keupayaan seseorang untuk berpikir dan berprilaku normal.

Nevid, Rathus, dan Greene (2005) mengungkapkan bahwa “skizofrenia merupakan gangguan psikologis yang paling berhubungan dengan pandangan mayoritas masyarakat tentang gila atau sakit mental. Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhiotak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan perilaku yang aneh dan terganggu.Skizofrenia digambarkan sebagai individu yang bodoh, aneh, dan berbahaya (Irmansyah, 2006).

Berdasarkan uraian diatas skizofrenia adalah kondisi psikotis dengan gangguan disintegrasi, depersonalisasi, kebelahan atau kepecahan struktur kepribadian serta regresi diri yang parah sehingga menyebabkan disfungsi otak serta mengganggu keupayaan seseorang untuk berpikir dan berprilaku normal.

Simptom Fisik dan Psikis

Menurut Kartini Kartono (2014) symptom fisik dan psikis penderita gangguan skizofrenia meliputi sebagai berikut :
  1. Simptom Fisik. Yaitu gangguan motorik berupa retardasi jasmani dan lamban gerak-geraknya. Ada tingkah laku streotyps kadang-kadang ada gerak motorik yang lamban, tidak teratur dan kaku atau tingkah lakunya sering aneh-aneh (eksentrik).
  2. Simptom Psikis. Symptom psikis pada penderita gangguan skizofrenia meliputi:
    • Intelek dan ingatan jadi sangat mundur, jadi sangat introvert dan pemimpi siang.
    • Mengalami regresi atau regenerasi mental sehingga menjadi acuh tak acuh dan apatis, tanpa minat pada alam sekitar dan tanpa kontak sosial.
    • Menjadi jorok dan kotor, menipis perasaa atau afeksinya dan sering tidak tahu malu.
    • Dihinggapi mcam-macam angan-angan dan pikiran keliru seperti halusinasi dan delusi yang salah.
    • Sering mengarang kata atau istilah tanpa mengandung arti.
    • Emosinya banyak gangguan emosional.
    • Gangguan kepribadiannya breakdown mental secara total.
Kriteria Diagnosis Skizofrenia

Berdasarkan PPDGJ III kriteria dari diagnosis skizofrenia (F.20.9) adalah sebagai berikut :
  1. Bouffe Delirante (acute delusional psychosis). Konsep diagnosis skizofrenia dengan gejala akut yang kurang dari 3 bulan, criteria diagnosisnya sama dengan DSM-IV-TR 40% dari pasien yang di diagnose dengan Bouffe Delirante akan progresisf dan akhirnya diklaisfikasikan sebagai pasien skizofren.
  2. Oneiroid. Pasien dengan keadaan terperangkap dengan dunia mimpi, biasanya mengalami disorientasi waktu dan tempat. Istilah ini digunakan pada pasien yang terperangkap dalam pengalaman halusinasinya dan mengesampingkan keterlibatan dunia nyata. 
  3. Early onset schizophrenia. Skizofrenia yang gejalanya muncul pada usia kanak-kanak. Perlu dibedakan dengan retardasi mental dan autism.
  4. Late onset schizophrenia. Skizofrenia yang terjadi pada usia lanjut (>45 tahun).

Skizofrenia

Pengertian Skizofrenia

Menurut Kartini Kartono (2014) Skizofenia adalah kondisi psikotis dengan gangguan disintegrasi, depersonalisasi, kebelahan atau kepecahan struktur kepribadian serta regresi diri yang parah. Skizofrenia adalah penyakit kronik, parah dan menyebabkan disfungsi otak (Oxford Medical Dictionary, 2010). Menurut SANE Australia (2010) skizofrenia ini mempengaruhi fungsi otak dan mengganggu keupayaan seseorang untuk berpikir dan berprilaku normal.

Nevid, Rathus, dan Greene (2005) mengungkapkan bahwa “skizofrenia merupakan gangguan psikologis yang paling berhubungan dengan pandangan mayoritas masyarakat tentang gila atau sakit mental. Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhiotak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan perilaku yang aneh dan terganggu.Skizofrenia digambarkan sebagai individu yang bodoh, aneh, dan berbahaya (Irmansyah, 2006).

Berdasarkan uraian diatas skizofrenia adalah kondisi psikotis dengan gangguan disintegrasi, depersonalisasi, kebelahan atau kepecahan struktur kepribadian serta regresi diri yang parah sehingga menyebabkan disfungsi otak serta mengganggu keupayaan seseorang untuk berpikir dan berprilaku normal.

Simptom Fisik dan Psikis

Menurut Kartini Kartono (2014) symptom fisik dan psikis penderita gangguan skizofrenia meliputi sebagai berikut :
  1. Simptom Fisik. Yaitu gangguan motorik berupa retardasi jasmani dan lamban gerak-geraknya. Ada tingkah laku streotyps kadang-kadang ada gerak motorik yang lamban, tidak teratur dan kaku atau tingkah lakunya sering aneh-aneh (eksentrik).
  2. Simptom Psikis. Symptom psikis pada penderita gangguan skizofrenia meliputi:
    • Intelek dan ingatan jadi sangat mundur, jadi sangat introvert dan pemimpi siang.
    • Mengalami regresi atau regenerasi mental sehingga menjadi acuh tak acuh dan apatis, tanpa minat pada alam sekitar dan tanpa kontak sosial.
    • Menjadi jorok dan kotor, menipis perasaa atau afeksinya dan sering tidak tahu malu.
    • Dihinggapi mcam-macam angan-angan dan pikiran keliru seperti halusinasi dan delusi yang salah.
    • Sering mengarang kata atau istilah tanpa mengandung arti.
    • Emosinya banyak gangguan emosional.
    • Gangguan kepribadiannya breakdown mental secara total.
Kriteria Diagnosis Skizofrenia

Berdasarkan PPDGJ III kriteria dari diagnosis skizofrenia (F.20.9) adalah sebagai berikut :
  1. Bouffe Delirante (acute delusional psychosis). Konsep diagnosis skizofrenia dengan gejala akut yang kurang dari 3 bulan, criteria diagnosisnya sama dengan DSM-IV-TR 40% dari pasien yang di diagnose dengan Bouffe Delirante akan progresisf dan akhirnya diklaisfikasikan sebagai pasien skizofren.
  2. Oneiroid. Pasien dengan keadaan terperangkap dengan dunia mimpi, biasanya mengalami disorientasi waktu dan tempat. Istilah ini digunakan pada pasien yang terperangkap dalam pengalaman halusinasinya dan mengesampingkan keterlibatan dunia nyata. 
  3. Early onset schizophrenia. Skizofrenia yang gejalanya muncul pada usia kanak-kanak. Perlu dibedakan dengan retardasi mental dan autism.
  4. Late onset schizophrenia. Skizofrenia yang terjadi pada usia lanjut (>45 tahun).

Tuesday, September 25, 2018

Humor

Pengertian Sense Of Humor

Humor

Humor berasal dari kata umor yaitu You-moors yang berarti cairan mengalir, yang merupakan sifat dari sesuatu atau suatu situasi yang kompleks yang menimbulkan keinginan untuk tertawa (Hartanti dalam Fitriani & Hidayah, 2012).

Menurut Eysenck (dalam Fitriani & Hidayah, 2012) secara sederhana humor didefenisikan sebagai suatu yang lucu. Sesuatu yang bersifat humor adalah sesuatu yang dapat membuat tertawa.

Humor menurut Kuiper (dalam Alfiani, 2015) adalah stimulus yang dapat memancing tawa pada seseorang, seperti lelucon, cerita lucu, kartun lucu, situasi memalukan, lelucon praktis, dan sebagiannya. Humor digambarkan sebagai salah satu stimulus yang dapat membantu seseorang untuk tertawa dan merasa bahagia (Ripoll dalam Alfiani, 2015).

Lippman dan Dunn (dalam Sitanggang, 2009) menyatakan bahwa humor adalah segala sesuatu yang dapat meningkatkan rangsangan dan mengarahkan pada perasaan senang dan nyaman. Humor adalah sesuatu yang sangat berkaitan dengan respon tertawa (Provine dalam Sitanggang 2009).

Menurut Setiawan, Humor adalah rasa atau gejala yang merangsang kita untuk tertawa atau cenderung tertawa secara mental, ia bisa berupa kesadaran atau rasa, bisa berupa suatu gejala atau hasil cipta dari dalam maupun dari luar diri kita (dalam Thyas dkk, 2014).

Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa humor adalah segala sesuatu (peristiwa, individu, ataupun stimulus-stimulus lainnya) yang dapat membangkitkan rasa senang dan keinginan untuk tertawa.

Sense Of Humor (Kepekaan terhadap Humor)

Rasa humor, atau dikenal dengan istilah sense of humor adalah kemampuan seseorang untuk menangkap adanya sesuatu yang lucu dari sebuah peristiwa. Semakin mudah seseorang menangkap hal-hal lucu, maka semakin tinggi rasa humornya. Proses merasakan humor tidaklah sederhana. Mula-mula pikiran individu berusaha menangkap adanya sisi lucu, kemudian individu berpikir ada sesuatu yang menggelitik dalam suatu peristiwa. Lalu, secara otomatis perasaan individu akan memberikan respon dengan perasaan riang, dan tubuh meresponnya dengan tertawa (Mendatu dalam Thyas dkk, 2014).

Thorson dan Powell (dalam Thyas dkk, 2014) menjelaskan bahwa sense of humor merupakan suatu cara melihat bagaimana seseorang menanggulangi stres dalam menghadapi kehidupan. Jelas terlihat bahwa tidak ada formula yang tepat untuk kepuasan dalam menjalani hidup, Artinya cara atau mekanisme yang digunakan oleh seseorang dalam menghadapi masalah, bisa memberikan gambaran mengenai kesuksesan mereka dalam menjalani hidup. Hal ini berhubungan dengan kemampuan dan kekayaan diri seseorang akan kepekaan terhadap rasa humor.

Kepekaan terhadap humor (Sense Of Humor) merupakan kemampuan seseorang untuk menggunakan humor sebagai cara menyelesaikan masalah, keterampilan yang menciptakan humor, kemampuan menghargai dan menanggapi hal-hal yang bersifat jenaka atau humor (Safaria & Saputra, 2012). Kemampuan menggunakan ataupun menanggapi humor akan dapat menciptakan susasana yang lebih rileks, serta mempermudah pengungkapan perasaan atau impuls dengan cara yang aman dan tidak mengancam sehingga tidak menimbulkan ketegangan. Menurut Keltner dan Bonano (Safaria & Saputra, 2012) individu yang memiliki kepekaan terhadap humor mengidentifikasi kemampuan dalam mengatasi kondisi tertekan, mengurangi emosi negatif seperti marah, meningkatkan emosi positif, serta membuat hubungan dengan teman dan saudara menjadi lebih akrab satu sama lain.

Individu yang memiliki tingkat kepekaan terhadap humor yang tinggi, cenderung terhindar dari dampak negatif suatu kejadian yang tidak menyenangkan dan mudah bangkit dari kesedihan daripada individu yang memiliki kepekaan terhadap humor yang rendah (Safaria & Saputra, 2012).

Melalui kepekaan terhadap humor yang dimiliki, seseorang dapat mengekspresikan sesuatu secara lucu dan menggunakan ide-ide baru secara kreatif (Safaria & Saputra, 2012), memiliki kemampuan untuk mengatakan dan melakukan sesuatu dengan lebih bijaksana.

Eysenck (Safaria & Saputra, 2012) yang mengatakan bahwa kepekaan terhadap humor adalah kecenderungan individu untuk dapat mengatasi rasa sakit, marah, dan depresi; melalui humor seseorang akan mampu menjauhi diri dari situasi yang mengancam dan memandang masalah dari sudut kelucuannya untuk mengurangi kecemasan dan rasa tidak berdaya.

Martin (dalam Afrianti, 2015) mengatakan bahwa sense of humor merupakan istilah luas yang mengacu pada sesuatu yang orang katakan dan lakukan atau bahkan dianggap lucu dan cenderung membuat orang lain tertawa, serta proses mental yang masuk dalam menciptakan dan memahami suatu stimulus lucu, dan juga respon afektif yang terlibat dalam kenikmatan mempunyai humor. Humor diartikan sebagai rasa atau gejala yang merangsang kita untuk tertawa atau cenderung tertawa secara mental, humor bisa berupa rasa atau kesadaran dalam diri kita yang disebut sense of humor (Rahmanadji dalam Afriyanti, 2015).

Sense of humor atau yang biasa disebut dengan kepekaan humor, menurut Meredith merupakan kemampuan untuk menertawakan semua hal termasuk dirinya sendiri dan tetap mencintai dan menyukainya (dalam Fitriani & Hidayat, 2012).

Menurut Nielsen (Safaria & Saputra, 2012) fungsi humor dibagi menjadi beberapa bagian, yakni sebagai berikut :
  1. Fungsi Sosial, humor berfungsi sebagai suatu cara dalam meningkatkan keterampilan sosial. Humor mampu melancarkan kemampuan sosialisasi, meningkatkan reaksi sosial yang positif sehingga dapat menghindari reaksi negatif atau penolakan dari pihak lain. Sejalan dengan hal tersebut, individu yang memiliki kemampuan dalam mengekspresikan humor cenderung memiliki keterampilan sosial. Humor bukan mengikat seseorang atau kelompok yang disukai, tetapi juga dapat menjauhkan seseorang dari orang atau kelompok yang tidak disukai. Humor juga dapat digunakan untuk menunjukan perilaku yang baik dan sopan, serta memudahkan seseorang untuk menyesuaikan diri sehingga mampu membuat pikiran menjadi lebih terbuka serta memperoleh wawasan yang luas. 
  2. Fungsi pendidikan, humor dan tertawa merupakan alat belajar yang sangat penting. Selain itu, humor juga merupakan alat yang sangat efektif untuk membawa seseorang agar mendengarkan pembicaraan, dan dapat dijadikan sebagai alat persuasi yang baik. Sejalan dengan hal tersebut, humor dapat membuat suatu pesan menjadi lebih menarik, menyenangkan, dan mudah untuk diingat. Artinya, humor mampu membuat seseorang merasa rileks sehingga memudahkan untuk menerima pesan yang disampaikan secara lebih efektif. 
  3. Fungsi fisiologis, humor dapat mengalihkan susunan kimia internal seseorang dan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap sistem kekabalan tubuh seseorang, peredaran darah, endokrin, dan juga sistem syaraf yang sangat berpengaruh positif terhadap kesehatan fisik maupun psikologis.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan sense of humor merupakan kemampuan setiap orang atau individu dalam menangkap, menanggapi, merespon, mempersepsikan, mengekspresikan dan menikmati sesuatu yang lucu atau bersifat humor. Bisa juga dikatakan suatu cara melihat bagaimana seseorang menanggulangi stres dalam menghadapi kehidupan.

Aspek-aspek Sense Of Humor

Menurut Thorson & Powell (dalam Sungkar dan Partini, 2015), sense of humor terdiri dari beberapa aspek yakni:
  1. Humor production. Kemampuan untuk menemukan humor pada setiap peristiwa berhubungan dengan perasaan diterima oleh lingkungan.
  2. Coping with humor. Bagaimana individu menggunakan humor untuk mengatasi emosional dan situasi yang mengandung stresful pada individu. Penggunaan humor sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah yang menimpa diri individu.
  3. Humor appreciation. Kemampuan untuk mengapresiakan humor yang dihubungkan dengan internal locus of control seseorang, sebuah indikasi dari seberapa banyak individu mempersepsikan setiap peristiwa lucu sebagai bagian dari perilaku orang lain.
  4. Attitude toward humor. Suatu tingkah laku atau perasaan, baik itu positif atau negatif terhadap suatu lelucon atau humor. Kecenderungan untuk tersenyum dan tertawa pada setiap situasi yang lucu.
Menurut Eysenck (Safaria & Saputra, 2012), mencakup tiga aspek, yaitu berikut ini :
  1. Conformist sense, yaitu kesamaan apresiasi berupa pemahaman dan penghargaan individu tentang materi-materi kelucuan. 
  2. Quantitative sense, yaitu kuantitas atau seringnya individu tertawa, tersenyum, serta mudahnya individu merasa gembira.
  3. Productive sense, yaitu kuantitas atau banyaknya individu menceritakan cerita-cerita lucu dan mampu membuat individu lain gembira.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek sense of humor terbagi atas empat, yaitu humor production, coping with humor, humor appreciation, attitude toward humor.

Faktor yang mempengaruhi Sense Of Humor

Danandja (dalam Fahri, 2013) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi sense of humor adalah sebagai berikut: 
  1. Penyaji humor yang kurang pandai dalam menyampaikan humor sehingga tidak ada respon karena tidak ada stimulus.
  2. Masalah bahasa yang dipakai penyaji, bagaimana bisa mengerti jika diceritakan dengan bahasa jawa dengan orang batak maka jadi kekaburan artisehingga sulit dipahami makna sebenarnya.
  3. Pendengar tidak mengetahui konteks tersebut atau pemahaman terhadap sesuatu yang lucu akibatnya tidak sama sekali dan tidak diperlukan penjelasan selanjutnya. 
  4. Penanggulangan penyajian pada pendengar yang sama, sehingga unsur kejutan hilang dan humor tidak berfungsi karena terjadi kebosanan dalam merespon.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi sense of humor ada empat, yaitu penyaji humor yang kurang pandai dalam menyampaikan humor, masalah bahasa yang dipakai penyaji, pendengar tidak memahami konteks terhadap sesuatu yang lucu, penanggulangan penyajian pada pendengar yang sama.

Pengertian Sense Of Humor

Pengertian Sense Of Humor

Humor

Humor berasal dari kata umor yaitu You-moors yang berarti cairan mengalir, yang merupakan sifat dari sesuatu atau suatu situasi yang kompleks yang menimbulkan keinginan untuk tertawa (Hartanti dalam Fitriani & Hidayah, 2012).

Menurut Eysenck (dalam Fitriani & Hidayah, 2012) secara sederhana humor didefenisikan sebagai suatu yang lucu. Sesuatu yang bersifat humor adalah sesuatu yang dapat membuat tertawa.

Humor menurut Kuiper (dalam Alfiani, 2015) adalah stimulus yang dapat memancing tawa pada seseorang, seperti lelucon, cerita lucu, kartun lucu, situasi memalukan, lelucon praktis, dan sebagiannya. Humor digambarkan sebagai salah satu stimulus yang dapat membantu seseorang untuk tertawa dan merasa bahagia (Ripoll dalam Alfiani, 2015).

Lippman dan Dunn (dalam Sitanggang, 2009) menyatakan bahwa humor adalah segala sesuatu yang dapat meningkatkan rangsangan dan mengarahkan pada perasaan senang dan nyaman. Humor adalah sesuatu yang sangat berkaitan dengan respon tertawa (Provine dalam Sitanggang 2009).

Menurut Setiawan, Humor adalah rasa atau gejala yang merangsang kita untuk tertawa atau cenderung tertawa secara mental, ia bisa berupa kesadaran atau rasa, bisa berupa suatu gejala atau hasil cipta dari dalam maupun dari luar diri kita (dalam Thyas dkk, 2014).

Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa humor adalah segala sesuatu (peristiwa, individu, ataupun stimulus-stimulus lainnya) yang dapat membangkitkan rasa senang dan keinginan untuk tertawa.

Sense Of Humor (Kepekaan terhadap Humor)

Rasa humor, atau dikenal dengan istilah sense of humor adalah kemampuan seseorang untuk menangkap adanya sesuatu yang lucu dari sebuah peristiwa. Semakin mudah seseorang menangkap hal-hal lucu, maka semakin tinggi rasa humornya. Proses merasakan humor tidaklah sederhana. Mula-mula pikiran individu berusaha menangkap adanya sisi lucu, kemudian individu berpikir ada sesuatu yang menggelitik dalam suatu peristiwa. Lalu, secara otomatis perasaan individu akan memberikan respon dengan perasaan riang, dan tubuh meresponnya dengan tertawa (Mendatu dalam Thyas dkk, 2014).

Thorson dan Powell (dalam Thyas dkk, 2014) menjelaskan bahwa sense of humor merupakan suatu cara melihat bagaimana seseorang menanggulangi stres dalam menghadapi kehidupan. Jelas terlihat bahwa tidak ada formula yang tepat untuk kepuasan dalam menjalani hidup, Artinya cara atau mekanisme yang digunakan oleh seseorang dalam menghadapi masalah, bisa memberikan gambaran mengenai kesuksesan mereka dalam menjalani hidup. Hal ini berhubungan dengan kemampuan dan kekayaan diri seseorang akan kepekaan terhadap rasa humor.

Kepekaan terhadap humor (Sense Of Humor) merupakan kemampuan seseorang untuk menggunakan humor sebagai cara menyelesaikan masalah, keterampilan yang menciptakan humor, kemampuan menghargai dan menanggapi hal-hal yang bersifat jenaka atau humor (Safaria & Saputra, 2012). Kemampuan menggunakan ataupun menanggapi humor akan dapat menciptakan susasana yang lebih rileks, serta mempermudah pengungkapan perasaan atau impuls dengan cara yang aman dan tidak mengancam sehingga tidak menimbulkan ketegangan. Menurut Keltner dan Bonano (Safaria & Saputra, 2012) individu yang memiliki kepekaan terhadap humor mengidentifikasi kemampuan dalam mengatasi kondisi tertekan, mengurangi emosi negatif seperti marah, meningkatkan emosi positif, serta membuat hubungan dengan teman dan saudara menjadi lebih akrab satu sama lain.

Individu yang memiliki tingkat kepekaan terhadap humor yang tinggi, cenderung terhindar dari dampak negatif suatu kejadian yang tidak menyenangkan dan mudah bangkit dari kesedihan daripada individu yang memiliki kepekaan terhadap humor yang rendah (Safaria & Saputra, 2012).

Melalui kepekaan terhadap humor yang dimiliki, seseorang dapat mengekspresikan sesuatu secara lucu dan menggunakan ide-ide baru secara kreatif (Safaria & Saputra, 2012), memiliki kemampuan untuk mengatakan dan melakukan sesuatu dengan lebih bijaksana.

Eysenck (Safaria & Saputra, 2012) yang mengatakan bahwa kepekaan terhadap humor adalah kecenderungan individu untuk dapat mengatasi rasa sakit, marah, dan depresi; melalui humor seseorang akan mampu menjauhi diri dari situasi yang mengancam dan memandang masalah dari sudut kelucuannya untuk mengurangi kecemasan dan rasa tidak berdaya.

Martin (dalam Afrianti, 2015) mengatakan bahwa sense of humor merupakan istilah luas yang mengacu pada sesuatu yang orang katakan dan lakukan atau bahkan dianggap lucu dan cenderung membuat orang lain tertawa, serta proses mental yang masuk dalam menciptakan dan memahami suatu stimulus lucu, dan juga respon afektif yang terlibat dalam kenikmatan mempunyai humor. Humor diartikan sebagai rasa atau gejala yang merangsang kita untuk tertawa atau cenderung tertawa secara mental, humor bisa berupa rasa atau kesadaran dalam diri kita yang disebut sense of humor (Rahmanadji dalam Afriyanti, 2015).

Sense of humor atau yang biasa disebut dengan kepekaan humor, menurut Meredith merupakan kemampuan untuk menertawakan semua hal termasuk dirinya sendiri dan tetap mencintai dan menyukainya (dalam Fitriani & Hidayat, 2012).

Menurut Nielsen (Safaria & Saputra, 2012) fungsi humor dibagi menjadi beberapa bagian, yakni sebagai berikut :
  1. Fungsi Sosial, humor berfungsi sebagai suatu cara dalam meningkatkan keterampilan sosial. Humor mampu melancarkan kemampuan sosialisasi, meningkatkan reaksi sosial yang positif sehingga dapat menghindari reaksi negatif atau penolakan dari pihak lain. Sejalan dengan hal tersebut, individu yang memiliki kemampuan dalam mengekspresikan humor cenderung memiliki keterampilan sosial. Humor bukan mengikat seseorang atau kelompok yang disukai, tetapi juga dapat menjauhkan seseorang dari orang atau kelompok yang tidak disukai. Humor juga dapat digunakan untuk menunjukan perilaku yang baik dan sopan, serta memudahkan seseorang untuk menyesuaikan diri sehingga mampu membuat pikiran menjadi lebih terbuka serta memperoleh wawasan yang luas. 
  2. Fungsi pendidikan, humor dan tertawa merupakan alat belajar yang sangat penting. Selain itu, humor juga merupakan alat yang sangat efektif untuk membawa seseorang agar mendengarkan pembicaraan, dan dapat dijadikan sebagai alat persuasi yang baik. Sejalan dengan hal tersebut, humor dapat membuat suatu pesan menjadi lebih menarik, menyenangkan, dan mudah untuk diingat. Artinya, humor mampu membuat seseorang merasa rileks sehingga memudahkan untuk menerima pesan yang disampaikan secara lebih efektif. 
  3. Fungsi fisiologis, humor dapat mengalihkan susunan kimia internal seseorang dan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap sistem kekabalan tubuh seseorang, peredaran darah, endokrin, dan juga sistem syaraf yang sangat berpengaruh positif terhadap kesehatan fisik maupun psikologis.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan sense of humor merupakan kemampuan setiap orang atau individu dalam menangkap, menanggapi, merespon, mempersepsikan, mengekspresikan dan menikmati sesuatu yang lucu atau bersifat humor. Bisa juga dikatakan suatu cara melihat bagaimana seseorang menanggulangi stres dalam menghadapi kehidupan.

Aspek-aspek Sense Of Humor

Menurut Thorson & Powell (dalam Sungkar dan Partini, 2015), sense of humor terdiri dari beberapa aspek yakni:
  1. Humor production. Kemampuan untuk menemukan humor pada setiap peristiwa berhubungan dengan perasaan diterima oleh lingkungan.
  2. Coping with humor. Bagaimana individu menggunakan humor untuk mengatasi emosional dan situasi yang mengandung stresful pada individu. Penggunaan humor sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah yang menimpa diri individu.
  3. Humor appreciation. Kemampuan untuk mengapresiakan humor yang dihubungkan dengan internal locus of control seseorang, sebuah indikasi dari seberapa banyak individu mempersepsikan setiap peristiwa lucu sebagai bagian dari perilaku orang lain.
  4. Attitude toward humor. Suatu tingkah laku atau perasaan, baik itu positif atau negatif terhadap suatu lelucon atau humor. Kecenderungan untuk tersenyum dan tertawa pada setiap situasi yang lucu.
Menurut Eysenck (Safaria & Saputra, 2012), mencakup tiga aspek, yaitu berikut ini :
  1. Conformist sense, yaitu kesamaan apresiasi berupa pemahaman dan penghargaan individu tentang materi-materi kelucuan. 
  2. Quantitative sense, yaitu kuantitas atau seringnya individu tertawa, tersenyum, serta mudahnya individu merasa gembira.
  3. Productive sense, yaitu kuantitas atau banyaknya individu menceritakan cerita-cerita lucu dan mampu membuat individu lain gembira.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek sense of humor terbagi atas empat, yaitu humor production, coping with humor, humor appreciation, attitude toward humor.

Faktor yang mempengaruhi Sense Of Humor

Danandja (dalam Fahri, 2013) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi sense of humor adalah sebagai berikut: 
  1. Penyaji humor yang kurang pandai dalam menyampaikan humor sehingga tidak ada respon karena tidak ada stimulus.
  2. Masalah bahasa yang dipakai penyaji, bagaimana bisa mengerti jika diceritakan dengan bahasa jawa dengan orang batak maka jadi kekaburan artisehingga sulit dipahami makna sebenarnya.
  3. Pendengar tidak mengetahui konteks tersebut atau pemahaman terhadap sesuatu yang lucu akibatnya tidak sama sekali dan tidak diperlukan penjelasan selanjutnya. 
  4. Penanggulangan penyajian pada pendengar yang sama, sehingga unsur kejutan hilang dan humor tidak berfungsi karena terjadi kebosanan dalam merespon.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi sense of humor ada empat, yaitu penyaji humor yang kurang pandai dalam menyampaikan humor, masalah bahasa yang dipakai penyaji, pendengar tidak memahami konteks terhadap sesuatu yang lucu, penanggulangan penyajian pada pendengar yang sama.

Sense Of Humor

Pengertian Sense Of Humor

Humor

Humor berasal dari kata umor yaitu You-moors yang berarti cairan mengalir, yang merupakan sifat dari sesuatu atau suatu situasi yang kompleks yang menimbulkan keinginan untuk tertawa (Hartanti dalam Fitriani & Hidayah, 2012).

Menurut Eysenck (dalam Fitriani & Hidayah, 2012) secara sederhana humor didefenisikan sebagai suatu yang lucu. Sesuatu yang bersifat humor adalah sesuatu yang dapat membuat tertawa.

Humor menurut Kuiper (dalam Alfiani, 2015) adalah stimulus yang dapat memancing tawa pada seseorang, seperti lelucon, cerita lucu, kartun lucu, situasi memalukan, lelucon praktis, dan sebagiannya. Humor digambarkan sebagai salah satu stimulus yang dapat membantu seseorang untuk tertawa dan merasa bahagia (Ripoll dalam Alfiani, 2015).

Lippman dan Dunn (dalam Sitanggang, 2009) menyatakan bahwa humor adalah segala sesuatu yang dapat meningkatkan rangsangan dan mengarahkan pada perasaan senang dan nyaman. Humor adalah sesuatu yang sangat berkaitan dengan respon tertawa (Provine dalam Sitanggang 2009).

Menurut Setiawan, Humor adalah rasa atau gejala yang merangsang kita untuk tertawa atau cenderung tertawa secara mental, ia bisa berupa kesadaran atau rasa, bisa berupa suatu gejala atau hasil cipta dari dalam maupun dari luar diri kita (dalam Thyas dkk, 2014).

Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa humor adalah segala sesuatu (peristiwa, individu, ataupun stimulus-stimulus lainnya) yang dapat membangkitkan rasa senang dan keinginan untuk tertawa.

Sense Of Humor (Kepekaan terhadap Humor)

Rasa humor, atau dikenal dengan istilah sense of humor adalah kemampuan seseorang untuk menangkap adanya sesuatu yang lucu dari sebuah peristiwa. Semakin mudah seseorang menangkap hal-hal lucu, maka semakin tinggi rasa humornya. Proses merasakan humor tidaklah sederhana. Mula-mula pikiran individu berusaha menangkap adanya sisi lucu, kemudian individu berpikir ada sesuatu yang menggelitik dalam suatu peristiwa. Lalu, secara otomatis perasaan individu akan memberikan respon dengan perasaan riang, dan tubuh meresponnya dengan tertawa (Mendatu dalam Thyas dkk, 2014).

Thorson dan Powell (dalam Thyas dkk, 2014) menjelaskan bahwa sense of humor merupakan suatu cara melihat bagaimana seseorang menanggulangi stres dalam menghadapi kehidupan. Jelas terlihat bahwa tidak ada formula yang tepat untuk kepuasan dalam menjalani hidup, Artinya cara atau mekanisme yang digunakan oleh seseorang dalam menghadapi masalah, bisa memberikan gambaran mengenai kesuksesan mereka dalam menjalani hidup. Hal ini berhubungan dengan kemampuan dan kekayaan diri seseorang akan kepekaan terhadap rasa humor.

Kepekaan terhadap humor (Sense Of Humor) merupakan kemampuan seseorang untuk menggunakan humor sebagai cara menyelesaikan masalah, keterampilan yang menciptakan humor, kemampuan menghargai dan menanggapi hal-hal yang bersifat jenaka atau humor (Safaria & Saputra, 2012). Kemampuan menggunakan ataupun menanggapi humor akan dapat menciptakan susasana yang lebih rileks, serta mempermudah pengungkapan perasaan atau impuls dengan cara yang aman dan tidak mengancam sehingga tidak menimbulkan ketegangan. Menurut Keltner dan Bonano (Safaria & Saputra, 2012) individu yang memiliki kepekaan terhadap humor mengidentifikasi kemampuan dalam mengatasi kondisi tertekan, mengurangi emosi negatif seperti marah, meningkatkan emosi positif, serta membuat hubungan dengan teman dan saudara menjadi lebih akrab satu sama lain.

Individu yang memiliki tingkat kepekaan terhadap humor yang tinggi, cenderung terhindar dari dampak negatif suatu kejadian yang tidak menyenangkan dan mudah bangkit dari kesedihan daripada individu yang memiliki kepekaan terhadap humor yang rendah (Safaria & Saputra, 2012).

Melalui kepekaan terhadap humor yang dimiliki, seseorang dapat mengekspresikan sesuatu secara lucu dan menggunakan ide-ide baru secara kreatif (Safaria & Saputra, 2012), memiliki kemampuan untuk mengatakan dan melakukan sesuatu dengan lebih bijaksana.

Eysenck (Safaria & Saputra, 2012) yang mengatakan bahwa kepekaan terhadap humor adalah kecenderungan individu untuk dapat mengatasi rasa sakit, marah, dan depresi; melalui humor seseorang akan mampu menjauhi diri dari situasi yang mengancam dan memandang masalah dari sudut kelucuannya untuk mengurangi kecemasan dan rasa tidak berdaya.

Martin (dalam Afrianti, 2015) mengatakan bahwa sense of humor merupakan istilah luas yang mengacu pada sesuatu yang orang katakan dan lakukan atau bahkan dianggap lucu dan cenderung membuat orang lain tertawa, serta proses mental yang masuk dalam menciptakan dan memahami suatu stimulus lucu, dan juga respon afektif yang terlibat dalam kenikmatan mempunyai humor. Humor diartikan sebagai rasa atau gejala yang merangsang kita untuk tertawa atau cenderung tertawa secara mental, humor bisa berupa rasa atau kesadaran dalam diri kita yang disebut sense of humor (Rahmanadji dalam Afriyanti, 2015).

Sense of humor atau yang biasa disebut dengan kepekaan humor, menurut Meredith merupakan kemampuan untuk menertawakan semua hal termasuk dirinya sendiri dan tetap mencintai dan menyukainya (dalam Fitriani & Hidayat, 2012).

Menurut Nielsen (Safaria & Saputra, 2012) fungsi humor dibagi menjadi beberapa bagian, yakni sebagai berikut :
  1. Fungsi Sosial, humor berfungsi sebagai suatu cara dalam meningkatkan keterampilan sosial. Humor mampu melancarkan kemampuan sosialisasi, meningkatkan reaksi sosial yang positif sehingga dapat menghindari reaksi negatif atau penolakan dari pihak lain. Sejalan dengan hal tersebut, individu yang memiliki kemampuan dalam mengekspresikan humor cenderung memiliki keterampilan sosial. Humor bukan mengikat seseorang atau kelompok yang disukai, tetapi juga dapat menjauhkan seseorang dari orang atau kelompok yang tidak disukai. Humor juga dapat digunakan untuk menunjukan perilaku yang baik dan sopan, serta memudahkan seseorang untuk menyesuaikan diri sehingga mampu membuat pikiran menjadi lebih terbuka serta memperoleh wawasan yang luas. 
  2. Fungsi pendidikan, humor dan tertawa merupakan alat belajar yang sangat penting. Selain itu, humor juga merupakan alat yang sangat efektif untuk membawa seseorang agar mendengarkan pembicaraan, dan dapat dijadikan sebagai alat persuasi yang baik. Sejalan dengan hal tersebut, humor dapat membuat suatu pesan menjadi lebih menarik, menyenangkan, dan mudah untuk diingat. Artinya, humor mampu membuat seseorang merasa rileks sehingga memudahkan untuk menerima pesan yang disampaikan secara lebih efektif. 
  3. Fungsi fisiologis, humor dapat mengalihkan susunan kimia internal seseorang dan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap sistem kekabalan tubuh seseorang, peredaran darah, endokrin, dan juga sistem syaraf yang sangat berpengaruh positif terhadap kesehatan fisik maupun psikologis.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan sense of humor merupakan kemampuan setiap orang atau individu dalam menangkap, menanggapi, merespon, mempersepsikan, mengekspresikan dan menikmati sesuatu yang lucu atau bersifat humor. Bisa juga dikatakan suatu cara melihat bagaimana seseorang menanggulangi stres dalam menghadapi kehidupan.

Aspek-aspek Sense Of Humor

Menurut Thorson & Powell (dalam Sungkar dan Partini, 2015), sense of humor terdiri dari beberapa aspek yakni:
  1. Humor production. Kemampuan untuk menemukan humor pada setiap peristiwa berhubungan dengan perasaan diterima oleh lingkungan.
  2. Coping with humor. Bagaimana individu menggunakan humor untuk mengatasi emosional dan situasi yang mengandung stresful pada individu. Penggunaan humor sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah yang menimpa diri individu.
  3. Humor appreciation. Kemampuan untuk mengapresiakan humor yang dihubungkan dengan internal locus of control seseorang, sebuah indikasi dari seberapa banyak individu mempersepsikan setiap peristiwa lucu sebagai bagian dari perilaku orang lain.
  4. Attitude toward humor. Suatu tingkah laku atau perasaan, baik itu positif atau negatif terhadap suatu lelucon atau humor. Kecenderungan untuk tersenyum dan tertawa pada setiap situasi yang lucu.
Menurut Eysenck (Safaria & Saputra, 2012), mencakup tiga aspek, yaitu berikut ini :
  1. Conformist sense, yaitu kesamaan apresiasi berupa pemahaman dan penghargaan individu tentang materi-materi kelucuan. 
  2. Quantitative sense, yaitu kuantitas atau seringnya individu tertawa, tersenyum, serta mudahnya individu merasa gembira.
  3. Productive sense, yaitu kuantitas atau banyaknya individu menceritakan cerita-cerita lucu dan mampu membuat individu lain gembira.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek sense of humor terbagi atas empat, yaitu humor production, coping with humor, humor appreciation, attitude toward humor.

Faktor yang mempengaruhi Sense Of Humor

Danandja (dalam Fahri, 2013) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi sense of humor adalah sebagai berikut: 
  1. Penyaji humor yang kurang pandai dalam menyampaikan humor sehingga tidak ada respon karena tidak ada stimulus.
  2. Masalah bahasa yang dipakai penyaji, bagaimana bisa mengerti jika diceritakan dengan bahasa jawa dengan orang batak maka jadi kekaburan artisehingga sulit dipahami makna sebenarnya.
  3. Pendengar tidak mengetahui konteks tersebut atau pemahaman terhadap sesuatu yang lucu akibatnya tidak sama sekali dan tidak diperlukan penjelasan selanjutnya. 
  4. Penanggulangan penyajian pada pendengar yang sama, sehingga unsur kejutan hilang dan humor tidak berfungsi karena terjadi kebosanan dalam merespon.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi sense of humor ada empat, yaitu penyaji humor yang kurang pandai dalam menyampaikan humor, masalah bahasa yang dipakai penyaji, pendengar tidak memahami konteks terhadap sesuatu yang lucu, penanggulangan penyajian pada pendengar yang sama.

Bentuk Self Regulation

Pengertian Self-Regulation

Istilah self-resgulation mempunyai kemiripan dengan istilah self-regulation. Menurut Vohs dan Baummeiter (dalam Rahman, 2017), kedua istilah itu bisa digunakan secara bergantian, tapi sebagian pakar membedakannya. Yang dimaksud self-regulation adalah satu upaya untuk mengendalikan pikiran, perasaan, dan perilaku dalam rangka mencapai suatu tujuan ( the offorful control of thoughts, emotions, and behavior in the service of goal ) Hofman dkk ( dalam Rahman, 2017).

Kemampuan individual untuk memiliki pengendalian diri dalam dirinya sendiri itulah yang menjadi sorotan penting dalam regulasi diri (Prasad dkk dalam Anugrah, 2013).

Menurut Adler (dalam Chairani, 2010) mengenai self-regulation juga berkaitan bahwa setiap orang memiliki kekuatan bebas menciptakan gaya hidupnya sendiri-sendiri. Manusia itu sendiri yang bertanggunggung jawab tentang siapa dirinya dan bagimana dia bertingkah laku.

Menurut Ryan (dalam Chairani, 2010) juga mengemukakan beberapa bentuk regulasi diri yang berdasarkan pada teori determinasi yaitu, amotivativation regulation, external regulation, introjected regulation.

Aspek-Aspek Self-Regulation

Bandura (dalam Chairani, 2010) menyebutkan ada tiga aspek dalam melakukan self-regulation, yaitu:
  1. Observasi diri. Kita harus dapat mengatur performa kita walaupun perhatian yang kita berikan belum tuntas atau akurat.
  2. Proses penilaian. Proses penilaian membantu meregulasi perilaku kita melalui proses mediasi kognitif.
  3. Reaksi diri. Manusia merespon secara positive dan negative terhadap perilaku mereka bergantung bagaimana perilaku tersebut memenuhi standart personal mereka.
Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Self-Regulation

Menurut Zimmerman dan Pons (dalam Chairani, 2010), ada tiga faktor yang mempengaruhi regulasi diri, berikut ini adalah tiga faktor tersebut:
  1. Individu
    • Pengetahuan individu, semakin banyak dan beragam pengetahuan yang dimiliki individu maka akan semakin membantu individu dalam melakukan regulasi.
    • Tingkat kemampuan metagonis yang dimiliki individu yang semakin tinggi dan membantu pelaksanaan regulasi diri.
    • Tujuan yang ingin dicapai, semakin banyak dan kompleks tujuan yang ingin diraih.
  2. Perilaku. Perilaku mengacu pada upaya individu menggunakan kemampuan yang dimiliki. Semakin besar dan optimal uapaya yang diarahkan individu dalam mengorganisasi suatu aktivitas akan meningkatkan regulasi diri individu.
  3. Lingkungan. Teori sosial kognitif mencurahkan perhatian khusus pada pengaruh sosial dan pengalaman pada fungsi manusia. Hal ini bergantung bagaimana lingkungan itu mendukung atau tidak mendukung.
Bentuk-Bentuk Self-Regulation

Menurut triadic model of self-regulation Zimmerman (dalam Rahman, 2017) paling tidak ada tiga bentuk prngaturan diri yang harus dilakukan, yaitu:
  1. Covert regulation, menunjuk pada pengaturan kognitif dan afektif sehingga mendukung atau tidak mengganggu proses pencapaian tujuan.
  2. Behavioral regulation, menunjukan pada pengaturan perilaku yang sekiranya menjadi persyaratan bagi tercapainya tujuan.
  3. Environmental regulation, menunjukan pada pengamatan dan pengelolaan lingkungan sehingga support terhadap proses pencapaian tujuan.

Aspek Self Regulation

Pengertian Self-Regulation

Istilah self-resgulation mempunyai kemiripan dengan istilah self-regulation. Menurut Vohs dan Baummeiter (dalam Rahman, 2017), kedua istilah itu bisa digunakan secara bergantian, tapi sebagian pakar membedakannya. Yang dimaksud self-regulation adalah satu upaya untuk mengendalikan pikiran, perasaan, dan perilaku dalam rangka mencapai suatu tujuan ( the offorful control of thoughts, emotions, and behavior in the service of goal ) Hofman dkk ( dalam Rahman, 2017).

Kemampuan individual untuk memiliki pengendalian diri dalam dirinya sendiri itulah yang menjadi sorotan penting dalam regulasi diri (Prasad dkk dalam Anugrah, 2013).

Menurut Adler (dalam Chairani, 2010) mengenai self-regulation juga berkaitan bahwa setiap orang memiliki kekuatan bebas menciptakan gaya hidupnya sendiri-sendiri. Manusia itu sendiri yang bertanggunggung jawab tentang siapa dirinya dan bagimana dia bertingkah laku.

Menurut Ryan (dalam Chairani, 2010) juga mengemukakan beberapa bentuk regulasi diri yang berdasarkan pada teori determinasi yaitu, amotivativation regulation, external regulation, introjected regulation.

Aspek-Aspek Self-Regulation

Bandura (dalam Chairani, 2010) menyebutkan ada tiga aspek dalam melakukan self-regulation, yaitu:
  1. Observasi diri. Kita harus dapat mengatur performa kita walaupun perhatian yang kita berikan belum tuntas atau akurat.
  2. Proses penilaian. Proses penilaian membantu meregulasi perilaku kita melalui proses mediasi kognitif.
  3. Reaksi diri. Manusia merespon secara positive dan negative terhadap perilaku mereka bergantung bagaimana perilaku tersebut memenuhi standart personal mereka.
Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Self-Regulation

Menurut Zimmerman dan Pons (dalam Chairani, 2010), ada tiga faktor yang mempengaruhi regulasi diri, berikut ini adalah tiga faktor tersebut:
  1. Individu
    • Pengetahuan individu, semakin banyak dan beragam pengetahuan yang dimiliki individu maka akan semakin membantu individu dalam melakukan regulasi.
    • Tingkat kemampuan metagonis yang dimiliki individu yang semakin tinggi dan membantu pelaksanaan regulasi diri.
    • Tujuan yang ingin dicapai, semakin banyak dan kompleks tujuan yang ingin diraih.
  2. Perilaku. Perilaku mengacu pada upaya individu menggunakan kemampuan yang dimiliki. Semakin besar dan optimal uapaya yang diarahkan individu dalam mengorganisasi suatu aktivitas akan meningkatkan regulasi diri individu.
  3. Lingkungan. Teori sosial kognitif mencurahkan perhatian khusus pada pengaruh sosial dan pengalaman pada fungsi manusia. Hal ini bergantung bagaimana lingkungan itu mendukung atau tidak mendukung.
Bentuk-Bentuk Self-Regulation

Menurut triadic model of self-regulation Zimmerman (dalam Rahman, 2017) paling tidak ada tiga bentuk prngaturan diri yang harus dilakukan, yaitu:
  1. Covert regulation, menunjuk pada pengaturan kognitif dan afektif sehingga mendukung atau tidak mengganggu proses pencapaian tujuan.
  2. Behavioral regulation, menunjukan pada pengaturan perilaku yang sekiranya menjadi persyaratan bagi tercapainya tujuan.
  3. Environmental regulation, menunjukan pada pengamatan dan pengelolaan lingkungan sehingga support terhadap proses pencapaian tujuan.

Pengertian Self Regulation

Pengertian Self-Regulation

Istilah self-resgulation mempunyai kemiripan dengan istilah self-regulation. Menurut Vohs dan Baummeiter (dalam Rahman, 2017), kedua istilah itu bisa digunakan secara bergantian, tapi sebagian pakar membedakannya. Yang dimaksud self-regulation adalah satu upaya untuk mengendalikan pikiran, perasaan, dan perilaku dalam rangka mencapai suatu tujuan ( the offorful control of thoughts, emotions, and behavior in the service of goal ) Hofman dkk ( dalam Rahman, 2017).

Kemampuan individual untuk memiliki pengendalian diri dalam dirinya sendiri itulah yang menjadi sorotan penting dalam regulasi diri (Prasad dkk dalam Anugrah, 2013).

Menurut Adler (dalam Chairani, 2010) mengenai self-regulation juga berkaitan bahwa setiap orang memiliki kekuatan bebas menciptakan gaya hidupnya sendiri-sendiri. Manusia itu sendiri yang bertanggunggung jawab tentang siapa dirinya dan bagimana dia bertingkah laku.

Menurut Ryan (dalam Chairani, 2010) juga mengemukakan beberapa bentuk regulasi diri yang berdasarkan pada teori determinasi yaitu, amotivativation regulation, external regulation, introjected regulation.

Aspek-Aspek Self-Regulation

Bandura (dalam Chairani, 2010) menyebutkan ada tiga aspek dalam melakukan self-regulation, yaitu:
  1. Observasi diri. Kita harus dapat mengatur performa kita walaupun perhatian yang kita berikan belum tuntas atau akurat.
  2. Proses penilaian. Proses penilaian membantu meregulasi perilaku kita melalui proses mediasi kognitif.
  3. Reaksi diri. Manusia merespon secara positive dan negative terhadap perilaku mereka bergantung bagaimana perilaku tersebut memenuhi standart personal mereka.
Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Self-Regulation

Menurut Zimmerman dan Pons (dalam Chairani, 2010), ada tiga faktor yang mempengaruhi regulasi diri, berikut ini adalah tiga faktor tersebut:
  1. Individu
    • Pengetahuan individu, semakin banyak dan beragam pengetahuan yang dimiliki individu maka akan semakin membantu individu dalam melakukan regulasi.
    • Tingkat kemampuan metagonis yang dimiliki individu yang semakin tinggi dan membantu pelaksanaan regulasi diri.
    • Tujuan yang ingin dicapai, semakin banyak dan kompleks tujuan yang ingin diraih.
  2. Perilaku. Perilaku mengacu pada upaya individu menggunakan kemampuan yang dimiliki. Semakin besar dan optimal uapaya yang diarahkan individu dalam mengorganisasi suatu aktivitas akan meningkatkan regulasi diri individu.
  3. Lingkungan. Teori sosial kognitif mencurahkan perhatian khusus pada pengaruh sosial dan pengalaman pada fungsi manusia. Hal ini bergantung bagaimana lingkungan itu mendukung atau tidak mendukung.
Bentuk-Bentuk Self-Regulation

Menurut triadic model of self-regulation Zimmerman (dalam Rahman, 2017) paling tidak ada tiga bentuk prngaturan diri yang harus dilakukan, yaitu:
  1. Covert regulation, menunjuk pada pengaturan kognitif dan afektif sehingga mendukung atau tidak mengganggu proses pencapaian tujuan.
  2. Behavioral regulation, menunjukan pada pengaturan perilaku yang sekiranya menjadi persyaratan bagi tercapainya tujuan.
  3. Environmental regulation, menunjukan pada pengamatan dan pengelolaan lingkungan sehingga support terhadap proses pencapaian tujuan.

Self Regulation

Pengertian Self-Regulation

Istilah self-resgulation mempunyai kemiripan dengan istilah self-regulation. Menurut Vohs dan Baummeiter (dalam Rahman, 2017), kedua istilah itu bisa digunakan secara bergantian, tapi sebagian pakar membedakannya. Yang dimaksud self-regulation adalah satu upaya untuk mengendalikan pikiran, perasaan, dan perilaku dalam rangka mencapai suatu tujuan ( the offorful control of thoughts, emotions, and behavior in the service of goal ) Hofman dkk ( dalam Rahman, 2017).

Kemampuan individual untuk memiliki pengendalian diri dalam dirinya sendiri itulah yang menjadi sorotan penting dalam regulasi diri (Prasad dkk dalam Anugrah, 2013).

Menurut Adler (dalam Chairani, 2010) mengenai self-regulation juga berkaitan bahwa setiap orang memiliki kekuatan bebas menciptakan gaya hidupnya sendiri-sendiri. Manusia itu sendiri yang bertanggunggung jawab tentang siapa dirinya dan bagimana dia bertingkah laku.

Menurut Ryan (dalam Chairani, 2010) juga mengemukakan beberapa bentuk regulasi diri yang berdasarkan pada teori determinasi yaitu, amotivativation regulation, external regulation, introjected regulation.

Aspek-Aspek Self-Regulation

Bandura (dalam Chairani, 2010) menyebutkan ada tiga aspek dalam melakukan self-regulation, yaitu:
  1. Observasi diri. Kita harus dapat mengatur performa kita walaupun perhatian yang kita berikan belum tuntas atau akurat.
  2. Proses penilaian. Proses penilaian membantu meregulasi perilaku kita melalui proses mediasi kognitif.
  3. Reaksi diri. Manusia merespon secara positive dan negative terhadap perilaku mereka bergantung bagaimana perilaku tersebut memenuhi standart personal mereka.
Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Self-Regulation

Menurut Zimmerman dan Pons (dalam Chairani, 2010), ada tiga faktor yang mempengaruhi regulasi diri, berikut ini adalah tiga faktor tersebut:
  1. Individu
    • Pengetahuan individu, semakin banyak dan beragam pengetahuan yang dimiliki individu maka akan semakin membantu individu dalam melakukan regulasi.
    • Tingkat kemampuan metagonis yang dimiliki individu yang semakin tinggi dan membantu pelaksanaan regulasi diri.
    • Tujuan yang ingin dicapai, semakin banyak dan kompleks tujuan yang ingin diraih.
  2. Perilaku. Perilaku mengacu pada upaya individu menggunakan kemampuan yang dimiliki. Semakin besar dan optimal uapaya yang diarahkan individu dalam mengorganisasi suatu aktivitas akan meningkatkan regulasi diri individu.
  3. Lingkungan. Teori sosial kognitif mencurahkan perhatian khusus pada pengaruh sosial dan pengalaman pada fungsi manusia. Hal ini bergantung bagaimana lingkungan itu mendukung atau tidak mendukung.
Bentuk-Bentuk Self-Regulation

Menurut triadic model of self-regulation Zimmerman (dalam Rahman, 2017) paling tidak ada tiga bentuk prngaturan diri yang harus dilakukan, yaitu:
  1. Covert regulation, menunjuk pada pengaturan kognitif dan afektif sehingga mendukung atau tidak mengganggu proses pencapaian tujuan.
  2. Behavioral regulation, menunjukan pada pengaturan perilaku yang sekiranya menjadi persyaratan bagi tercapainya tujuan.
  3. Environmental regulation, menunjukan pada pengamatan dan pengelolaan lingkungan sehingga support terhadap proses pencapaian tujuan.

Saturday, September 22, 2018

Karakteristik individu dengan self esteem yang tinggi dan rendah

Pengertian Self-Esteem

Evaluasi terhadap diri sendiri dikenal sebagai self-esteem yaitu evaluasi diri yang dibuat oleh setiap individu, sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi positif-negatif (Baron & Byrne dalam Widyastuti, 2014). Buss (dalam Suhron, 2017) memberikan pengertian self-esteem sebagai penilaian individu terhadap dirinya sendiri, yang sifatnya implisit dan tidak diverbalisasikan.

Harga diri (self-esteem) adalah bagian evaluasi dari konsep diri, penilaian yang dibuat anak mengenai keberhargaan mereka. Dalam sudut pandang aliran Neo-Piaget, harga diri didasari oleh kemampuan kognitif anak yang tumbuh menggambarkan dan mendefinisikan diri mereka sendiri (Papalia, Olds, Feldman, 2013).

Rosenberg (dalam Masriah, Putri, dan Radiaswati, 2012) menjelaskan bahwa harga diri (self-esteem) adalah penilaian seseorang terhadap dirinya yang ditampilkan melalui sikap positif atau negatif terhadap dirinya. Harga diri yang positif akan membangkitkan rasa percaya diri, penghargaan diri, rasa yakin akan kemampuan diri, rasa berguna serta rasa bahwa kehadirannya diperlukan didunia ini. Sebaliknya, seseorang yang memiliki harga diri yang negatif akan cenderung merasa bahwa dirinya tidak mampu dan tidak berharga, cenderung takut menghadapi respon dari orang lain, tidak mampu membina komunikasi yang baik dan cenderung merasa hidupnya tidak bahagia (Simbolon dalam Masriah, Putri, dan Radiaswati, 2012).

Well dan Marwell (dalam Rahman, 2014) menyebutkan empat tipe pengertian self-esteem. Pertama, self-esteem dipandang sebagai sikap. Seperti sikap-sikap yang lainnya, self-esteem menunjuk pada suatu objek tertentu yang melibatkan reaksi kognitif, emosi, dan perilaku, baik positif maupun negatif. Kedua, self-esteem dipandang sebagai perbandingan antara ideal self dan real self. Self-esteem akan tinggi jika real self semakin mendekati ideal self, dan begitu sebaliknya. Ketiga, self-esteem dianggap sebagai respons psikologis seseorang terhadap dirinya sendiri, lebih dari sekedar sikap. Dan yang keempat, self-esteem dipahami sebagai komponen dari kepribadian atau self system seseorang.

Menurut Murk (dalam Rahman, 2014) terdapat tiga klasifikasi dalam mendefinisikan self-esteem. Pertama, self-esteem dipandang sebagai suatu kompetensi. Dalam hal ini, self-esteem dihubungkan dengan kesuksesan, kemampuan, dan kompetensi objektif yang dimiliki. Kedua, self-esteem dipandang sebagai perasaan berharga. Ketiga, self-esteem dipandang sebagai suatu kompetensi dan perasaan berharga.

Menurut Branden (dalam Rahman, 2014), self-esteem merupakan kecendrungan seseorang untuk merasa mampu didalam mengatasi suatu masalah dan merasa berharga. Dengan kata lain, self-esteem merupakan integrasi dari kepercayaan pada diri sendiri dan penghargaan pada diri sendiri.

Coopersmith (dalam Suhron, 2017) memberikan pengertian tentang harga diri sebagai penilaian diri yang dipengaruhi oleh sikap, interaksi, penghargaan, dan penerimaan orang lain terhadap individu.

Berdasarkan definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa self-esteem (harga diri) merupakan cara individu dalam memberikan persepsi, penilaian, dan evaluasi terhadap dirinya sendiri yang bersumber dari dalam diri dan interaksi dengan lingkungan.

Aspek-aspek self-esteem

Menurut Coopersmith (dalam Suhron, 2017) aspek-aspek yang terkandung dalam self-esteem ada tiga yaitu :
  1. Perasaan berharga. Perasaan berharga merupakan perasaan yang dimiliki individu ketika individu tersebut merasa dirinya berharga dan dapat menghargai orang lain. Individu yang merasa dirinya berharga cenderung dapat mengontrol tindakan-tindakannya terhadap dunia luar dirinya. Selain itu individu tersebut juga dapat mengekspresikan dirinya dengan baik dan dapat menerima kritik dengan baik
  2. Perasaan mampu. Perasaan mampu merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu pada saat dia merasa mampu mencapai suatu hasil yang diharapkan. Individu yang memiliki perasaan mampu umumnya memiliki nilai-nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang realistis. Individu ini menyukai tugas baru yang menantang, aktif dan tidak cepat bingung bila segala sesuaut berjalan diluar rencana. Mereka tidak menganggap dirinya sempurna tetapi sadar akan keterbatasan diri dan berusaha agar ada perubahan dalam dirinya. Bila individu merasa telah mencapai tujuannya secara efisien maka individu tersebut akan menilai dirinya secara tinggi
  3. Perasaan diterima. Perasaan diterima merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu ketika ia dapat diterima sebagai dirinya sendiri oleh suatu kelompok. Ketika seseorang berada pada suatu kelompok dan diperlakukan sebagai bagian dari kelompok tersebut, maka ia akan merasa dirinya diterima serta dihargai oleh anggota kelompok itu
Pembentukan self-esteem

Mukhlis (dalam Ghufron & Risnawita, 2011) mengatakan bahwa pembentuk harga diri pada individu dimulai sejak individu mempunyai pengalaman dan interaksi sosial, yang sebelumnya didahului dengan kemampuan mengadakan persepsi. Secara spesifik pembentukan harga diri terjadi sejak usia pertengahan kanak-kanak dan terus berkembang hingga sampai remaja akhir (Papalia dalam Suhron, 2017).

Self-esteem erat kaitannya dengan mekanisme pembentukan self-esteem masa sebelum remaja mengalami perkembangan dan tiap individu memiliki kadar self-esteem yang berbeda mulai dari yang positif dan negatif. Menurut Darajat (dalam Ghufron & Risnawita, 2011) harga diri sudah terbentuk pada saat masa kanak-kanak sehingga seorang anak sangat perlu mendapatkan rasa penghargaan dari orang tuanya. Proses selanjutnya, harga diri terbentuk melalui perlakuan yang diterima individu dari orang lingkungannya, seperti dimanja dan diperhatikan orang tua dan orang lain. Dengan demikian harga diri bukan merupakan faktor yang dapat dipelajari dan terbentuknya sepanjang pengalaman individu.

Coopersmith (dalam Ghufron & Risnawita, 2011) mengemukakan bahwa pembentukan harga diri dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
  1. Keberartian individu. Keberartian diri menyangkut seberapa besar individu percaya bahwa dirinya mampu, berarti, dan berharga menurut standar dan nilai pribadi. Penghargaan inilah yang dimaksud dengan keberartian diri
  2. Keberhasilan seseorang. Keberhasilan yang berpengaruh terhadap pembentukan harga diri adalah keberhasilan yang berhubungan dengan kekuatan atau kemampuan individu dalam mempengaruhi dan mengendalikan diri sendiri maupun orang lain
  3. Kekuatan individu. Kekuatan individu terhadap aturan-aturan, norma, dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam masyarakat. Semakin taat terhadap hal-hal yang sudah ditetapkan dalam masyarakat, maka semakin besar kemampuan individu untuk dapat dianggap sebagai panutan masyarakat. Oleh sebab itu, semakin tinggi pula penerimaan masyarakat terhadap individu yang bersangkutan dan akan mendorong harga diri yang tinggi.
  4. Performansi individu yang sesuai dalam mencapai prestasi yang diharapkan. Apabila individu mengalami kegagalan, maka harga dirinya akan menjadi rendah. Sebaliknya, apabila performansi seseorang sesuai dengan tuntutan dan harapan, maka akan mendorong pembentukan harga diri yang tinggi
Kreitner dan Kinicki (dalam Suhron, 2017) mengungkap terdapat enam faktor yang membangun self-esteem, yaitu :
  1. Goal setting (merencanakan tujuan). Pada masa remaja dalam menentukan tujuan hidup yang ingin dicapai dibutuhkan usaha dan keinginan yang kuat (ambisi) untuk mencapainya khususnya dalam belajar dan meraih prestasi
  2. Risk taking (mengambil resiko). Berani untuk mengambil resiko untuk memenuhi dan mencapai tujuannya karena remaja tidak akan pernah mengetahui kemampuan diri sendiri jika tidak mau mengambil resiko
  3. Opening up (membuka diri). Jika remaja membuka diri dan berbagi rasa dengan orang lain maka akan mudah baginya untuk mengenali diri sendiri
  4. Wisechoice making (membuat keputusan yang bijaksana). Jika remaja dapat membuat keputusan yang benar maka akan meningkatkan self-confidence dan self-esteem
  5. Time sharing (berjalan sesuai dengan waktu). Jangan selalu memberikan tekanan dan paksaan pada diri sendiri untuk mendapatkan perubahan karena tidak mungkin perubahan bisa didapat secara langsung. Dalam hal ini remaja dapat bertukar pendapat dan berdiskusi untuk mendukung prestasi belajarnya
  6. Healing (penyembuhan). Penyembuhan dalam arti fisik dan mental dan hal itu bisa dilakukan dengan cara membuat komitmen dan bersyukur. Dalam hal ini remaja bersyukur dan memahami potensi yang dimiliki untuk menunjang prestasi belajarnya meskipun dalam meraih cita-citanya tidak semudah untuk mencapainya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi self-esteem

Menurut McLoed, Owens, & Powell (dalam Suhron, 2017), faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri seseorang adalah :
  1. Usia. Perkembangan self-esteem ketika seseorang memasuki masa anak-anak dan remaja, seseorang akan memperoleh harga diri mereka dari teman, orang tua dan guru pada saat mereka bersekolah
  2. Ras. Keanekaragaman budaya dan ras tertentu dapat mempengaruhi self-esteemnya untuk menjunjung tinggi rasnya
  3. Etnis. Dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat terdapat etnis tetentu yang menilai bahwa sukunya lebih tinggi derajatnya sehingga dapat mempengaruhi self-esteemnya
  4. Pubertas. Merupakan periode transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa ditandai munculnya karakteristik seks sekunder dan kemampuan reproduksi seksual yang dapat menimbulkan perasaan menarik sehingga mempenaruhi self-esteem
  5. Berat badan. Rangkaian perubahan berat badan yang paling jelas tampak pada masa remaja adalah perubahan fisik. Hormon-hormon baru diproduksi oleh kelenjar endokrin, dan membawa perubahan dalam ciri-ciri seks primer dan memunculkan ciri-ciri seks sekunder. Seorang individu lalu mulai terlihat berbeda dan sebagai konsekuensi dari hormon yang baru dalam penambahan atau penurunan berat badan, dia sendiri mulai merasa adanya perbedaan
  6. Jenis kelamin. Menunjukkan bahwa remaja pria akan menjaga harga dirinya untuk bersaing dan berkeinginan menjadi lebih baik dari remaja putri khususnya dalam mencapai prestasi belajar dikelas sehingga dapat mempengaruhi harga diri remaja tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa remaja putri mudah terkena gangguan citra diri dibandingkan dengan remaja putra.
Karakteristik individu dengan self-esteem yang tinggi dan rendah

Coopersmith (dalam Suhron, 2017) membagi karakteristik harga diri individu menjadi dua golongan, yaitu :
  1. Individu dengan harga diri yang tinggi
    1. Aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik
    2. Berhasil dalam bidang akademik dan menjalin hubungan sosial
    3. Dapat menerima kritik dengan baik
    4. Percaya pada persepsi dan reaksinya sendiri
    5. Tidak terpaku pada dirinya sendiri atau hanya memikirkan kesulitan sendiri
    6. Memiliki keyakinan diri, tidak didasarkan atas fantasi, karena mempunyai kemampuan, kecakapan dan kualitas diri yang tinggi
    7. Tidak terpengaruh oleh penilaian orang lain tentang kepribadian
    8. Lebih mudah menyesuaikan diri dengan suasana yang menyenangkan sehingga tingkat kecemasannya rendah dan memiliki ketahanan diri yang seimbang
  2. Individu dengan harga diri yang rendah
    1. Memiliki perasaan inferior
    2. Takut gagal dalam membina hubungan sosial
    3. Terlihat sebagai orang yang putus asa dan depresi
    4. Merasa diasingkan dan tidak diperhatikan
    5. Kurang dapat mengekspresikan diri
    6. Sangat tergantung pada lingkungan
    7. Tidak konsisten
    8. Secara pasif mengikuti lingkungan
    9. Menggunakan banyak taktik memperhatikan diri (defense mechanism)
    10. Mudah mengakui kesalahan

faktor yang mempengaruhi self esteem

Pengertian Self-Esteem

Evaluasi terhadap diri sendiri dikenal sebagai self-esteem yaitu evaluasi diri yang dibuat oleh setiap individu, sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi positif-negatif (Baron & Byrne dalam Widyastuti, 2014). Buss (dalam Suhron, 2017) memberikan pengertian self-esteem sebagai penilaian individu terhadap dirinya sendiri, yang sifatnya implisit dan tidak diverbalisasikan.

Harga diri (self-esteem) adalah bagian evaluasi dari konsep diri, penilaian yang dibuat anak mengenai keberhargaan mereka. Dalam sudut pandang aliran Neo-Piaget, harga diri didasari oleh kemampuan kognitif anak yang tumbuh menggambarkan dan mendefinisikan diri mereka sendiri (Papalia, Olds, Feldman, 2013).

Rosenberg (dalam Masriah, Putri, dan Radiaswati, 2012) menjelaskan bahwa harga diri (self-esteem) adalah penilaian seseorang terhadap dirinya yang ditampilkan melalui sikap positif atau negatif terhadap dirinya. Harga diri yang positif akan membangkitkan rasa percaya diri, penghargaan diri, rasa yakin akan kemampuan diri, rasa berguna serta rasa bahwa kehadirannya diperlukan didunia ini. Sebaliknya, seseorang yang memiliki harga diri yang negatif akan cenderung merasa bahwa dirinya tidak mampu dan tidak berharga, cenderung takut menghadapi respon dari orang lain, tidak mampu membina komunikasi yang baik dan cenderung merasa hidupnya tidak bahagia (Simbolon dalam Masriah, Putri, dan Radiaswati, 2012).

Well dan Marwell (dalam Rahman, 2014) menyebutkan empat tipe pengertian self-esteem. Pertama, self-esteem dipandang sebagai sikap. Seperti sikap-sikap yang lainnya, self-esteem menunjuk pada suatu objek tertentu yang melibatkan reaksi kognitif, emosi, dan perilaku, baik positif maupun negatif. Kedua, self-esteem dipandang sebagai perbandingan antara ideal self dan real self. Self-esteem akan tinggi jika real self semakin mendekati ideal self, dan begitu sebaliknya. Ketiga, self-esteem dianggap sebagai respons psikologis seseorang terhadap dirinya sendiri, lebih dari sekedar sikap. Dan yang keempat, self-esteem dipahami sebagai komponen dari kepribadian atau self system seseorang.

Menurut Murk (dalam Rahman, 2014) terdapat tiga klasifikasi dalam mendefinisikan self-esteem. Pertama, self-esteem dipandang sebagai suatu kompetensi. Dalam hal ini, self-esteem dihubungkan dengan kesuksesan, kemampuan, dan kompetensi objektif yang dimiliki. Kedua, self-esteem dipandang sebagai perasaan berharga. Ketiga, self-esteem dipandang sebagai suatu kompetensi dan perasaan berharga.

Menurut Branden (dalam Rahman, 2014), self-esteem merupakan kecendrungan seseorang untuk merasa mampu didalam mengatasi suatu masalah dan merasa berharga. Dengan kata lain, self-esteem merupakan integrasi dari kepercayaan pada diri sendiri dan penghargaan pada diri sendiri.

Coopersmith (dalam Suhron, 2017) memberikan pengertian tentang harga diri sebagai penilaian diri yang dipengaruhi oleh sikap, interaksi, penghargaan, dan penerimaan orang lain terhadap individu.

Berdasarkan definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa self-esteem (harga diri) merupakan cara individu dalam memberikan persepsi, penilaian, dan evaluasi terhadap dirinya sendiri yang bersumber dari dalam diri dan interaksi dengan lingkungan.

Aspek-aspek self-esteem

Menurut Coopersmith (dalam Suhron, 2017) aspek-aspek yang terkandung dalam self-esteem ada tiga yaitu :
  1. Perasaan berharga. Perasaan berharga merupakan perasaan yang dimiliki individu ketika individu tersebut merasa dirinya berharga dan dapat menghargai orang lain. Individu yang merasa dirinya berharga cenderung dapat mengontrol tindakan-tindakannya terhadap dunia luar dirinya. Selain itu individu tersebut juga dapat mengekspresikan dirinya dengan baik dan dapat menerima kritik dengan baik
  2. Perasaan mampu. Perasaan mampu merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu pada saat dia merasa mampu mencapai suatu hasil yang diharapkan. Individu yang memiliki perasaan mampu umumnya memiliki nilai-nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang realistis. Individu ini menyukai tugas baru yang menantang, aktif dan tidak cepat bingung bila segala sesuaut berjalan diluar rencana. Mereka tidak menganggap dirinya sempurna tetapi sadar akan keterbatasan diri dan berusaha agar ada perubahan dalam dirinya. Bila individu merasa telah mencapai tujuannya secara efisien maka individu tersebut akan menilai dirinya secara tinggi
  3. Perasaan diterima. Perasaan diterima merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu ketika ia dapat diterima sebagai dirinya sendiri oleh suatu kelompok. Ketika seseorang berada pada suatu kelompok dan diperlakukan sebagai bagian dari kelompok tersebut, maka ia akan merasa dirinya diterima serta dihargai oleh anggota kelompok itu
Pembentukan self-esteem

Mukhlis (dalam Ghufron & Risnawita, 2011) mengatakan bahwa pembentuk harga diri pada individu dimulai sejak individu mempunyai pengalaman dan interaksi sosial, yang sebelumnya didahului dengan kemampuan mengadakan persepsi. Secara spesifik pembentukan harga diri terjadi sejak usia pertengahan kanak-kanak dan terus berkembang hingga sampai remaja akhir (Papalia dalam Suhron, 2017).

Self-esteem erat kaitannya dengan mekanisme pembentukan self-esteem masa sebelum remaja mengalami perkembangan dan tiap individu memiliki kadar self-esteem yang berbeda mulai dari yang positif dan negatif. Menurut Darajat (dalam Ghufron & Risnawita, 2011) harga diri sudah terbentuk pada saat masa kanak-kanak sehingga seorang anak sangat perlu mendapatkan rasa penghargaan dari orang tuanya. Proses selanjutnya, harga diri terbentuk melalui perlakuan yang diterima individu dari orang lingkungannya, seperti dimanja dan diperhatikan orang tua dan orang lain. Dengan demikian harga diri bukan merupakan faktor yang dapat dipelajari dan terbentuknya sepanjang pengalaman individu.

Coopersmith (dalam Ghufron & Risnawita, 2011) mengemukakan bahwa pembentukan harga diri dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
  1. Keberartian individu. Keberartian diri menyangkut seberapa besar individu percaya bahwa dirinya mampu, berarti, dan berharga menurut standar dan nilai pribadi. Penghargaan inilah yang dimaksud dengan keberartian diri
  2. Keberhasilan seseorang. Keberhasilan yang berpengaruh terhadap pembentukan harga diri adalah keberhasilan yang berhubungan dengan kekuatan atau kemampuan individu dalam mempengaruhi dan mengendalikan diri sendiri maupun orang lain
  3. Kekuatan individu. Kekuatan individu terhadap aturan-aturan, norma, dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam masyarakat. Semakin taat terhadap hal-hal yang sudah ditetapkan dalam masyarakat, maka semakin besar kemampuan individu untuk dapat dianggap sebagai panutan masyarakat. Oleh sebab itu, semakin tinggi pula penerimaan masyarakat terhadap individu yang bersangkutan dan akan mendorong harga diri yang tinggi.
  4. Performansi individu yang sesuai dalam mencapai prestasi yang diharapkan. Apabila individu mengalami kegagalan, maka harga dirinya akan menjadi rendah. Sebaliknya, apabila performansi seseorang sesuai dengan tuntutan dan harapan, maka akan mendorong pembentukan harga diri yang tinggi
Kreitner dan Kinicki (dalam Suhron, 2017) mengungkap terdapat enam faktor yang membangun self-esteem, yaitu :
  1. Goal setting (merencanakan tujuan). Pada masa remaja dalam menentukan tujuan hidup yang ingin dicapai dibutuhkan usaha dan keinginan yang kuat (ambisi) untuk mencapainya khususnya dalam belajar dan meraih prestasi
  2. Risk taking (mengambil resiko). Berani untuk mengambil resiko untuk memenuhi dan mencapai tujuannya karena remaja tidak akan pernah mengetahui kemampuan diri sendiri jika tidak mau mengambil resiko
  3. Opening up (membuka diri). Jika remaja membuka diri dan berbagi rasa dengan orang lain maka akan mudah baginya untuk mengenali diri sendiri
  4. Wisechoice making (membuat keputusan yang bijaksana). Jika remaja dapat membuat keputusan yang benar maka akan meningkatkan self-confidence dan self-esteem
  5. Time sharing (berjalan sesuai dengan waktu). Jangan selalu memberikan tekanan dan paksaan pada diri sendiri untuk mendapatkan perubahan karena tidak mungkin perubahan bisa didapat secara langsung. Dalam hal ini remaja dapat bertukar pendapat dan berdiskusi untuk mendukung prestasi belajarnya
  6. Healing (penyembuhan). Penyembuhan dalam arti fisik dan mental dan hal itu bisa dilakukan dengan cara membuat komitmen dan bersyukur. Dalam hal ini remaja bersyukur dan memahami potensi yang dimiliki untuk menunjang prestasi belajarnya meskipun dalam meraih cita-citanya tidak semudah untuk mencapainya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi self-esteem

Menurut McLoed, Owens, & Powell (dalam Suhron, 2017), faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri seseorang adalah :
  1. Usia. Perkembangan self-esteem ketika seseorang memasuki masa anak-anak dan remaja, seseorang akan memperoleh harga diri mereka dari teman, orang tua dan guru pada saat mereka bersekolah
  2. Ras. Keanekaragaman budaya dan ras tertentu dapat mempengaruhi self-esteemnya untuk menjunjung tinggi rasnya
  3. Etnis. Dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat terdapat etnis tetentu yang menilai bahwa sukunya lebih tinggi derajatnya sehingga dapat mempengaruhi self-esteemnya
  4. Pubertas. Merupakan periode transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa ditandai munculnya karakteristik seks sekunder dan kemampuan reproduksi seksual yang dapat menimbulkan perasaan menarik sehingga mempenaruhi self-esteem
  5. Berat badan. Rangkaian perubahan berat badan yang paling jelas tampak pada masa remaja adalah perubahan fisik. Hormon-hormon baru diproduksi oleh kelenjar endokrin, dan membawa perubahan dalam ciri-ciri seks primer dan memunculkan ciri-ciri seks sekunder. Seorang individu lalu mulai terlihat berbeda dan sebagai konsekuensi dari hormon yang baru dalam penambahan atau penurunan berat badan, dia sendiri mulai merasa adanya perbedaan
  6. Jenis kelamin. Menunjukkan bahwa remaja pria akan menjaga harga dirinya untuk bersaing dan berkeinginan menjadi lebih baik dari remaja putri khususnya dalam mencapai prestasi belajar dikelas sehingga dapat mempengaruhi harga diri remaja tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa remaja putri mudah terkena gangguan citra diri dibandingkan dengan remaja putra.
Karakteristik individu dengan self-esteem yang tinggi dan rendah

Coopersmith (dalam Suhron, 2017) membagi karakteristik harga diri individu menjadi dua golongan, yaitu :
  1. Individu dengan harga diri yang tinggi
    1. Aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik
    2. Berhasil dalam bidang akademik dan menjalin hubungan sosial
    3. Dapat menerima kritik dengan baik
    4. Percaya pada persepsi dan reaksinya sendiri
    5. Tidak terpaku pada dirinya sendiri atau hanya memikirkan kesulitan sendiri
    6. Memiliki keyakinan diri, tidak didasarkan atas fantasi, karena mempunyai kemampuan, kecakapan dan kualitas diri yang tinggi
    7. Tidak terpengaruh oleh penilaian orang lain tentang kepribadian
    8. Lebih mudah menyesuaikan diri dengan suasana yang menyenangkan sehingga tingkat kecemasannya rendah dan memiliki ketahanan diri yang seimbang
  2. Individu dengan harga diri yang rendah
    1. Memiliki perasaan inferior
    2. Takut gagal dalam membina hubungan sosial
    3. Terlihat sebagai orang yang putus asa dan depresi
    4. Merasa diasingkan dan tidak diperhatikan
    5. Kurang dapat mengekspresikan diri
    6. Sangat tergantung pada lingkungan
    7. Tidak konsisten
    8. Secara pasif mengikuti lingkungan
    9. Menggunakan banyak taktik memperhatikan diri (defense mechanism)
    10. Mudah mengakui kesalahan

Pembentukan Self Esteem

Pengertian Self-Esteem

Evaluasi terhadap diri sendiri dikenal sebagai self-esteem yaitu evaluasi diri yang dibuat oleh setiap individu, sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi positif-negatif (Baron & Byrne dalam Widyastuti, 2014). Buss (dalam Suhron, 2017) memberikan pengertian self-esteem sebagai penilaian individu terhadap dirinya sendiri, yang sifatnya implisit dan tidak diverbalisasikan.

Harga diri (self-esteem) adalah bagian evaluasi dari konsep diri, penilaian yang dibuat anak mengenai keberhargaan mereka. Dalam sudut pandang aliran Neo-Piaget, harga diri didasari oleh kemampuan kognitif anak yang tumbuh menggambarkan dan mendefinisikan diri mereka sendiri (Papalia, Olds, Feldman, 2013).

Rosenberg (dalam Masriah, Putri, dan Radiaswati, 2012) menjelaskan bahwa harga diri (self-esteem) adalah penilaian seseorang terhadap dirinya yang ditampilkan melalui sikap positif atau negatif terhadap dirinya. Harga diri yang positif akan membangkitkan rasa percaya diri, penghargaan diri, rasa yakin akan kemampuan diri, rasa berguna serta rasa bahwa kehadirannya diperlukan didunia ini. Sebaliknya, seseorang yang memiliki harga diri yang negatif akan cenderung merasa bahwa dirinya tidak mampu dan tidak berharga, cenderung takut menghadapi respon dari orang lain, tidak mampu membina komunikasi yang baik dan cenderung merasa hidupnya tidak bahagia (Simbolon dalam Masriah, Putri, dan Radiaswati, 2012).

Well dan Marwell (dalam Rahman, 2014) menyebutkan empat tipe pengertian self-esteem. Pertama, self-esteem dipandang sebagai sikap. Seperti sikap-sikap yang lainnya, self-esteem menunjuk pada suatu objek tertentu yang melibatkan reaksi kognitif, emosi, dan perilaku, baik positif maupun negatif. Kedua, self-esteem dipandang sebagai perbandingan antara ideal self dan real self. Self-esteem akan tinggi jika real self semakin mendekati ideal self, dan begitu sebaliknya. Ketiga, self-esteem dianggap sebagai respons psikologis seseorang terhadap dirinya sendiri, lebih dari sekedar sikap. Dan yang keempat, self-esteem dipahami sebagai komponen dari kepribadian atau self system seseorang.

Menurut Murk (dalam Rahman, 2014) terdapat tiga klasifikasi dalam mendefinisikan self-esteem. Pertama, self-esteem dipandang sebagai suatu kompetensi. Dalam hal ini, self-esteem dihubungkan dengan kesuksesan, kemampuan, dan kompetensi objektif yang dimiliki. Kedua, self-esteem dipandang sebagai perasaan berharga. Ketiga, self-esteem dipandang sebagai suatu kompetensi dan perasaan berharga.

Menurut Branden (dalam Rahman, 2014), self-esteem merupakan kecendrungan seseorang untuk merasa mampu didalam mengatasi suatu masalah dan merasa berharga. Dengan kata lain, self-esteem merupakan integrasi dari kepercayaan pada diri sendiri dan penghargaan pada diri sendiri.

Coopersmith (dalam Suhron, 2017) memberikan pengertian tentang harga diri sebagai penilaian diri yang dipengaruhi oleh sikap, interaksi, penghargaan, dan penerimaan orang lain terhadap individu.

Berdasarkan definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa self-esteem (harga diri) merupakan cara individu dalam memberikan persepsi, penilaian, dan evaluasi terhadap dirinya sendiri yang bersumber dari dalam diri dan interaksi dengan lingkungan.

Aspek-aspek self-esteem

Menurut Coopersmith (dalam Suhron, 2017) aspek-aspek yang terkandung dalam self-esteem ada tiga yaitu :
  1. Perasaan berharga. Perasaan berharga merupakan perasaan yang dimiliki individu ketika individu tersebut merasa dirinya berharga dan dapat menghargai orang lain. Individu yang merasa dirinya berharga cenderung dapat mengontrol tindakan-tindakannya terhadap dunia luar dirinya. Selain itu individu tersebut juga dapat mengekspresikan dirinya dengan baik dan dapat menerima kritik dengan baik
  2. Perasaan mampu. Perasaan mampu merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu pada saat dia merasa mampu mencapai suatu hasil yang diharapkan. Individu yang memiliki perasaan mampu umumnya memiliki nilai-nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang realistis. Individu ini menyukai tugas baru yang menantang, aktif dan tidak cepat bingung bila segala sesuaut berjalan diluar rencana. Mereka tidak menganggap dirinya sempurna tetapi sadar akan keterbatasan diri dan berusaha agar ada perubahan dalam dirinya. Bila individu merasa telah mencapai tujuannya secara efisien maka individu tersebut akan menilai dirinya secara tinggi
  3. Perasaan diterima. Perasaan diterima merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu ketika ia dapat diterima sebagai dirinya sendiri oleh suatu kelompok. Ketika seseorang berada pada suatu kelompok dan diperlakukan sebagai bagian dari kelompok tersebut, maka ia akan merasa dirinya diterima serta dihargai oleh anggota kelompok itu
Pembentukan self-esteem

Mukhlis (dalam Ghufron & Risnawita, 2011) mengatakan bahwa pembentuk harga diri pada individu dimulai sejak individu mempunyai pengalaman dan interaksi sosial, yang sebelumnya didahului dengan kemampuan mengadakan persepsi. Secara spesifik pembentukan harga diri terjadi sejak usia pertengahan kanak-kanak dan terus berkembang hingga sampai remaja akhir (Papalia dalam Suhron, 2017).

Self-esteem erat kaitannya dengan mekanisme pembentukan self-esteem masa sebelum remaja mengalami perkembangan dan tiap individu memiliki kadar self-esteem yang berbeda mulai dari yang positif dan negatif. Menurut Darajat (dalam Ghufron & Risnawita, 2011) harga diri sudah terbentuk pada saat masa kanak-kanak sehingga seorang anak sangat perlu mendapatkan rasa penghargaan dari orang tuanya. Proses selanjutnya, harga diri terbentuk melalui perlakuan yang diterima individu dari orang lingkungannya, seperti dimanja dan diperhatikan orang tua dan orang lain. Dengan demikian harga diri bukan merupakan faktor yang dapat dipelajari dan terbentuknya sepanjang pengalaman individu.

Coopersmith (dalam Ghufron & Risnawita, 2011) mengemukakan bahwa pembentukan harga diri dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
  1. Keberartian individu. Keberartian diri menyangkut seberapa besar individu percaya bahwa dirinya mampu, berarti, dan berharga menurut standar dan nilai pribadi. Penghargaan inilah yang dimaksud dengan keberartian diri
  2. Keberhasilan seseorang. Keberhasilan yang berpengaruh terhadap pembentukan harga diri adalah keberhasilan yang berhubungan dengan kekuatan atau kemampuan individu dalam mempengaruhi dan mengendalikan diri sendiri maupun orang lain
  3. Kekuatan individu. Kekuatan individu terhadap aturan-aturan, norma, dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam masyarakat. Semakin taat terhadap hal-hal yang sudah ditetapkan dalam masyarakat, maka semakin besar kemampuan individu untuk dapat dianggap sebagai panutan masyarakat. Oleh sebab itu, semakin tinggi pula penerimaan masyarakat terhadap individu yang bersangkutan dan akan mendorong harga diri yang tinggi.
  4. Performansi individu yang sesuai dalam mencapai prestasi yang diharapkan. Apabila individu mengalami kegagalan, maka harga dirinya akan menjadi rendah. Sebaliknya, apabila performansi seseorang sesuai dengan tuntutan dan harapan, maka akan mendorong pembentukan harga diri yang tinggi
Kreitner dan Kinicki (dalam Suhron, 2017) mengungkap terdapat enam faktor yang membangun self-esteem, yaitu :
  1. Goal setting (merencanakan tujuan). Pada masa remaja dalam menentukan tujuan hidup yang ingin dicapai dibutuhkan usaha dan keinginan yang kuat (ambisi) untuk mencapainya khususnya dalam belajar dan meraih prestasi
  2. Risk taking (mengambil resiko). Berani untuk mengambil resiko untuk memenuhi dan mencapai tujuannya karena remaja tidak akan pernah mengetahui kemampuan diri sendiri jika tidak mau mengambil resiko
  3. Opening up (membuka diri). Jika remaja membuka diri dan berbagi rasa dengan orang lain maka akan mudah baginya untuk mengenali diri sendiri
  4. Wisechoice making (membuat keputusan yang bijaksana). Jika remaja dapat membuat keputusan yang benar maka akan meningkatkan self-confidence dan self-esteem
  5. Time sharing (berjalan sesuai dengan waktu). Jangan selalu memberikan tekanan dan paksaan pada diri sendiri untuk mendapatkan perubahan karena tidak mungkin perubahan bisa didapat secara langsung. Dalam hal ini remaja dapat bertukar pendapat dan berdiskusi untuk mendukung prestasi belajarnya
  6. Healing (penyembuhan). Penyembuhan dalam arti fisik dan mental dan hal itu bisa dilakukan dengan cara membuat komitmen dan bersyukur. Dalam hal ini remaja bersyukur dan memahami potensi yang dimiliki untuk menunjang prestasi belajarnya meskipun dalam meraih cita-citanya tidak semudah untuk mencapainya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi self-esteem

Menurut McLoed, Owens, & Powell (dalam Suhron, 2017), faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri seseorang adalah :
  1. Usia. Perkembangan self-esteem ketika seseorang memasuki masa anak-anak dan remaja, seseorang akan memperoleh harga diri mereka dari teman, orang tua dan guru pada saat mereka bersekolah
  2. Ras. Keanekaragaman budaya dan ras tertentu dapat mempengaruhi self-esteemnya untuk menjunjung tinggi rasnya
  3. Etnis. Dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat terdapat etnis tetentu yang menilai bahwa sukunya lebih tinggi derajatnya sehingga dapat mempengaruhi self-esteemnya
  4. Pubertas. Merupakan periode transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa ditandai munculnya karakteristik seks sekunder dan kemampuan reproduksi seksual yang dapat menimbulkan perasaan menarik sehingga mempenaruhi self-esteem
  5. Berat badan. Rangkaian perubahan berat badan yang paling jelas tampak pada masa remaja adalah perubahan fisik. Hormon-hormon baru diproduksi oleh kelenjar endokrin, dan membawa perubahan dalam ciri-ciri seks primer dan memunculkan ciri-ciri seks sekunder. Seorang individu lalu mulai terlihat berbeda dan sebagai konsekuensi dari hormon yang baru dalam penambahan atau penurunan berat badan, dia sendiri mulai merasa adanya perbedaan
  6. Jenis kelamin. Menunjukkan bahwa remaja pria akan menjaga harga dirinya untuk bersaing dan berkeinginan menjadi lebih baik dari remaja putri khususnya dalam mencapai prestasi belajar dikelas sehingga dapat mempengaruhi harga diri remaja tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa remaja putri mudah terkena gangguan citra diri dibandingkan dengan remaja putra.
Karakteristik individu dengan self-esteem yang tinggi dan rendah

Coopersmith (dalam Suhron, 2017) membagi karakteristik harga diri individu menjadi dua golongan, yaitu :
  1. Individu dengan harga diri yang tinggi
    1. Aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik
    2. Berhasil dalam bidang akademik dan menjalin hubungan sosial
    3. Dapat menerima kritik dengan baik
    4. Percaya pada persepsi dan reaksinya sendiri
    5. Tidak terpaku pada dirinya sendiri atau hanya memikirkan kesulitan sendiri
    6. Memiliki keyakinan diri, tidak didasarkan atas fantasi, karena mempunyai kemampuan, kecakapan dan kualitas diri yang tinggi
    7. Tidak terpengaruh oleh penilaian orang lain tentang kepribadian
    8. Lebih mudah menyesuaikan diri dengan suasana yang menyenangkan sehingga tingkat kecemasannya rendah dan memiliki ketahanan diri yang seimbang
  2. Individu dengan harga diri yang rendah
    1. Memiliki perasaan inferior
    2. Takut gagal dalam membina hubungan sosial
    3. Terlihat sebagai orang yang putus asa dan depresi
    4. Merasa diasingkan dan tidak diperhatikan
    5. Kurang dapat mengekspresikan diri
    6. Sangat tergantung pada lingkungan
    7. Tidak konsisten
    8. Secara pasif mengikuti lingkungan
    9. Menggunakan banyak taktik memperhatikan diri (defense mechanism)
    10. Mudah mengakui kesalahan